Sabtu, 12 Juni 2010

KALA MASA MERANGKAI JEDA

“Temani duduk di meja operator yuk de,” ajak ustadzah Aisy.

“Iya Umi,” jawabku.

Duduk di sampingnya terasa teduh, nyaman dan betah berlama-lama. Kata-kata beliau bijak, hal sekecil apapun beliau olah menjadi deretan ilmu yang berjajar.

“Umi, kita sering iri lho sama umi,” godaku membuka percakapan.

“Lho kenapa dek?” tanya ustadzah aisy.

“Habisnya, dimanapun kalian selalu bersama. Bahkan jadi MC bareng, operator juga bareng,” jawabku.

“Hehe iya dek, tadi ada yang bercanda operatornya pasangan halal dan yang pojok sana pasangan haram,” kata ustadzah Aisy sambil menunjuk akh Athal dan adek akhwat yang berpartner jadi MC.

“Wah kalian ada-ada saja Bercandanya. Eh Umi, aku dan Mita kadang suka merhatikan kalian, gimana gitu !!”

“Ya beginilah kita dek, PACARAN ya sekarang ini. Sebelum nikah sih gak pernah, kenal saja tidak,” jawab ustadzah Aisy.

Aku diam. Gubrak !!!!! nampak biasa tapi sarat makna. Dengan detail ustadzah Aisy menjelaskan proses ta’aruf yang sama sekali tak kenal sebelumnya, diberi biodata ustadz Fajri yang tak ada fotonya, pertama ketemu di rumah murabbi, waktu khitbah yang ia tak menampakkan diri, sampai hari di ikrarkannya ikatan suci di ruang terpisah dan penjelasan QS.an-nur:26.

Subhanallah, begitu syar’i. Menanggalkan opini sahabatku yang kemarin ia tuturkan saat memprotes jilbabku yang masih saja tetap lebar meski telah berstatus menjadi mahasiswi. Masih kuingat apa yang ia katakan dengan tegas didepanku “Kita itu hidup di indonesia, gak bisa disamakan dengan negara-negara Timur tengah, kultur kita sudah beda. Kamu mau jadi seperti teroris?”

Astaghfirullah, berulang kali aku istighfar mendengarnya. Sekarang aku semakin yakin membantahkan statment sahabatku itu, ustadzah aisy buktinya.

“Agh ... gak pengen mi, aku kan masih kecil,” tiba-tiba aku protes.

“Gak papa dek nikah sama kuliah. Ustadz salim juga nikah semester 3.”

“Gak mau lah mi, belum mikir sejauh itu. Masih pengen lulus S1 dari UNS, perbaiki kualitas diri dan banyak lagi yang harus aku benahi sebelum menentukan keputusan itu,” jawabku panjang lebar.

“Bagus, tapi ingat dek, HARUS BISA JAGA HIJAB.”

“InsyaAllah umi, doakan saja aku istiqomah. Tapi masih bingung mi, hijab interaksi ikhwan dan akhwat itu seperti apa? Banyak masukan-masukan yang beda pandangan.”

“Misalnya seperti apa dek perbedaan itu?” tanya ustadzah aisy.

“A bilang harus benar-benar dibatasi dalam interaksi, kata B gak papa sekedar saling mensupport yang penting bisa memproteksi hati, banyaklah pokoknya masukan-masukan itu,’ aku berusaha memaparkan.

“Gini dek, kita memang harus benar-benar membatasi interaksi dengan ikhwan. Misal ya, saling mensupport. Apa yang kita rasa? Wah, itu akhi/ukhti perhatian sama ana, dari rasa yang biasa akan timbul sesuatu yang lebih. Itu sudah fitrah manusia, maka dari itu lebih baik kita menghindari hal-hal yang menimbulkan zina hati. Saling mensupport antara ikhwan dan akhwat itu berarti hati belum terhijabi. Dan satu lagi, persahabatan ikhwan dan akhwat itu banyak mudhorotnya, tak jarang saling mengagumi meski alasannya karena Allah. Tapi endingnya????? Makanya, sebisa mungkin harus benar-benar membatasi, barpijak pada rambu-rambu islam secara kaffah itu memang sulit dek, tapi sebagai muslimah yang tunduk dan patuh terhadapnya, kita berusaha semaksimal mungkin untuk senantiasa perbaiki diri. Bukankah hidayah itu ada saat kita punya kesungguhan untuk perbaiki diri? Ingat dek, ...sesungguhnya allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum tanpa ia mengubah keadaannya sendiri... (QS.Ar-Ra’d:11).”

