This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 19 Juni 2010

BINGKISAN IMAN

Hari yang cerah di ujung Agustus. Sejenak seorang pemuda berparas tampan berkulit sawo matang mengintip dari atas Balkon Harvard Faculty of Arts and Sciences dengan mata yang menyipit. Cahaya matahari yang memantul lewat River Cam membuatnya silau. Puluhan sampan berhilir mudik dengan tolakan galah sebagai pendayung. Wisata punt khas kota Cambridge yang memesona dunia.
”Semoga ini bukan hadiah yang memalukan...” batin Mahasiswa kandidat master Arts and Sciences Harvard University itu sembari memasukkan sebuah benda ke dalam kotak kecil berwarna krem yang terbungkus rapi. Arloji klasik berwarna perak keluaran 1960an yang memilki merk tak begitu terkenal. Dipuaskannya memandang langit Cambridge yang mulai memerah. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama di tempat itu, tetapi ia harus segera bergegas pulang karena ia tahu ada yang tengah menunggunya di Rumah.
Seharusnya hari ini bukanlah hari yang istimewa untuk Dhika hanya karena Ayahnya ulang tahun. Sejak ia mengetahui bahwa perayaan ulang tahun bukanlah termasuk ajaran Islam, ia tak pernah lagi meminta Ayahnya merayakan ulang tahunnya, atau sekadar memperingatinya secara istimewa. Kalaupun ada peringatan hari lahir, itu semata-mata adalah untuk mengingatkan tentang jatah usia di dunia yang semakin berkurang. Prinsip itulah yang masih ia pertahankan sampai sekarang. Diliriknya kembali jam tangannya sekilas, perjalanan dari Moller Centre menuju rumahnya di St. Marry Street memerlukan waktu sepuluh menit menggunakan sepeda bututnya.
”Ah, benarkah Ia masih Ayahku yang dulu?” batin Dhika. Semilir angin di sepanjang Moller Centre benar-benar menerbangkan segala kegundahan yang tengah dirasakannya. Dikayuhnya sepeda kesayangannya itu pelan sembari menghirup udara sore. Sesaat Dhika memejamkan mata sejenak, mendadak lamunanya buyar saat terdengar suara keras di telinganya.

”Braggghkkkkhhh!!!!” Dhika terjatuh. Sepedanya oleng dan meringsek ke semak-semak. Buah-buahan yang baru saja ia beli berjatuhan ke jalan. Ia baru sadar, ternyata sepedanya bertabrakan dengan sepeda lain. Ia meringis kesakitan sembari mencoba berdiri. Namun, mendadak ia tak lagi merasakan sakit saat matanya tertumbuk pada seorang pemuda yang jatuh terjerembab dari sepedanya juga, bahkan kelihatannya ia lebih parah karena tubuhnya tertimpa sepeda. Dhika cepat-cepat berlari ke arahnya dan berusaha mengangkat sepeda itu pelan-pelan.
”Sorry for hitting you, guy…” ucap Dhika meminta maaf sembari berusaha menawarkan pertolongan. Wajah pemuda itu tidak terlihat karena posisinya jatuh tertelungkup. Sepertinya ia juga tengah kesakitan. Sesaat ia menoleh. Dhika terperanjat melihat wajah pemuda itu.
”Omar??!” pekik Dhika setengah tak percaya. Ia tak menyangka jika pemuda itu adalah teman kuliahnya di Harvard Faculty of Arts and Sciences. Dengan sigap Dhika segera membantu pemuda yang akrab ia panggil Omar itu untuk berdiri. Rasa sakit di kakinya mendadak tak lagi terasa karena terkalahkan oleh tanda tanya yang bermunculan di kepalanya.
”Bukankah seharusnya saat ini Omar mengikuti doa bersama memperingati Maulud Nabi di Masjid Cambridge Muslim Society?” batin Arya bertanya-tanya. Di sanalah Dhika dan mahasiwa Muslim cambridge lainnya melakukan aktivitas-aktivitas sosial dan kegamaan sekaligus memeperdalam kajian tentang Islam.
”You will go to Cambridge Muslim trust centre, won’t you?” tanya Dhika. Melihat luka Omar, ia langsung mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Alkohol dan kapas. Dibalutnya luka di lutut sahabatnya itu hati-hati.
”Yes, but I think I can’t go there alone. Kakiku terlalu sakit jika harus kesana memakai sepeda…”jawab Omar. Dhika mafhum. Ia dilema. Jika, ia tidak pulang sekarang sudah bisa dipastikan Ayahnya akan berpesta tanpa dirinya, di Rumah besar pemberian Ibu tirinya yang kini ditinggalinya itu hanya ada dia, Ayahnya dan beberapa supir dan pembantu. Namun sedetik kemudian, tiba-tiba ia memutuskan sesuatu.
”Okey, let’s go there.., sekalian aku mengantarmu, Omar. Aku yakin, kakimu tidak akan kuat mengayuh sendiri.” tawar Dhika. Omar mengangguk. Pemuda jawa yang telah berpindah negara itu membiarkan bayangan wajah Ayahnya yang menyeruak dalam pikirannya tenggelam seiring kapas-kapas putih awan yang berganti mega-mega merah di langit senja Cambridge sore itu.
Pukul sembilan malam. Dhika mengayuh sepeda menuju Cambridge, St. Mary street. Pulang. Madrasah Islam di Cambridge Muslim Trust memang selesai setelah maghrib. Sarana belajar yang disediakan oleh organisasi Muslim di Cambridge itu memang diikuti banyak mahasiswa muslim, termasuk dirinya. Ia tadi sedikit berbincang dengan Ustadz Dr. Ahsen Mohammed, salah seorang pengurus organisasi itu bahwa sebentar lagi perluasan area Masjid di sekitar Cambridge Muslim Society di Elgin St. North Cambridge bisa segera terlaksana. Ada sosok misterius yang beberapa bulan belakangan ini selalu mengirimkan amplop besar berisi uang yang tak sedikit ke Yayasan Cambridge Musim trust tanpa menyebutkan namanya.
”Kami sedang melacak alamat pengirim perangko yang ada di amplop..” ucap Dr. Ahsen menjelaskan.
“Criiitttt…” Dhika mengerem sepedanya mendadak. Tak terasa ia sudah ada di depan rumah. Ia sengaja tak segera masuk . Ditatapnya sejenak rumah berlantai dua itu.
”Ibu, rumah kita dulu lebih kecil dari rumah ini. Tetapi mengapa Dhika lebih rindu dengan kita itu? tak ada lagi senyum Ibu yang begitu hangat, tak ada suara merdu Ibu usai shalat yang bisa Dhika dengar sekarang....” rintih Dhika lirih. Ada air mata yang menetes di sudut matanya. Rasa sedih yang mungkin sudah demikian dalam dan selalu menghinggapi hatinya manakala ia melihat Rumah besar yang ada dihadapannya kini. Rumah yang diberikan Ibu tirinya setelah meninggal untuk Ayahnya. Waktu dua tahun menikah sepertinya mampu digunakan dengan baik oleh wanita asing itu untuk membuat Ayah Dhika kehilangan imannya. Begitulah, cinta yang harus dibayar dengan prinsip. Berpindah agama.
”Kreekkk...!!!” pelan-pelan Dhika membuka pintu rumahnya. Kakinya berjingkat-jingkat. Namun sayang, baru beberapa langkah, ia dikejutkan oleh sebuah suara..
”Sejak kapan kau mulai mementingkan orang lain daripada Ayahmu sendiri, Dhika?! sepertinya jadwalmu di Cambridgeshire semakin membuatmu sangat sibuk sampai lupa dengan hari terpenting Ayahmu.. ” suara Ayah Dhika terdengar begitu jelas. Pertanyaan retoris yang terdengar sedikit sumbang. Rasa lelah yang dirasakannya membuatnya malas menganggapi pertanyaan sang Ayah.
”Dhika sudah pernah bilang, Dhika tidak suka pesta. Apalagi ulang tahun. Maaf jika membuat Ayah menunggu..” jawab Dhika begitu datar. Ia berjalan gontai menuju tangga.
”Apakah acara di Cambridge tadi begitu penting? apa yang mereka gunakan untuk memaksamu mengesampingkan Ayah hah?! bahkan sekadar mengantar Ayah ke Gereja pun sekarang kau menolak !!” suara Ayah Dhika meninggi. Dhika berhenti. Ada rasa sakit yang menghantam sudut hatinya.
”Hari ini bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal. Entahlah, apakah Ayah masih ingat jika tanggal itu adalah hari peringatan Maulud Nabi. Salahkah jika Dhika kesana untuk ikut berdoa bersama??” akhirnya Dhika bersuara. Suara yang terdengar begitu dipaksakan. Terlihat Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berpita cokelat, berisi arloji yang dibelinya tadi siang kemudian meletakannya di atas meja tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ayahnya.
”Meski hanya arloji murahan, Dhika harap ini cukup membuat Ayah berhenti berpikir bahwa Dhika melupakan Ayah ...” ucap Dhika sembari berlalu kemudian berjalan menaiki tangga . Tak ada ucapan manis selamat ulang tahun atau apalah itu. Ayah Dhika seketika terdiam. Didekatinya kotak kecil itu. Ada air mata yang mengambang di sudut mata sayu itu saat menatap secarik kertas yang tertempel diatasnya.
”Semoga umur yang masih Ayah punya hingga sekarang senantiasa membuat Ayah bersyukur. Selamat Hari lahir...” lelaki sepuh itu mengeja barisan tulisan putra semata wayangnya itu dengan hati bergetar. Ada bentuk keangkuhan yang luruh bersama derai sesal yang melingkupi jiwanya.
Malam yang hening. Jam kamar Dhika sudah berdetak beberapa kali. Dawai-dawai keheningan yang tengah bersenandung saat gulita itu digunakan pemuda yang tahun ini genap berusia dua puluh lima tahun itu untuk sejenak tenggelam dalam derai sujud-sujud panjangnya bermunajat pada Sang Pencipta. Usai tahajjud, ia menangis membaca Al Qur’an dengan suara parau. Hatinya yang tenggelam dalam kepasrahan seakan melengkapi keheningan sepertiga malam. Dhika tak dapat menahan isaknya saat hatinya meresapi baris-baris kalamullah itu dalam diam.
”Dan jika keduanya (orang tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahui tentang ilmu itu, janganlah engkau mengikuti mereka dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik..(Al Luqman : 15).” Dhika menangis tegugu. Bahunya terguncang. Dalam hatinya tak putus-putus ia berdoa, semoga Allah senantiasa menjadikannya anak yang berbakti tanpa harus mengusik keimanannya yang kadang beradu dengan dilema.
”Robbul ’izzati..., berikan ruang untuk hati Ayah hamba agar ia dapat kembali mendapat cahayaMU seperti dulu....” rintih Dhika. Dibacanya kembali barisan-barisan ayat penyejuk hati itu tanpa berniat untuk tidur lagi. Ia memang biasa tilawah sembari menunggu waktu shubuh tiba.
”Benarkah? ustadz sudah menemukan orang itu??” tanya Dhika usai mengajar anak-anak Cambridge mengaji Al Qur’an di Masjid Cambridge Muslim Society. Ia diberitahu bahwa orang yang selama ini memberikan bantuan tanpa nama itu sudah berhasil dilacak dan diketahui identitasnya. Ustadz Hasan Hawkins, guru mengajinya di Cambridge mengajaknya untuk bertemu orang itu.
”What?! Mr. Fred??!” ucap Dhika tak percaya. Siapa sangka, ternyata orang yang selama ini dicari identitasnya oleh orang-orang di Cambridge Muslim society itu ternyata sudah dikenalnya. Ya, Mr. Fred adalah tetangga baiknya di St. Marry Street. Lelaki asli Inggris itu memang seorang Muslim, Ayahnya pun sangat mengenal baik lelaki itu.
”Yes, but wait...perlu kau tahu, Mr. Fred hanya orang suruhan, dia hanya kurir. Ada orang yang menyuruhnya melakukan itu..” lanjut Ustadz Hasan serius.
“Ada yang menyuruhnya? siapa dia Ustadz?” tanya Dhika penasaran. Ustadz Hasan mendadak terdiam. Sejenaknya ditatapnya kedua mata Dhika lekat.
”He is your father, Son. Mr. Wiguna Atmaja..” ucap Ustadz Hasan lirih. Dhika begitu terperanjat, ia sungguh tak percaya apa yang didengarnya. Ustadz Hasan mengusap pundak murid kesayangannya itu pelan. Dhika benar-benar termangu. Mendadak serpihan memorinya terbang membawanya melintasi waktu, ia teringat saat setahun lalu ia memutuskan untuk aktif dalam kegiatan Masjid di Cambridge Muslim Society. Ayahnya terang-terangan menentang dan melarangnya sampai-sampai ia harus berdebat hebat. Meski setelah itu, karena ia terlalu keras kepala akhirnya ayahnya tak lagi mempedulikan hal itu. Ah, mendadak Dhika menjadi pusing memikirkannya.
”Benarkah ayah yang mengirimkan amplop berisi uang ke Masjid di Elgin selama ini?!” tanya Dhika malam-malam sewaktu ia di Rumah. Di hadapannya tengah duduk sang Ayah sembari membaca buku tebal. Lelaki keturunan jawa ningrat itu diam. Tak menjawab.
”Kenapa Ayah diam? jawab Dhika, Ayah..!”
”Bukankah itu yang selama ini kamu mau?! masjid itu sedang butuh dana, bukan? kau tinggal bilang berapa lagi yang harus Ayah keluarkan untuk mereka agar tak lagi memaksamu ikut dalam kegiatan-kegiatan itu lagi,,” jawab Ayah Dhika dingin. Mendengar jawaban ayahnya, Dhika sungguh kaget dan tak menyangka. Rasa sakit di hatinya yang selama ini ada semakin bertambah. Bahkan, kali ini ia telah demikian terluka.
”Begitukah mau ayah selama ini? begitu inginkah Ayah agar Dhika behenti? mengapa ayah selalu meminta Dhika untuk menghargai Ayah jika Ayah sendiri tak sedikitpun bisa menghargai Dhika? Sebanyak apapun uang yang ayah punya tidak akan membuat Dhika berhenti melangkahkan kaki ke Masjid Cambridge!” ucap Dhika dengan suara meninggi. Matanya berkaca-kaca. Ayah Dhika hanya diam. Tak bergeming.
”Baiklah..Dhika mengerti. Dhika sadar, mungkin terlalu sulit bagi Dhika untuk mencari sosok Ayah yang dulu. Mungkin terlalu sulit bagi Ayah untuk bisa menerima Dhika apa adanya. Andai saja ayah tahu, betapa Dhika berusaha untuk rela mati-matian menerima Ayah sekarang. Ayah yang jauh dari Dhika, Ayah yang telah melupakan Ibu, dan Ayah yang telah membuang iman yang pernah membuat kita semua dekat!!!”
“Plaakkk!!!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dhika. Tangan Ayah Dhika bergetar. Dhika merasakan perih yang teramat sangat di pipinya. Ia menunduk. Ayah Dhika tak berkata sepatah katapun. Matanya yang sempat menyala, perlahan kembali redup. Tanpa menghiraukan Dhika, ia berjalan meninggalkan Dhika dalam kebisuan. Dhika masih mematung, Beribu jarum penyesalan kini tengah menusuk seluruh ulu hatinya. Hening. Tak ada suara apapun selain desah nafas Dhika yang ingin sekali memuntahkan tangis yang tak terbendungkan.
Langit pagi Cambridge terlihat tak begitu cerah. Mendung. Seperti hati Dhika yang demikian muram karena tergerus kesedihan dan kegundahan. Pagi itu Dhika sengaja pegi ke Rumah Ustadz Hasan tanpa sepengetahuan Ayahnya. Ia sungguh butuh sesuatu yang dapat menguatkan hatinya.
”I’m so confused, Ustadz. I don’t know what should I do. Aku terlalu sulit mengenal Ayah sekarang, Andai aku bisa memberikan nyawaku agar Allah mau mengampuni Ayah, aku rela melakukannya. Sungguh..!!” desah Dhika. Wajahnya yang tampan terlihat sangat pucat. Matanya sembab.
”Mohon ampunlah atas ucapanmu, Dhika. Tak ada hak bagi kita untuk memaksakan ampunan bagi orang yang tidak beriman, meskipun dia saudara kita...!!” ucap Ustadz Hasan mengingatkan. Dhika langsung beristighfar lirih. Sejenak Ustadz Hasan membacakan arti petikan ayat al Qur’an dengan suara pelan.
”Tidak pantas bagi nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. Sekalipun orang-orang itu kaum kerabat (nya) setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahannam. (Q.S At taubah : 113)”
Dhika langsung beristighfar. Ia menunduk. Sungguh, saat ini ia benar-benar merasa tak mampu lagi menyelami sosoknya sendiri yang mendadak begitu cengeng. Ia terlalu larut dalam kesedihan dan kebingungan. Harapan-harapan yang pernah tersemai seakan luruh kembali dan menimpa tubuhnya. Begitu sakit terasa. Namun, ustadz Hasan justru tersenyum.
”Sabar, anakku. Rencana Allah itu lebih indah dari apapun. Bahkan terlalu indah jika dibayar dengan sebuah keputusasaan. Bersyukurlah, karena pagi ini Allah telah mengijabah doa-doamu...”
”Kreeek....” tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, membuat Dhika seketika menoleh. Dhika kaget.
”Ayah???!!”
”Kau tak perlu memberikan nyawamu untuk Ayah, Nak. Itu terlalu berharga untuk membayar keangkuhan dan kesombongan Ayah selama ini. Kau benar, Ayah terlalu egois mengikatmu untuk selalu mengerti Ayah, bahkan membawamu dalam kesesatan yang menyedihkan ” Ayah Dhika muncul sambil terisak.
”Andai kau tahu, Dhika. Betapa Ayah ingin sekali menangis seperti setiap kali mendengar kau terisak seusai Shalat. Betapa ingin ayah mendampingimu waktu itu. Bantu ayah kembali mendapatkan hidayah itu, Nak. Bantu Ayah kembali untuk mengenal Allah, bantu Ayah bersyahadat...!!!!” pinta Ayah Dhika tergugu. Ia benar-benar menangis tersungkur. Dhika tergagap. Tak percaya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Benarkah apa yang tengah dilihatnya kini? ditatapnya mata Ustadz Hasan dengan sorot yang meminta penjelasan.
”Ayahmu datang kesini shubuh tadi, Dhika. Doa yang selama ini kau panjatkan membuat hidayah kembali mengetuk pintu hati Ayahmu. Bimbinglah dia,” ucap ustadz Hasan tersenyum. Dhika langsung bersujud. Ia tak henti-henti mengucapkan syukur. Ia memeluk sosok terkasihnya yang sempat jauh darinya itu penuh keharuan. Rencana Allah memang tak tertandingi oleh apapun. Tak ada yang tahu, Alah telah memberi Ayahnya sebuah bingkisan berharga. Bingkisan Iman di sudut ruang hatinya. Bingkisan yang akan selalu membingkainya dalam derai syukur yang tak terlukiskan.


Anti Aufiyatus T.
2101407077
BSI-FBS


(pemenang lomba cerpen Islami Sigma 1431H)

Jumat, 18 Juni 2010

CINCIN MAS UNTUK RANI

Barisan orang pejalan kaki baru saja kembali dari gunung di ujung Desa Sidoagung itu. Tanah merah melekat di bawah sandal jepit seakan enggan untuk lepas. Senja di ufuk Barat mengantarkan sorot jingga pertanda mereka harus segera pulang. Pulang pada cita – cita dan kenyataan. Tentang Ardiansyah Eka Saputra.
---
Sabtu, 2 Mei 2009
Pukul 23.57 WIB di warnet ujung jalan.
“Sudah ngantuk, Ran?” ucap Ardi pada seorang gadis yang sejak satu jam yang lalu asik menatap layar komputer di depannya.
“Nggak mungkin ngantuk, Mas… Kurang 3 menit lagi.” Gadis pemilik gigi gingsul itu berkali – kali melirik jarum di jam tangannya.
Jam tangan yang selalu ia pakai sejak 3 tahun lalu, tepatnya saat ayah baru pulang dari Semarang. Pak Bambang Kusdiharto; seorang pekerja keras yang selalu menanamkan semangat pada kelima anaknya. Seorang pegawai yang patuh pada perintah atasan. Seperti saat itu, ketika atasan memerintahkannya untuk segera berangkat ke Semarang, mengecek proyek yang harus segera diselesaikan. Padahal, lima hari yang lalu bangsal rumah sakit menemani tidurnya. Tapi, tugas adalah amanah, begitu pikirnya. Alhamdulillah, tidak lebih dari 6 hari beliau sudah bisa pulang ke Kebumen, kota di mana ia dilahirkan dan bertemu dengan seorang wanita ayu keturunan Solo; Bu Endang Setiasih. Seorang wanita yang tak pernah bisa marah yang kini telah memberikan keturunan yang sehat – sehat pada beliau. Malam itu, Bu Endang bersama Ardi, Rani, Nindya, Salma, dan Bagas menanti seorang pria gagah yang kabarnya akan sampai rumah sekitar pukul 22.00 WIB.
“Kriiing…” suara telepon di ruang tengah.
“Assalamu’alaikum…”
“ Wa’alaikumussalam… Maaf, benar ini rumah Pak Bambang?” suara pria di ujung telepon dengan nada rendah.
“Iya, benar. Saya istrinya. Ada apa, ya Pak?”
“Maaf, Bu…Bapak baru saja kecelakaan saat perjalanan pulang.”
Sejak saat itu, wanita kepala empat itu harus membiayai kehidupan kelima anaknya seorang diri. Bila cinta adalah hanya memberi dan tak harap kembali, begitulah kiranya apa yang dilakukan Bu Endang pada mereka. Saat tujuh hari sepeninggal suaminya, ia baru berani membuka kotak yang ditemukan polisi di tempat kecelakaan. Di dalamnya ada cincin perak untuk Ardi, jam tangan untuk Rina, kerudung pink untuk Nindya, baju tidur untuk Salma, dan popok untuk si bungsu.
“Mas, udah lebih satu menit, nih…Tapi lola banget…” Rani harap – harap cemas menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru lewat jalur tes masuk di universitas yang sebulan lalu ia ikuti. Suasana warnet malam ini tak sesepi biasanya.
“Ini , Ran…udah ada pengumumannya.”
SELAMAT KEPADA MAHARANI KARTIKA PUTRI
NOMOR PENDAFTARAN : 4100760
DITERIMA PADA JURUSAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA, S1
“Alhamdulillah,, Yaa Rabb…” Ardi langsung sujud syukur.
Kebumen, 12 Agustus 2009
Ardi harus segera pergi sebelum ia ditinggal rombongan ke tempat kerjanya yang baru. Sejak ayah wafat, ia putus kuliah. Ada banyak kebutuhan yang harus segera dipenuhi, begitu pikirnya waktu ditanya ibu tentang alasannya keluar dari bangku kuliah. Saat guru di STM tahu tentang keputusannya, mereka sangat menyayangkan bintang sekolah harus memilih jalan itu. Memang tidak dipungkiri, uang pesangon dari tempat ayah bekerja dalam sekejap habis ketika Ardi harus bolak – balik opnam karena penyakit bronchitis yang dideritanya sejak SD. Alhamdulillah kini paru – parunya sudah bersih. Cita – cita menjadi arsitek seperti ayah tercinta pupus sudah. Bayang – bayang gedung megah hasil designnya pun kini telah ambruk di makan kenyataan. Kenyataan tentang cita – cita. Cita – cita tentang kenyataan.
“Mas harus pergi sekarang, Ran.” Ucap tenang Ardi pada adik yang baru saja lulus SMA itu.
“Rani harus bisa membantu Mas untuk mewujudkan cita – cita. Belajar yang tekun. Ini cincin Mas untuk Rani, untuk Adik tersayangku. Sampai sekarang, Mas belum tahu kenapa Ayah memberikan cincin untuk Mas. Menurut Mas, cincin lebih cocok untuk perempuan, untuk Rani.” Kalimat langsung terakhir yang ia ucapkan sebelum akhirnya rombongan membawanya pergi dari Kebumen.
---
Ibu kota Jawa Tengah
Hari ini, bulan kesepuluh sejak Rani kuliah di Universitas konservasi yang terletak di kota Semarang; Unnes. Itu berarti, sudah sepuluh kali pundi – pundi uang di ATMnya bertambah berkat kiriman dari masnya.
“Alhamdulillah, Masku baru ngirim uang, hehe.” Tergores raut bahagia dari air mukanya, yang selalu ia bagikan pada teman – temannya di kampus.
Pendidikan Matematika angkatan 2009 seharusnya tak mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia di semester 2, namun karena IP Rani mencukupi untuk menambah jumlah SKS, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil mata kuliah yang seharusnya diambil di semester 3.
“Sebelumnya saya minta maaf karena selama 2 minggu berturut – turut Saya tidak mengajar karena ada tugas dari jurusan.” Dosen berperawakan subur yang sering membuat alasan untuk tidak mengajar itu terlihat cantik dengan balutan kerudung di kepalanya.
“Iya, Buuuu….” kompak serasa paduan suara amatiran.
“Kali ini Saya akan memberikan materi tentang paragraf deskripsi. Materi ini pasti sudah pernah diberikan pada saat kalian di bangku SMP dan SMA. Tolong Saya buatkan salah satu contohnya dalam 15 menit, setelah itu silakan hasilnya dikumpulkan pada saya.”
“……Bvajhdabdcxm??<’<<> Sementara, Rani di barisan kedua dari depan tampak senyam – senyum. Ia tak mengerti mengapa selalu bersemangat jika sedang belajar Bahasa Indonesia. Sekilas, ingatannya kembali pada masa kelas 2 SD. Saat ayah masih segar – bugar. Malam itu, tatapan ayah tak seperti biasanya. Terlihat agak angker. Keduanya saling berhadapan di tengah suara jangkrik yang teramat jelas terdengar. Ibu berkali – kali mengingatkan bahwa jam peninggalan kakek yang masih kokoh menempel di dinding ruang tengah sudah berdentang sembilan kali. Waktu yang sudah terlalu larut untuk anak kelas 2 SD. Ini bukan kali pertama Rani melihat tatapan mata ayah seperti malam itu. Hampir di setiap malam sebelum ada kompetisi apapun, ayah selalu begitu. Terlihat angker. Seperti malam ini, ketika esok hari ada lomba hafalan surat pendek di sekolah.
“Rani memang sudah hafal, tapi belum benar tajwidnya.” Begitu berkali – kali ayah mengulang ucapannya sambil menepuk bahu gadis kecilnya.
“Rani harus yakin, insyaAllah bisa.” Lagi – lagi ayah membakar semangat gadis yang matanya sudah lima watt itu.
“Coba sekali lagi, setelah itu kita tidur.”
Siang harinya, Rani pulang membawa bungkusan hadiah di tangan mungilnya. Ayah, Rani bisa. Ayah yang hebat, Rani yang penurut, ibu yang lembut. Begitulah kiranya menggambarkan mereka. Pemilik cinta – cinta termesra dalam keluarga.
“Lima menit lagi.” Peringatan dari Bi Siti.
Ternyata, Rani sudah melamun kira – kira 10 menit. Yaa Rabb, coba lihat kertasnya, bersih.
Otaknya mulai diperas hingga keringat bercucuran keluar. Ia bingung akan mendeskripsikan apa. Pelan – pelan tangan lentiknya mulai meliuk – liukkan deretan huruf – huruf yang berjejer rapi membentuk kata pembangun kalimat yang bersinergi membentuk paragraf deskripsi.
“Baik, dari hasil pekerjaan kalian, akan Saya ambil secara acak. Setelah itu, namanya yang Saya sebut silakan paparkan hasilnya di muka.”
“Maharani Kartika Putri” nama itu terdengar disebut.
Deg!
Gadis itu berdiri sambil menggeser kursi ke belakang sedikit, lalu merapikan rok, lantas menuju ke depan papan tulis.
Suasana kelas tampak hening. Di dalam hati mahasiswa terucap “yes…yes…yes… Aku nggak maju”
“Aku mencintainya dengan teramat sangat. Cinta yang menurutku tak wajar kuberikan pada lawan jenis.”
“Huuuuuuuuuuuuuuuuuuu…..” spontan teriakan mahasiswa menghebohkan ruang pojok di gedung D4.
“Tolong didengarkan dahulu.” Bu Siti kembali menenangkan kelas. Dosen itu mulai paham, mahasiswi itu akan membuat deskrispi diri. Kelas Bahasa Indonesia rombel 38 ini memang berasal dari berbagai fakultas yang pasti memiliki perbedaan kebiasaan. FBS yang dari dandanan terlihat lebih wah, FIS yang agak sering telat (berdasarkan pengalaman), FIP yang tenang menghanyutkan, FIK yang sering ceplas – ceplos, FH yang diam karena menjadi kaum minoritas, FT yang terlihat sangar, dan FMIPA yang katanya terlihat serius dalam hal berbagai - bagai.
Rani meneruskan paragraf deskripsinya, kali ini tanpa membaca hasil tulisannya karena memang tulisannya dalam lima menit tadi terkesan kacau.
“Dia seorang pria yang tampan, berperawakan tinggi, pemilik senyum termanis, bijaksana, sholeh, penyayang, tidak gampang marah, dan yang teramat lembut untuk ukuran seorang pria. Jika kata dunia mata elang adalah mata yang paling tajam, tidak bagiku. Karena mata pria itu melebihi tajamnya. Rambutnya yang agak mengombak terlihat rapi tanpa diberi gell. Kulit telapak tangannya yang tak halus menandakan ia seorang pekerja keras yang memiliki cita – cita teramat tinggi. Bila aku ada di dekatnya, seakan dunia berpihak padaku. Rasa tenang dan nyaman yang ia suguhkan untukku membuat aku aman berada di sampingnya. Saat ia tak suka makan ikan, aku yang menghabiskan jatahnya. Saat aku tak boleh makan mie instan, ia yang susah payah menelannya. Kami saling melengkapi. Ia memang tak sempurna, tak istimewa, tapi tak biasa. Ia bukan ayahku, ia juga bukan temanku. Kalau kau bertanya,’Apakah ia pacarmu?’ lantang kujawab,’Bukan’. Ia juga bukan musuhku, ia bukan orang yang selalu memberikan bahunya untukku bersandar. Tapi, ia adalah orang yang mampu menarikku berdiri lagi ketika aku mulai terjatuh dan tertatih. Ia mengerti apa yang aku mau. Ia adalah seorang pria gagah yang sulit untuk didefinisikan terlebih lagi untuk dideskripsikan. Ia adalah Ardiansyah Eka Saputra; kakakku.
---
Akhir semester 2
Hari ini Rani pulang ke Kebumen. Bertemu ibu, Nindya, Salma, dan Bagas.
Ibu masih sibuk membuat pola baju pesanan Pak Camat yang akan diambil tiga hari lagi. Nidya yang sudah bercita – cita menjadi koki sejak kecil, tampak asik dengan pisau di tangannya. Ah, gadis itu sudah mulai beranjak remaja. Bila ada di dekatnya, kau akan mencium bau wangi dari minyak wangi yang selalu ia bilang… “Biar PeDe…”.
Salma sepertinya menuruni bakat menggambar ayah. Meskipun di bangku SD belum dikenalkan cara membuat gambar – gambar proyeksi, ia sudah mulai memenuhi buku gambarnya dengan goresan kasar bangunan rumah, gedung – gedung tinggi, jembatan, sekolah yang megah, dsb. Bagas sudah terlihat semakin besar, ia kini sedang senang memakai baju hijau – kuning plus topi yang ia dapatkan dari TK Aisyiah Bustanul Athfal 3, surga keduanya di bumi kali ini.
Rani senyum – senyum melihat perkembangan itu semua.
“Sayang, Mas Ardi tak bisa ikut kumpul di sini.” Lirih batin Rani.
“Bu, apa ndak ada libur untuk Mas Ardi, ya? Kan kasihan kalau disuruh kerja terus.”
“Sabar, Masmu itu kan lagi rekoso, lagi prihatin. Ya biar, nanti kalau waktunya pulang kan pasti pulang.” Ucap Ibu menenangkan.
“Tapi, Rani sampun kangen banget, Bu…”
“Kalau kangen, ya matur sama Allah. Biar Masmu cepet ada waktu libur, biar cepet pulang.”
---
Semester 6
Tugas perkuliahan semakin menumpuk. PPL harus segera dilaksanakan. Skripsi menunggu giliran untuk segera diawali. Tinggal membakar semangat sedikit lagi, semuanya akan terselesaikan dengan rapi. Tak ada kata untuk menyerah. Tak ada kata untuk berkata tidak bisa atau tidak mampu. Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlan waanta taj’alul hazna sahlan. Ya Allah tiada yang mudah kecuali yang Engkau mudahkan, hanya Engkaulah yang menjadikan sulit menjadi mudah.
Sejak duduk di bangku kuliah, sudah puluhan bulan ia habiskan malam – malam untuk memanjatkan do’a, untuk mengiba pada Yang Mahapunya. Mahapunya segalanya. Punya kekayaan untuk mengucurkan rizki yang tak henti – henti untuk ibu Rani. Punya kekuatan untuk mendobrak semangat anak – anak Pak Bambang – Bu Endang dalam menghadapi hidup. Punya kekuatan untuk sedikit saja menggetarkan hati Si Bos supaya memberikan waktu libur untuk Mas Ardi. Punya kekuatan untuk menyuplai energy yang pasti terkuras habis untuk merancang bangunan supaya berdiri kokoh. Punya kejernihan yang mampu menjernihkan mata Mas Ardi yang setiap hari menghadapi garis – garis pembentuk sketsa bangunan megah. Punya kelembutan yang mampu sedikit saja melembutkan tangan Mas Ardi yang mungkin saja ia gunakan untuk mengangkat batu bata ketika proyek harus segera dirampungkan sementara anak buahnya kekuarangan tenaga. Yang Mahpunya, pasti juga punya wewenang untuk mengabulkannya. Rani percaya itu.
---
Rani memandangi surat di tangannya. Siang tadi waktu di kampus, ada temannya yang memberi tahu bahwa ada surat untuknya di kantor jurusan. Awalnya ia bingung, surat dari siapa? Tahun 2012 masih zamannya surat – suratan?
Ketika dilihat nama pengirimnya, tertulis rapi di sana nama kakaknya; Mas Ardi.
Assalamu’alaikum ww.
Untuk Rani, adikku tersayang.
Ini Mas Ardi. Alhamdulillah cinta Allah tak pernah berhenti hingga Mas menulis surat ini. Selalu saja ada rizki dalam bentuk yang berbagai – bagai yang Rabb titipkan untuk Mas. Semoga, Rani pun demikian. Amiin.
Mungkin Rani bingung kenapa Mas kirim surat. Begini sayang, Mas baru mendapat proyek baru di sebuah pedalaman yang sangat terpencil. Di tempat itu insyaAllah akan dibangun sekolah untuk anak – anak usia SD dan SMP. Di daerah itu sama sekali belum ada signal. Itu sebabnya, Mas tidak bisa menghubungi Ibu, Nindya, Salma, Bagas, dan juga Rani via seluler. Tempatnya sangat terpencil, Ran. Jadi, Mas putuskan untuk mengirim surat.
Dua minggu lalu ketika Mas menelepon Rani, Rani bilang sedang menyusun skripsi? Itu tandanya, sebentar lagi Rani memakai toga dan menyandang gelar S1. Tahukah kau, Rani? Bahwa Mas begitu bangga padamu. Profesi guru adalah pekerjaan yang mulia, yang mampu mendidik generasi menjadi terdidik. Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan untukmu, amiin.
Oh ya, cincin yang Mas berikan untuk Rani, masih kan? Sekarang Mas tahu kenapa dulu Ayah memberikan cincin untuk Mas. Sesuatu yang menurut kita tidak wajar. Ayah memberi cincin itu karena cincin tak memiliki ujung; melingkar dan terus melingkar. Tak ada awal dan akhirnya. Cincin melambangkan ikatan yang mampu mengingatkan pada pemakainya bahwa yang memberi telah mengikatnya dengan kasih yang tak berujung. Begitu pun dengan kasih sayang Ayah yang beliau berikan untuk Mas, yang tak pernah berujung. Ketika Ayah memberikan cincin itu, pertanda bahwa Mas menjadi pengganti Ayah. Begitupun dengan Rani. Ketika Mas memberikan cincin itu, Rani menjadi pengganti Mas dalam menggapai cita – cita yang sempat terputus di bangku kuliah. Seperti cincin itu pula, kasih Mas untuk Rani tak pernah terputus.
Wassalamu’alaikum ww.
Masmu tercinta,
Ardiansyah Eka Saputra
---
11 Januari, 2014
Assalamu’alaikum ww.
Alhamdulillah karena cinta Allah, Rani, Ibu, dan adik – adik masih bisa berdiri tegar di bumi-Nya. Semoga Masku yang jauh di sana juga begitu adanya, semakin kuat dan semakin kuat. Rani percaya itu, Mas. Kalau tidak salah, ini surat ketujuh sejak Mas Ardi mengirim surat untuk pertama kalinya.
Sejak Rani diwisuda, Alhamdulillah Rani langsung bisa mengajar di SMA N 1 Gombong. Nindya tidak mau kuliah setelah lulus dari SMKK jurusan Tata Boga. Ia langsung buka chatering di rumah. Jahitan ibu semakin ramai, sebenarnya Rani tak tega jika ibu terus bekerja di masa sepuhnya. Tapi, ibu bersikeras. Salma sudah SMP. Kamarnya penuh dengan kertas gambar bangunan – bangunan megah. Bagus sekali, Mas…. Gambarnya seperti gambar Ayah dan Mas. InsyaAllah Salma akan menjadi arsitek seperti cita – cita Mas yang belum terwujud. Bagas sudah tumbuh menjadi lelaki kecil yang tampan, Mas. Seperti wajahmu. Beberapa kali ia naik ke atas panggung menerima hadiah lomba hafalan surat – surat pendek, adzan, dan qiro’ah di TPQ tempat ia mengaji.
Mas, maaf sebelumnya kalau Rani lancang. Bengini, satu minggu yang lalu ada teman SMP Rani yang datang ke rumah. Bertemu dengan Ibu. Katanya, mau melamar Rani. Kata Ibu, semua keputusan tergantung Rani. Tapi, Rani belum berani memutuskan sebelum Rani matur Mas. Sebagai wali Rani, Mas Ardi juga berhak untuk menentukan siapa jodoh Rani. Dia bernama Iqbal. Kata Bayu; teman dekatnya, iqbal ikhwan yang sholeh, lulusan ITB jurusan arsitektur. Oh ya, perawakannya mirip Mas Ardi. Itu salah satu alasan Ibu menerima baik kedatangan Iqbal, katanya mirip Mas.
Jawaban iya dan tidak akan Rani sampaikan setelah Rani mendapat surat balasan dari Mas. Rani tunggu kebijaksanaan Mas.
Wassalamu’alaikum ww.
---
Dua minggu kemudian…
Assalamu’alaikum ww.
Alhamdulillah Mas sehat. Semoga keluarga Kebumen juga begitu. Mas sudah menerima surat terkahirmu. Jawabannya akan Mas katakan ketika kita bertemu di rumah. Kita bicarakan bersama. Tunggu Masmu pulang, insyaAllah tanggal 3 Febuari ini. Sambut Masmu dengan senyum dan semangat yang senantiasa tersemat ya. Sungkem untuk Ibu dan salam untuk Adik – Adik.
Wassalamu’alaikum ww.
Masmu, dalam ingin pulang
Ardi
Semua penghuni rumah bernomor 17 di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen itu sontak berucap hamdallah…
“Alhamdulillah Masmu mau pulang, Nduk…” pelupuk keriput mata ibu tak mampu membendung lagi tangis bahagia.
“Ibu, hari ini kan tanggal 3 Febuari.” Bagas si kecil menunjuk angka di kalender yang terpasang rapi dengan sedikit hiasan gambar Salma.
---
19.31 WIB
Setelah sholat berjama’ah di mushola Darul Muqomah depan rumah, semuanya duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka lebar. Nindya asik menata kue yang langsung ia buat tadi sehabis membaca surat dari kakak yang sudah sangat ia nantikan kedatangannya. Salma sibuk mengumpulkan kertas – kertas gambarnya yang ingin ia tunjukkan pada kakak sulungnya. Bagas memandangi foto yang ibu berikan untuknya sejak kakaknya pergi merantau. Ibu selalu menceritakan sosok kakak yang belum ia kenal sebelumnya di usia yang teramat kecil saat itu. Ibu khusyuk dengan tasbih di tangan keriputnya. Sementara Rani tak henti – hentinya melihat keluar kalau – kalau tiba – tiba masnya muncul sambil merapikan baju hijau muda dan rok hijau agak tua serasi dengan kerudungnya.
Dari kejauhan tampak becak membawa seorang penumpang dengan beberapa tas besar.
“Mas Ardiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…………………” teriak Rani, Nindya, dan Salma. Sementara Bagas masih mencocokkan wajah yang ada di foto dengan wajah orang yang datang, sepertinya tampak berbeda.
“Assalamu’alaikum, Ibu….” Bibirnya mencium tangan wanita yang teramat ia rindukan selam bertahun – tahun.
Malam itu, tak banyak yang dibicarakan. Setelah menyantap kue buatan Nindya dan memandang sekilas gambar – gambar Salma, Ardi membersihkan diri lantas tertidur lelap. Ibu yang memintanya demikian.
Di dalam hati wanita berkepala lima itu, tersimpan tanda tanya besar. Jika anakku menjadi arsitek yang kerjanya menggambar, kenapa tangannya begitu kasar? Kulitnya hitam legam, badannya kurus, dan rambutnya tak serapi saat ia melepas kepergian anak sulungnya. Pekerjaan apa yang sebenarnya anaknya lakukan selama ini?
---
23.45 WIB
“Uhuk…uhuk…uhuk…”
Sejak kedatangannya, Ardi sudah berkali – kali batuk, ratusan atau bahkan mungkin ribuan kali.
---
4 Febuari 2010
“Masmu belum bangun – bangun, Nduk…. Coba dibangunkan. Disuruh subuhan dulu.”
“Nggeh, Bu…” Nindya pelan – pelan membuka pintu kamar Ardi yang memang tak dikunci.
“Mas, bangun, Mas…. Sudah pagi. Subuhan dulu. Nindya sudah masak nasi goreng telur untuk Mas Ardi, enak lho Mas. Mas, bangun, Mas…. Mas, Salma agak ngambek tuh gara – gara semalem gambarnya cuma dilihat sekilas. Habis makan nanti, kita membicarakan tentang lamaran Mbak Rani, ya Mas…. Kasihan Mbak Rani, sudah ingin segera mendengar jawaban dari Mas Ardi. Mas, katanya Bagas juga mau ngajak Mas main bola di lapangan dekat rumah Bu Harun. Ayo, bangun, Mas…. Banyak yang harus Mas lakukan hari ini.
Mas…Mas Ardi….”
Nindya mulai menyadari ada yang aneh. Masnya tak menanggapi apapun yang ia ceritakan. Matanya tak sedikit pun dibuka. Badannya tak sedikit pun bergerak.
“Ibu….Mbak Rani….Salma….Bagas…..”
---
Sekali lagi, ini adalah cita – cita tentang kenyataan dan kenyataan tentang cita – cita.
Satu lagi nisan tertanam di dalam tanah dengan 3 baris deretan kata
Ardiansyah Eka Saputra
Lahir : Kebumen, 31 Juli 1988
Wafat : Kebumen, 4 Febuari 2014
Barisan rombongan pengantar jenazah menjadi saksi kembalinya seorang lelaki muda yang bertanggung jawab pada keluarga.
“Cepat pulang, Nduk….” Ibu terlihat lebih tabah dibanding Rani.
---
Rumah nomor 17 Desa Sidoagung, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen
Di kamar ini, waktu aku masih berusia 7 tahun, Mas Ardi pernah mengajakku menuliskan cita – cita. Aku bingung mau menulis apa. Profesi yang baru aku tahu hanyalah penggambar (sebenarnya arsitek, tetapi yang aku lihat dari pekerjaan Ayah adalah menggambar terus), penjahit seperti Ibu, dokter yang rutin memberikan obat untuk Mas Ardi karena bronchitis itu, dan guru yang selalu mengajarkan aku menulis, membaca, menggambar, menyanyi, dsb. Aku tak ingin seperti Ayah yang kerjaanya hanya menggambar karena aku tak suka menggambar, aku tak ingin seperti Ibu yang sering tertusuk jarum jahit, aku juga tak ingin seperti dokter yang jahat karena selalu memaksa Mas Ardi minum obat pahit. Lalu, kuputuskan aku menuliskan cita – citaku sebagai seorang guru; satu – satunya profesi terakhir yang aku tahu. Lantas, aku dan Mas Ardi menempelkan kertas cita – cita di dinding kamar ini. Masih ada hingga kini. Tertulis kata “ARSITEK” pada kertas cita – cita Mas Ardi.
Mas Ardi bilang, “Kalau Rani sedang ingin pertolongan dan merasa sangat sedang membutuhkan Allah…buka Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 214. Dan kalau Rani ingin tahu betapa besarnya cinta Mas untuk Rani, Rani boleh membuka kotak di lemari Mas bagian bawah. Tapi, Rani hanya boleh membukanya saat Rani benar – benar ingin tahu tentang cinta Mas. Jangan dibuat mainan, ya….”
Mas, Rani ingat kata – kata itu.
Pelan – pelan ia membuka lemari pakaian milik kakaknya. Tercium minyak wangi Casablanca warna biru yang sangat ia hafal baunya.
Rani buka ya, Mas….
Mata merah Rani menatap sesuatu…
Sebuah design rumah.
Rani, ini untukmu. Mas buatkan ini setelah Mas menerima surat terkahirmu tentang lamaran teman SMPmu. Kelak, ketika Rani dan Iqbal ingin membuat rumah, pakai design dari Mas Ardi ya. Mas tahu, Iqbal jauh lebih pandai karena waktu belajarnya di bangku kuliah jauh lebih lama dibanding Masmu ini. Tapi, biarkan Mas merasakan menjadi arsitek sekali saja, arsitek khusus untuk Adik tersayangku. Karena, sebenarnya selama ini pekerjaan Mas di proyek – proyek bukan ‘penggambar’ seperti katamu waktu kecil, tapi… menjadi pekerja bangunan. Lha wong lulusan STM kok, masa mau jadi arsitek, ya mimpi itu namanya, hehe.
Debu bangunan sering nakal sama Mas, membuat bronchitis yang sempat sembuh menjadi kambuh lagi. Masmu berniat pulang karena paru – paru ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Mas perlu istirahat, sejenak.
Segeralah menikah, dengan arsitekmu; Iqbal.


Desti Anisa Zoraida
4101409006
Matematika-FMIPA

(cerpen peringkat ke-2 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431 H)

Kamis, 17 Juni 2010

BA'IID

“Lahir di rawa hanya akan membuatmu menjadi kodok,” kata Abah suatu malam. Aku terpekur duduk di atas amben bambu. Sehabis sholat Isya abah memulai cerita. Lebih menyerupai ceramah. Aku, Umi, dan dua adikku bergeser merapat ke dinding supaya bisa bersandar. Persis di atas kepalaku menempel sebuah lampu minya, berpendar tidak terlalu terang.
“Tapi jika kau lahir di gurun, kau akan menjadi singa yang tangguh,” lanjut Abah, memundurkan posisi duduknya. Aku tersenyum kecil menyadari sebenarnya hanya singa Frantius, tidak sampai 1 persen dari seluruh singa yang hidup di gurun. Aku tidak berniat mendebat Abah.
Kata Abah yang demikian sering membuatku bingung. Malamnya, saat aku berbaring di balik bilik bersekat triplek aku termenung. Berbantal kedua lengan aku menatap langit-langit rumah. Kupikir Abah hanya ingin membuatku bangga menjadi pemuda desa.
Desaku, tempat aku dibesarkan hingga kini berusia dua puluh tahun, terletak di perbukitan. Dari halaman depan rumah yang luas aku bisa memandangi kota kabupaten. Malam hari, saat sunyi menyergap, aku sering duduk di sebuah kursi bambu di halaman depan. Bintang gemintang. Dari tempat itu aku menatap untain lampu jalan di kota yang tampak berpilin tambang.
Abah tak pernah, sekalipun seumur hidup, hijrah dari desa. Tidak juga berpikir ikut transmigrasi seperti para tetangga. Meski tak seberapa luasnya, kebun coklat membuat kami berkecukupan. Ia, juga Umi, tak pernah membuatku terpikir ke kota. Keduanya memintaku tetap di rumah, menjaga kebun dan menemani mereka di senja usia.
Aku pikir benar. Hidup jauh dari keluarga seperti yang aku jalani lima tahun silam di pesantren membuatku kesepian. Setelah menamatkan sekolah menengah dan pesantren, aku menolak tawaran beasiswa melanjutkan studi di perguruan tinggi.
“Ini tempat paling indah,” kata Abah malam berikutnya, “Menyediakan apapun yang kita perlukan.”
Sebuah sungai mengalir di belakang rumah. Jika hujan deras, suaranya bergemuruh. Esoknya, yang membuatku amat senang, aku bisa menangkap ikan. Di sana ada beberapa mujair yang bisa aku tangkap dalam beberapa menit. Dua, tiga ekor aku bakar, sisanya kubawa pulang.
Aku tersentak. Batu sebesar kepalan tangan jatuh di atas kali. Cipratan air mengenai wajahku ketika aku duduk di sebuah bingkah batu. Seseorang melemparnya dari kejauhan.
***
Ketika rentetan tembakan terdengar, Rahman dan dua belas rekan lainnya segera berjingkat. Mereka melemparkan sisa batu yang telanjur digenggam. Sisanya, tumpukan batu sebesar kepalan tangan ia tinggalkan di sudut kota tempat ia sembunyi dari para tentara yang mereka serang.
Rahman dan rekan-rekan tidak mengerti betul mengapa selalu menghabiskan keseharian di jalanan. Mereka menghadang tank-tank lapi baja. Kadang jika ada Humvee mereka juga melemparinya. Para tentara yang kesal kemudian turun mengarahkan M-26 kepada Rahman. Kadang hanya gertakan, kadang senjata itu juga meluncurkan peluru tajam yang menghujam. Beberapa rekan Rahman meninggal dalam aksi yang mereka sebut sebagi jihad. Intifadah.
Rahman, pernah beberapa malam tidur sekamar denganku di pesantren salaf tempatku belajar. Ia pemuda santun yang tangguh. Tubuhnya setu jengkal lebih tinggi dariku, membuat Rahman selalu menundukkan kepala saat bicara.
Malam amat sepi. Aku duduk di ranjang tanpa melepas sarung. Rahman masih memegangi Al-Quran, menggelar sajadah di lantai. Usai shalat Isya sejam lalu Rahman tak beranjak. Sejam berikutnya, saat aku nyaris tidur ia membangunkanku.
“Apa kau kelelahan?”
“Tidak. Aku biasa jalan jauh. Bagiamana dengan kamu?”
“Jalan menuju pesantrenmu empuk, aku merasakannya ketika menginjak beludru.”
Tadi siang kami menempuh perjalanan jauh. Ia tiba di bandara tengah hari. Aku diminta Pak Kyai menjemputnya. Dari bandara, untuk sampai pesantren kami harus 3 jam naik bis, lima puluh menit dengan angkot, dan dua jam jalan kaki. Pesantren tempatku belajar ada di antara hutan pinus yang jalannya dipenuhi liana.
Rahman pemuda asli Palestina. Tak tahu bagaimana dan untuk apa ia datang ke Indonesia. Ketika pertama kali kami bertemu ia mengenalkan diri sebagai sudara jauh. “Ba’iid,” ucapnya. Aku yang saat itu tidak mengerti bahasa Arab mengira itu namanya. Ba’iid.
Tahu aku tidak bisa berbahasa Arab, Rahman mengalah. Ia menggunakan bahasa Indonesia. Dalam perjalanan tak berhenti bicara tentang nama tanaman yang kami lewati.
“Semua tanaman ada di sini. Dulu aku hanya mengenalnya di kamus,” ucap Rahman kegirangan.
Berjalan setengah lari Rahman tak terlihat lelah. Ia sempatkan mandi di sebuah kali yang kami lewati. Aku duduk di sebuah batu lebar, ia asyik bermain air seperti katak.
“Di desaku aku harus menjual dua ekor domba supaya bisa mandi seperti ini,” ucapnya. Menjelang Maghrib baru ia mau keluar dari cerukan kali itu.
Usia Rahman tak terpaut jauh denganku. Ia lahir dan besar di Gaza. Ayahnya seorang guru, tewas enam tahun lalu akibat sebuah pengeboman yang dahzyat. Sepulang mengajar ayah Rahman tetap di sekolah untuk seberapa lama. Sebuah pesawat tempur melayang cepat. Suaranya keras, bergemuruh. Beberapa kali berputar pesawat itu menjatuhkan bom, meledakan sekolah tempat ayah Rahman mengajar.
Siang terasa panas saat itu. Sekolah ayah Rahman terletak dua kilometer dari gurun perkampungan tempat Rahman tinggal. Angin semilir. Rahman duduk di atas puing-puing bangunan. Ayahnya ditemukan tewas tertimpa bangunan. Tetangga dan beberapa anggota laskar menguburnya.
Pasca kematian ayahnya Rahman tak berbuat banyak. Ia mundur dari sekolah tinggi antropologi yang ditempuhnya beberapa semester. Ia bekerja sebagai penjaga toko roti sambil belajar agama pada seorang ulama. Siangnya, ketika tank-tank Israel datang, ia bergegas meninggalkan toko. Di samping pintu depan tokonya, ia menyimpan sekarung batu. Bersama puluhan pemuda lain ia keluar berhamburan.melempari tank-tank dengan batu.
“Allahu akbar! Allahuakbar!”
Seorang tentara keluar. Ia mengenakan helm tempur loreng malvinas, menembakan gas air mata. Rahman merangsek maju. Gas air mata ia pungut dan di lemparkan kembali. Seorang temannya lagi, yang datang dari belakang gedung melempar batu, mendarat persis di punggung. Tentara itu tampak berang.
Tentara mengambil laras panjang di gendongan. Ia membidikkan senjata. Pemuda itu lari, bersembunyi di balik dinding bata yang tampak rapuh. Tentara itu kemudian menggantinya dengan roket pelontar granat. Rahman tahu senjata itu akan melukai kawannya. Bahkan sepengatahuannya, RPG mampu membuat beton sekalipun porak poranda.
Rahman berlari kancil mendekati tentara dari belakang. Di samping pintu toko roti yang dijaganya ia menyisakan puluhan batu. Ia mengambil salah satu dan melemparkannya ke arah tentara. Brak! Batu itu mengenai rompi kevlar.
Tentara mulai menembaki rumah. Entah apa tujuan mereka. Kaca-kaca jendela hancur. Pemilik rumah biasa menggunakannya untuk mengintip senja. Juga dinding batu bata, mulai berlubang. Pepohonan, yang berimpit dengan hawa panas di Gaza, meliuk pelan. Angin meliukan debu jalanan.
Rahman tak surut langkah. Ia tahu, nyawa yang menggerakan tangan dan tubuhnya bukan miliknya. Karenanya ia tak pernah takut jika pemilik nyawa itu mengambilnya. Ia selalu siap. Tak pernah sekalipun ia takut mati. Kecuali ia mati dalam keadaan ingkar pada Tuhan dan bangsanya.
***
“Kau pernah tertembak?” aku menyela cerita Rahman. Dua cangkir kopi kusajikan di depannya.
“Lihat,” Rahman menunjukkan bekas luka di kakinya. Belum kering benar.
“Masih sakit?”
“Tidak. Allah akan segera menyembuhkannya.”
“Kenapa kalian terus melempar batu?”
“Kami tak akan berhenti melawan. Kemenangan hanya bagi petarung, bukan pengecut.”
“Bagaimana dengan Saudara-saudaramu yang tewas? Tidakkah sia-sia, sedangkan bangsamu, tetap terjajah.”
“Bukan sekedar kemerdekaan bagi kami. Tidak ada yang Tuhan muliakan kecuali kita membela kebenaran. Dan kau tahu?” menepuk pundakku. “Tidak ada ujung perjuangan kami.”
“Bangsa kami pernah merasakannya,” ucapku pelan.
Rahman tersenyum ringan, memandangi lampu minyak. Jarinya tak berhenti menggerakan bijih tasbih. Tahlil terdengar lirih. Aku berebahan hingga tertidur.
Pagi hari ketika sebagian santri di pondokku mulai berangkat bertani, Rahman mohon diri. Ia pamit mampir di Kedutaan Besar dan bersgera pulang. “Bangsaku menunggu, aku tak bisa berlama-lama di sini,” ucapnya, sambil merangkulku.
***
Entah untuk apa seseorang melempar batu di depanku. Cipratan air mengena wajahku. Ketika membalikkan badan aku terperangah. Ku kira anak kecil yang melemparnya. Seorang pemuda bertubuh tinggi tersenyum menyambut tatapanku. Wajahnya dipenuhi jambang.
“Subhanalloh, Ba’iid.”
Aku lekas berdiri, meninggalkan kail pancing.
“Kapan kau datang?”
“Tadi pagi. Gaza kembali diserang. Kami perlu bantuan kalian?”


(cerpen peringkat ke-3 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)

Rabu, 16 Juni 2010

SAJADAH BUAT SALWA

Tak ada waktu seindah pagi, termasuk pagi ini. Walau pagiku sedikit lebih sederhana. Tanpa ada semilir angin dingin, atau pemandangan elok fajar dari timur. Di sini hanya ada panorama khas perumahan kumuh di pinggiran kota. Suara kesibukan penghuninya adalah kicauan burung pagi bagiku. Jujur saja, pernah terlintas di benakku untuk merekam segalanya dari atap rumah ini. Menjadi saksi kisah-kisah hidup paling bermakna dari kehidupan kecil sebuah pemukiman. Sebuah tempat dimana keramaian justru muncul di pagi buta. Saat beberapa anak seharusnya bangun untuk menata buku sekolahnya. Tapi untuk anak-anak seperti kami, pagi hari adalah saat untuk mengepulkan asap dapur rumah, agar orang tua kami bisa berjualan makanan di pasar pagi.
“Hasnaaaaaaaa !!!”
Aku terbangun dari lamunanku. Sejenak aku mencoba mengira-ngira suara siapa yang memanggilku. Pelan-pelan aku membalikkan badan. Terlihat seorang anak menghampiriku dengan sedikit kesal. Wajahnya kucel pertanda baru bangun tidur.
“Mau sampai kapan di sini ??” tanya anak itu sambil mengucek matanya.
“Iya iya...lima menit lagi aku ke dapur .“
“Kamu pikir apinya bakal nyala terus lima menit lagi, bu’e bilang adonannya juga belum jadi. Kalau sampai telat dibawa ke pasar kamu mau tanggung jawab !!!”
“Ya udah dua menit lagi aku ke sana, kamu gantiin aku dulu bentar...please !!!”
“huh...terserah lah...lagian kenapa mesti dua menit lagi sih ?? Emang bakal ada artis lewat dua menit lagi ?? ”
“Bukan artis Nilam...mungkin matahari bakal terbit dua menit lagi, insya Allah.”
“Sok tau !!!” jawabnya ketus.
Dengan kesal anak itu membalikkan badan untuk meninggalkanku. Aku memandangnya dari belakang sambil tersenyum. Anak itu adalah Nilam, sepupuku. Semenjak ibuku menjadi TKI di Malaysia, aku tinggal bersama budhe di tempat ini. Setiap pagi aku dan Nilam membantu budhe membuat bubur dan gorengan untuk dijual di Pasar pagi. Budhe menyayangiku seperti ia menyayangi Nilam.
Nilam seusia denganku. Kami murid kelas 7 di MTs N 3 Randu. Aku dan Nilam sangat berbeda. Nilam lebih terbuka untuk menyampaikan perasaannya. Tak ayal aku sering mengalah oleh sikapnya yang terkadang kekanak-kanakan. Satu hal yang manyamakan kami adalah kami sama-sama tidak memiliki ayah.

“Ayaaah...dengarkanlah...akuuu...ingin bernyanyi...”
Aku terhentak oleh suara itu...aku mencoba mendekatkan telingaku berharap bisa lebih jelas mendengarnya.
“Walau...air mata...di pipikuuuu...”
Aku mengenal lagu itu. Itu adalah lagu Broery Marantika yang diaransement ulang oleh Peterpan. Lagu itu cukup favorit di kalangan anak-anak yatim. Aku mencoba mencari-cari sumber nyanyian itu. Salah satu alasan kenapa aku menyukai atap rumah ini adalah karena aku bisa melihat tetangga-tetanggaku dari atas sini. Lebih lebih, banyak tetanggaku yang tidak tahu aku mencermati mereka setiap hari. Aku melanjutkan pencarianku. Aku cermati tiap sudut perumahan sempit ini. Terlihat dari teras sebuah rumah bambu, seorang anak sedang menata beberapa besek sambil bernyanyi. Besek adalah anyaman kecil dari bambu tempat menaruh makanan. Biasanya orang membuat besek untuk dijual kepada warga yang akan mengadakan hajatan.
Aku memandang anak perempuan berambut panjang itu dengan seksama. Aku tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Suara nyanyiannya begitu merdu. Suara yang lirih penuh dengan rasa rindu. Matanya terlihat sendu seperti telah lama memendam kesedihan.
Anak itu menghentikan nyanyiannya, kemudian menoleh kepadaku. Aku bisa melihat anak itu menatapku dengan kosong. Aku mencoba mengalihkan pandanganku. Kenapa anak itu menatapku seperti itu ?? Aku penasaran lalu memandangnya lagi. Tiba-tiba anak itu menjulurkan lidahnya kepadaku, seperti yang dilakukan anak TK ketika saling mengejek dengan temannya. Aku tertegun melihatnya. Tak lama kemudian ia tersenyum kepadaku bersamaan dengan sinar matahari yang mulai menerangi rumahnya. Dia sangat cantik di bawah sinar matahari. Matanya berbinar memancarkan kekaguman pada keindahan surya.
“Hasna...udah dua menit.” terdengar suara Nilam memanggilku dari bawah.
“Iya iya...aku turun sekarang.”
Aku membalikkan badanku dan berlari ke tangga untuk turun. Sejenak aku menghentikan langkah untuk melihat anak itu lagi. Dia masuk ke dalam rumah kakek Salim, tetanggaku. Anak itu benar-benar membuatku penasaran. Aku mencoba tidak memikirkannya dan melanjutkan langkahku.
-=oOo=-
Di sekolah, anak-anak dari kampung yang sama denganku sedang ribut membicarakan seseorang.
“Katanya dia dari kampung sebrang. ” kata salah seorang anak.
Anak yang lain tiba-tiba menjawab dengan geram,” Aku gak peduli, mau dari sebrang atau dari kutub, Kalau dia gak tanggung jawab, kita kerjain habis-habisan.”
“Setuju Jo, gak tau apa kalo kamu anaknya pak RT.” anak lain menambahi tak kalah menggebunya.
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sekilas yang bisa aku tangkap adalah Si Joko anak gendut yang sok jago itu sedang geram pada seseorang. Joko Sastro Pramono. Dia anak pak RT, orang paling kaya di kampung kami. Dia adalah ketua geng “Naughty” di sekolah, sekaligus pemilik predikat anak paling rajin ke mushola kami. Walaupun terkadang dia ke mushola hanya untuk nongkrong. Aku melihat Nilam yang sedang asyik duduk di bangku sebelahku. Dia seolah tidak peduli dengan keramaian geng “Naughty”. Aku mencoba berbincang dengannya.
“Nilam, Joko sama gengnya ngomongin siapa sih ??” tanyaku.
“Ooh...penghuni baru itu ??” jawabnya tenang.
Aku mencoba menebak siapa yang dimaksud Nilam. Apakah anak yang aku lihat tadi pagi?? Nilam membenarkan posisinya agar bisa leluasa bercerita kepadaku.
“Namanya Salwa. Dia cucu kakek Salim, tetangga kita. Kemarin Bilal crita sama aku. Kamu gak bakal nyangka apa yang Salwa lakuin ke Joko tadi malem.” jelasnya.
“Emang dia nglakuin apa ke Joko ??” tanyaku dengan penuh penasaran.
Awal cerita...
Malam itu, ba’da sholat isya di sebuah taman dekat mushola, seperti biasa Joko dan gengnya sedang asyik bercengkerama. Mereka mencermati tiap orang yang keluar dari mushola. Tak lama kemudian, seorang gadis dengan mukena di tangannya berjalan keluar mushola sambil tersenyum ramah pada tiap orang yang lewat. Gadis itu adalah Salwa.
“Jo, Joko...mangsa baru.” kata si cungkring Parmin , sambil mengkerlingkan matanya ke arah Salwa.
Joko membenarkan jaket dan pecinya. Dia menghampiri Salwa dengan gaya yang sok penguasa. Salwa yang saat itu sendirian bingung oleh tingkah anak-anak itu. Dia mencoba melanjutkan langkahnya, tetapi kembali dihadang oleh Joko.
“Setiap penghuni baru yang mau aman tinggal di sini, harus ngasih uang keamanan berupa satu benda paling berharga yang dia miliki. Sayangnya, kita belum nerima apapun tuh dari kamu.” terang Joko.
Salwa menarik nafas sejenak, kemudian menjawab, “Kakek aku pembuat besek. Bagi aku barang paling berharga dari kami ya besek. Tenang aja, besok aku buatin sepuluh, gratis buat kalian.”
“Hah...?? Ngomong apa barusan ?? besek ??”
Seketika Joko beserta teman-temannya Parmin dan Bilal tertawa terbahak-bahak. Joko meletakkan sajadahnya di punggung, kemudian dengan lantang ia bertanya pada dua sahabatnya.
“Cungkring...!!!”
“Ya bos...” jawab Parmin si cungkring.
“Kamu ngasih apa waktu pertama datang ke sini ??”
“Kalkulator bos, merek ‘Makmur’, limited edition...??” jawab Parmin bangga.
“Kalau kamu Bilal ??”
Bilal maju satu langkah...kemudian menjawab,”Cincin turun temurun bos, nenek buyut poenya, hasil bertapa di gua rong.”
Joko tersenyum nyengir, kemudian mendekati Salwa. Dia memandangnya dengan sangar. “Kalau kamu gadis besek, mana barang berhargamu selain...”
“Beseeeek...” lanjut Parmin dan Bilal dengan tawa yang mengejek.
“Sebenarnya aku punya, saking berharganya sampai-sampai selalu aku bawa.”
Jawaban Salwa menghentikan tawa mereka. Joko memasang muka serius. Dari gerak geriknya, sangat tersirat kalau dia mulai penasaran. Sementara Salwa mulai mengeluarkan sesuatu dari kantong roknya.
“Minyak wangi asli dari Arab Saudi. Dijamin kamu gak akan bisa lupain sensasi baunya.”
Joko dan kawan-kawan melihat benda itu lalu dengan cepet merebutnya dari tangan Salwa. Mereka membolak-balik botol minyak wangi yang sebenarnya lebih mirip botol minyak telon itu. Kemudian Joko mencium bau minyak wangi itu.
“Baunya aneh.” kata Joko.
“Kalau belum dicoba ya aneh.” jawab Salwa tenang.
Joko menuang minyak itu ke tangannya, lalu ke bajunya. Kemudian ia mengendus-endus badannya diikuti pula oleh Parmin dan Bilal. Salwa terlihat mengambil ancang-ancang untuk kabur. Joko dan kawan-kawan merasa mengenal dengan baik bau itu.
“Udah selesai kan, aku mau pergi.” ujar Salwa sambil melangkah pergi.
“Tunggu !!!”
Baru tiga langkah ia meninggalkan geng “Naughty”, panggilan Joko menghentikan langkahnya.
“Ini lebih mirip bau minyak telon. Kamu mau bohongin kita ??” kata Joko dengan nada tinggi.
“Mengharap pemberian orang lain saja tidak boleh, apalagi memaksa orang memberikan barang kesayangannya.” kata Salwa tak kalah berani.
“Kamu berani sama aku ??”
“Sama kuntilanak aja aku berani, apalagi sama preman narsis kaya kalian. Lagipula itu bukan minyak telon lagi, itu minyak jelantah, sisa hajatan dari RT sebelah.”
“Hah...” teriak Joko.
Salwa merebut minyak itu dari tangan Joko. Mereka saling berebutan dan tak disangka....minyak itu tumpah ke sajadah Joko. Sajadah dan baju Joko berubah warna menjadi coklat kotor diiringi aroma minyak jelantah yang tidak mengenakkan.
“Oh nooo...OH MY GOD !!!” teriak Joko.
“Astaghfirullah...afwan boy.” balas Salwa sambil lari meninggalkan mushola.
“Hey...Salwa...!!!”
Muka Joko memerah penuh amarah. Kemudian ia memandang teman-temannya.
“Kenapa kalian gak bantuin aku ??”
“Sumpah bos, bau banget.” kata Parmin sembari menutup hidungnya. Parmin dan Bilalpun pelan-pelan mundur menjauhi Joko.
“Mending, mandi dulu aja bos...” kata Bilal agak gemetar.
Joko memandang Salwa yang sudah jauh meninggalkan mushola. Dia masih tidak percaya dia dikerjai oleh anak perempuan.
-=oOo=-
Malam ini begitu sunyi. Aku kembali teringat oleh cerita Nilam tentang Salwa di sekolah tadi. Selama ini tidak pernah ada yang berani mengerjai Joko, apalagi seorang anak perempuan. Aku menoleh kepada Nilam yang telah terlelap di sampingku. Aku tidak bisa memungkiri kalau pikiran tentang Salwa masih terbayang di benakku. Cara dia bernyanyi, cara dia menatapku, semua begitu berbeda. Aku mencoba memejamkan mataku.
Krek...krek...
Aku mendengar suara. Pelan-pelan aku membuka mataku. Aku bangun dari tempat tidur dan berniat mencari asal suara itu. Sepertinya suara itu berasal dari luar rumah. Aku memutuskan pergi ke atap jemuran tempat favoritku. Mungkin dari sana bisa terlihat apa yang terjadi. Aku memberanikan diri meneruskan langkahku. Aku tidak mengerti apa yang aku lakukan. Biasanya aku tidak seberani ini keluar tengah malam.
Akupun sampai di atap, aku melihat seseorang sedang memunguti kayu. Dalam keremangan aku melihat seorang anak perempuan. Tak salah lagi, itu adalah Salwa. Apa yang dia lakukan malam-malam begini ??
“Assalamualaikum…”
Aku kaget mendengar sapaan Salwa. Kenapa dia selalu menemukanku saat aku sedang diam-diam memperhatikannya ??
“Wa…walaikumsalam…” jawabku sedikit gagap.
Salwa meneruskan pekerjaannya. Aku penasaran sekali apa yang mau dia lakukan.
“Umm…Salwa…aku gak bisa tidur, boleh aku ke rumah kamu ??”
Salwa tersenyum padaku. Akupun turun untuk pergi ke rumahnya. Sesampainya di sana Salwa langsung menggiringku ke dapurnya. Aku melihat asap yang keluar dari tungku dapur. Di dalamnya terlihat beberapa ubi sedang dibakar. Di atas tungku itu pula tergantung sebuah sajadah berwarna hijau.
“Ayo duduk…hangat banget di sini.” ujar Salwa.
“Makasih…Eh…kek Salim mana, kok aku gak lihat ??”
“Kakek lagi tidur. Tadi dapat pesenan banyak, jadi nglembur deh. Sekarang malah loyo di kamar.” jawab Salwa.
Untuk pertama kalinya aku dan Salwa mengobrol. Kami bukanlah orang yang saling kenal, bahkan Salwa baru dua hari di kampung kami. Tapi aku sangat nyaman di dekatnya, senyumannya selalu membuat orang tenang. Aku memandang sajadah yang sedang ia keringkan. Sajadah itu sangat lusuh, mungkin sudah dipakai Salwa sejak kecil.
“Kenapa bisa basah ?? kalau kamu mau, aku bisa pinjemin sajadah aku dulu.”
“Sajadah ini dari ummi, hadiah waktu usia aku 7 tahun. Kata ummi, lagi ada obral di pasar. Tapi mungkin malam ini sholat tahajud terakhir aku sama sajadah ini.”
“Kenapa ??”
Salwa mengambil beberapa ubi yang telah matang dan memberikan satu untukku. Kemudian ia mengambil sajadah itu, lalu menggelarnya. Sajadah itu telah robek sampai sudah tak berbentuk lagi. Kemudian ia meletakkannya di samping setrika arang.
“Ummi bilang, yang penting dalam sholat itu bersih badan, pakaian sama tempat. Rumah kami terlalu kecil buat punya tempat sholat. Jadi harus selalu pakai sajadah.”
Salwa memandang sajadah itu dengan seksama. Walau dia sedikit menutupi, tapi aku tau matanya sedikit berair. Aku menelan ubi bakar sambil terus memandangnya.
“Enak banget...aku gak tau ubi bakar bisa semanis ini.” kataku sedikit mencari perhatian.
Salwa tersenyum padaku sembari mengeringkan sajadah rusak itu dengan hati-hati.
-=oOo=-
Pagi ini seperti biasa aku dan Nilam berangkat bersama ke sekolah. Baru beberapa meter dari rumah, tiba-tiba Nilam menghentikan langkahku.
“Kenapa ??” tanyaku.
“Ssssttt...pelan-pelan...biarin mereka agak jauh dari kita” bisik Nilam sambil menunjuk segerombolan anak yang tengah berjalan di depan kami. Mereka adalah geng “Naughty”.
Aku dan Nilam mengikuti langkah mereka dari belakang. Samar-samar aku mendengar mereka sedang bercengkerama.
“Aku yakin gadis besek itu gak akan berani lagi ke mushola.” kata Joko.
“Mana mungkin berani bos, emang dia mau bajunya di sobek-sobek kaya sajadahnya.” tambah temannya, Parmin.
Aku tidak percaya apa yang aku dengar. Jadi mereka yang merusak sajadah Salwa. Aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Aku menghampiri mereka dengan geram. Aku menghentikan langkah mereka.
“Kenapa harus Salwa ? Kenapa harus sajadahnya ? Kamu tau ada yang gak bisa sholat tahajud gara-gara sajadahnya kamu rusak. Salwa gak sengaja numpahin minyak ke sajadah kamu. Kamu punya sajadah satu lusin, tapi Salwa enggak !!!”
Sepertinya keberanian Salwa telah merasukiku. Aku tidak mau memikirkan akhirnya, aku bahkan berusaha untuk tidak pernah terlibat dengan geng “Naughty”. Tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa terima.
“Kamu ngomong apa sih ? aku heran, kenapa akhir-akhir ini banyak banget cewek-cewek yang berani nentang kita. Aku emang yang ngerusak sajadahnya, tapi apa urusan kamu ??” balas Joko. Aku mendorong Joko dan teman-temannya sampai mereka jatuh tindih-tindihan di tanah. Aku tidak mengerti kekuatan apa yang merasukiku. Aku tidak memperdulikan apapun dan bergegas ke rumah kek Salim untuk menemui Salwa.
“Hasna, mau ke mana...kita harus berangkat sekolah ??” seru Nilam menghentikan langkahku.
Aku memandang Nilam sejenak kemudian tanpa mengatakan apapun aku melanjutkan langkahku. Aku yakin Nilam akan mengerti apa yang aku lakukan. