Kamis, 17 Juni 2010

BA'IID

“Lahir di rawa hanya akan membuatmu menjadi kodok,” kata Abah suatu malam. Aku terpekur duduk di atas amben bambu. Sehabis sholat Isya abah memulai cerita. Lebih menyerupai ceramah. Aku, Umi, dan dua adikku bergeser merapat ke dinding supaya bisa bersandar. Persis di atas kepalaku menempel sebuah lampu minya, berpendar tidak terlalu terang.
“Tapi jika kau lahir di gurun, kau akan menjadi singa yang tangguh,” lanjut Abah, memundurkan posisi duduknya. Aku tersenyum kecil menyadari sebenarnya hanya singa Frantius, tidak sampai 1 persen dari seluruh singa yang hidup di gurun. Aku tidak berniat mendebat Abah.
Kata Abah yang demikian sering membuatku bingung. Malamnya, saat aku berbaring di balik bilik bersekat triplek aku termenung. Berbantal kedua lengan aku menatap langit-langit rumah. Kupikir Abah hanya ingin membuatku bangga menjadi pemuda desa.
Desaku, tempat aku dibesarkan hingga kini berusia dua puluh tahun, terletak di perbukitan. Dari halaman depan rumah yang luas aku bisa memandangi kota kabupaten. Malam hari, saat sunyi menyergap, aku sering duduk di sebuah kursi bambu di halaman depan. Bintang gemintang. Dari tempat itu aku menatap untain lampu jalan di kota yang tampak berpilin tambang.
Abah tak pernah, sekalipun seumur hidup, hijrah dari desa. Tidak juga berpikir ikut transmigrasi seperti para tetangga. Meski tak seberapa luasnya, kebun coklat membuat kami berkecukupan. Ia, juga Umi, tak pernah membuatku terpikir ke kota. Keduanya memintaku tetap di rumah, menjaga kebun dan menemani mereka di senja usia.
Aku pikir benar. Hidup jauh dari keluarga seperti yang aku jalani lima tahun silam di pesantren membuatku kesepian. Setelah menamatkan sekolah menengah dan pesantren, aku menolak tawaran beasiswa melanjutkan studi di perguruan tinggi.
“Ini tempat paling indah,” kata Abah malam berikutnya, “Menyediakan apapun yang kita perlukan.”
Sebuah sungai mengalir di belakang rumah. Jika hujan deras, suaranya bergemuruh. Esoknya, yang membuatku amat senang, aku bisa menangkap ikan. Di sana ada beberapa mujair yang bisa aku tangkap dalam beberapa menit. Dua, tiga ekor aku bakar, sisanya kubawa pulang.
Aku tersentak. Batu sebesar kepalan tangan jatuh di atas kali. Cipratan air mengenai wajahku ketika aku duduk di sebuah bingkah batu. Seseorang melemparnya dari kejauhan.
***
Ketika rentetan tembakan terdengar, Rahman dan dua belas rekan lainnya segera berjingkat. Mereka melemparkan sisa batu yang telanjur digenggam. Sisanya, tumpukan batu sebesar kepalan tangan ia tinggalkan di sudut kota tempat ia sembunyi dari para tentara yang mereka serang.
Rahman dan rekan-rekan tidak mengerti betul mengapa selalu menghabiskan keseharian di jalanan. Mereka menghadang tank-tank lapi baja. Kadang jika ada Humvee mereka juga melemparinya. Para tentara yang kesal kemudian turun mengarahkan M-26 kepada Rahman. Kadang hanya gertakan, kadang senjata itu juga meluncurkan peluru tajam yang menghujam. Beberapa rekan Rahman meninggal dalam aksi yang mereka sebut sebagi jihad. Intifadah.
Rahman, pernah beberapa malam tidur sekamar denganku di pesantren salaf tempatku belajar. Ia pemuda santun yang tangguh. Tubuhnya setu jengkal lebih tinggi dariku, membuat Rahman selalu menundukkan kepala saat bicara.
Malam amat sepi. Aku duduk di ranjang tanpa melepas sarung. Rahman masih memegangi Al-Quran, menggelar sajadah di lantai. Usai shalat Isya sejam lalu Rahman tak beranjak. Sejam berikutnya, saat aku nyaris tidur ia membangunkanku.
“Apa kau kelelahan?”
“Tidak. Aku biasa jalan jauh. Bagiamana dengan kamu?”
“Jalan menuju pesantrenmu empuk, aku merasakannya ketika menginjak beludru.”
Tadi siang kami menempuh perjalanan jauh. Ia tiba di bandara tengah hari. Aku diminta Pak Kyai menjemputnya. Dari bandara, untuk sampai pesantren kami harus 3 jam naik bis, lima puluh menit dengan angkot, dan dua jam jalan kaki. Pesantren tempatku belajar ada di antara hutan pinus yang jalannya dipenuhi liana.
Rahman pemuda asli Palestina. Tak tahu bagaimana dan untuk apa ia datang ke Indonesia. Ketika pertama kali kami bertemu ia mengenalkan diri sebagai sudara jauh. “Ba’iid,” ucapnya. Aku yang saat itu tidak mengerti bahasa Arab mengira itu namanya. Ba’iid.
Tahu aku tidak bisa berbahasa Arab, Rahman mengalah. Ia menggunakan bahasa Indonesia. Dalam perjalanan tak berhenti bicara tentang nama tanaman yang kami lewati.
“Semua tanaman ada di sini. Dulu aku hanya mengenalnya di kamus,” ucap Rahman kegirangan.
Berjalan setengah lari Rahman tak terlihat lelah. Ia sempatkan mandi di sebuah kali yang kami lewati. Aku duduk di sebuah batu lebar, ia asyik bermain air seperti katak.
“Di desaku aku harus menjual dua ekor domba supaya bisa mandi seperti ini,” ucapnya. Menjelang Maghrib baru ia mau keluar dari cerukan kali itu.
Usia Rahman tak terpaut jauh denganku. Ia lahir dan besar di Gaza. Ayahnya seorang guru, tewas enam tahun lalu akibat sebuah pengeboman yang dahzyat. Sepulang mengajar ayah Rahman tetap di sekolah untuk seberapa lama. Sebuah pesawat tempur melayang cepat. Suaranya keras, bergemuruh. Beberapa kali berputar pesawat itu menjatuhkan bom, meledakan sekolah tempat ayah Rahman mengajar.
Siang terasa panas saat itu. Sekolah ayah Rahman terletak dua kilometer dari gurun perkampungan tempat Rahman tinggal. Angin semilir. Rahman duduk di atas puing-puing bangunan. Ayahnya ditemukan tewas tertimpa bangunan. Tetangga dan beberapa anggota laskar menguburnya.
Pasca kematian ayahnya Rahman tak berbuat banyak. Ia mundur dari sekolah tinggi antropologi yang ditempuhnya beberapa semester. Ia bekerja sebagai penjaga toko roti sambil belajar agama pada seorang ulama. Siangnya, ketika tank-tank Israel datang, ia bergegas meninggalkan toko. Di samping pintu depan tokonya, ia menyimpan sekarung batu. Bersama puluhan pemuda lain ia keluar berhamburan.melempari tank-tank dengan batu.
“Allahu akbar! Allahuakbar!”
Seorang tentara keluar. Ia mengenakan helm tempur loreng malvinas, menembakan gas air mata. Rahman merangsek maju. Gas air mata ia pungut dan di lemparkan kembali. Seorang temannya lagi, yang datang dari belakang gedung melempar batu, mendarat persis di punggung. Tentara itu tampak berang.
Tentara mengambil laras panjang di gendongan. Ia membidikkan senjata. Pemuda itu lari, bersembunyi di balik dinding bata yang tampak rapuh. Tentara itu kemudian menggantinya dengan roket pelontar granat. Rahman tahu senjata itu akan melukai kawannya. Bahkan sepengatahuannya, RPG mampu membuat beton sekalipun porak poranda.
Rahman berlari kancil mendekati tentara dari belakang. Di samping pintu toko roti yang dijaganya ia menyisakan puluhan batu. Ia mengambil salah satu dan melemparkannya ke arah tentara. Brak! Batu itu mengenai rompi kevlar.
Tentara mulai menembaki rumah. Entah apa tujuan mereka. Kaca-kaca jendela hancur. Pemilik rumah biasa menggunakannya untuk mengintip senja. Juga dinding batu bata, mulai berlubang. Pepohonan, yang berimpit dengan hawa panas di Gaza, meliuk pelan. Angin meliukan debu jalanan.
Rahman tak surut langkah. Ia tahu, nyawa yang menggerakan tangan dan tubuhnya bukan miliknya. Karenanya ia tak pernah takut jika pemilik nyawa itu mengambilnya. Ia selalu siap. Tak pernah sekalipun ia takut mati. Kecuali ia mati dalam keadaan ingkar pada Tuhan dan bangsanya.
***
“Kau pernah tertembak?” aku menyela cerita Rahman. Dua cangkir kopi kusajikan di depannya.
“Lihat,” Rahman menunjukkan bekas luka di kakinya. Belum kering benar.
“Masih sakit?”
“Tidak. Allah akan segera menyembuhkannya.”
“Kenapa kalian terus melempar batu?”
“Kami tak akan berhenti melawan. Kemenangan hanya bagi petarung, bukan pengecut.”
“Bagaimana dengan Saudara-saudaramu yang tewas? Tidakkah sia-sia, sedangkan bangsamu, tetap terjajah.”
“Bukan sekedar kemerdekaan bagi kami. Tidak ada yang Tuhan muliakan kecuali kita membela kebenaran. Dan kau tahu?” menepuk pundakku. “Tidak ada ujung perjuangan kami.”
“Bangsa kami pernah merasakannya,” ucapku pelan.
Rahman tersenyum ringan, memandangi lampu minyak. Jarinya tak berhenti menggerakan bijih tasbih. Tahlil terdengar lirih. Aku berebahan hingga tertidur.
Pagi hari ketika sebagian santri di pondokku mulai berangkat bertani, Rahman mohon diri. Ia pamit mampir di Kedutaan Besar dan bersgera pulang. “Bangsaku menunggu, aku tak bisa berlama-lama di sini,” ucapnya, sambil merangkulku.
***
Entah untuk apa seseorang melempar batu di depanku. Cipratan air mengena wajahku. Ketika membalikkan badan aku terperangah. Ku kira anak kecil yang melemparnya. Seorang pemuda bertubuh tinggi tersenyum menyambut tatapanku. Wajahnya dipenuhi jambang.
“Subhanalloh, Ba’iid.”
Aku lekas berdiri, meninggalkan kail pancing.
“Kapan kau datang?”
“Tadi pagi. Gaza kembali diserang. Kami perlu bantuan kalian?”


(cerpen peringkat ke-3 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)