Aku diam tak mampu bertutur untuk sekedar menyanggah atau mencari celah pembelaan.

Hah ... pembelaan? Kenapa harus membela diri? Apa kamu salah dalam hal ini????? Batinku bergumam.

Rangkaian kata yang telah ku susun lebur berserakan, tak mampu tergetar oleh kedua ujung bibir dan kemudian berimprovisasi dengan alunan muhasabah.

Astaghfirullah, ya Rabb ... tak ku sadari diri ini belum mampu menghijabi hati. Nampak kontras dengan jilbab yang membalut aurat dan pandangan mata yang selalu tertunduk serta tangan yang terjaga dari sentuhan bukan mahrom. Pantaskah kusebut diri ini sebagai hamba-Mu yang patuh? Munafikkah aku? menjadi sok dewasa dan bijak ketika adik-adikku di rohis Wonosobo bertanya tentang hijab, padahal diri ini masih sering curhat dengan ikhwan, saling mensupport dan kadang bercanda (maski hanya dalam SMS).

Mana janjimu untuk berhijab yang selalu kamu ikrarkan dalam tiap penghujung 1/3 malam? Bukankah kamu juga memahami QS.An-nahl:91 –dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah di ikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu terhadap sumpah itu. Sesungguhnya allah mengetahui apa yang kamu kerjakan- Apa yang akan kamu katakan pada Allah di zaumul hisab nanti? Sanggupkah lisanmu berbohong pada hakim yang sebijak-bijaknya hakim? Naluriku mencecer banyak pertanyaan terhadap diri ini, memvonis bersalah dan menghantui dengan bayang ketakutan.

TIDAK !!! pekikku dalam hati. Aku harus perbaiki diri sebelum sang Izroil menggenggam jiwa ini menggapai kematian.

Astaghfirullahal’adzim ...

Astaghfirullahal’adzim ...

Astaghfirullahal’adzim ...

“Umi, aku telah keliru,” gumamku lirih.

“Keliru kenapa dek?” tanya ustadzah Aisy penuh kelembutan.

Ku ceritakan persahabatanku dengan beberapa ikhwan, satu ikhwan temanku sejak SMA dan yang dua ku kenal di kampus, kakak angkatan dan satunya satu angkatan denganku. Semua ku ceritakan, tanpa ada yang di tambah.

“Belum terlambat kok dek untuk perbaiki diri. Selalu ada kesempatan untuk bertaubat, umi yakin Anti bisa,” ustadzah aisy menguatkanku.

“Aku takut, tetap bimbing aku ya Umi, biar aku bisa perbaiki kekeliruan ini,” pintaku.

“InsyaAllah dek.”

***

Guyuran hujan mulai deras. Aku berlari masuk gang rumah, jadi ingat masa SMA yang selalu bandel tak mau bawa payung dan lari-lari masuk gang dengan baju basah kuyup. Tetapi kali ini berbeda, tak bisa kunikmati guyuran air hujan. Hatiku terlalu kalut, didera rasa bersalah luar biasa terhadap diri sendiri dan Allah.

Sesampai di rumah, cepat-cepat ku hapus semua inbox SMS, tak tersisa. Berlanjut menghapus nomor-nomor ikhwan di hp-ku kecuali gubernur BEM, ku SMS ke satu ikhwan sahabatku di kampus, memohon ijin menghapus nomor dia dari hp-ku dan sebaliknya serta meminta ia meremove aku dari daftar teman di FB dia jika memang mengganggu.

Tangis mengharu biru dalam sudut ruang kekalutan. Entah tangis apa, aku tak mampu menerjemah !!!

Aku pergi untuk kembali,

Dengan segenap pengharapan bahwa Rabb-ku ‘kan memberi jawab terbaik,

Untukku ataupun “dirinya”.

Rabb ... ku serahkan semua pada-Mu.

-selesai-

(Wonosobo ... memoar 14 februari 2010. Dalam diskusi dengan ustadzah atun) 


Nur Indra Murti Yulizar
4101409005
MAtematika-FMIPA

(cerpen ini menduduki peringkat ke-8 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)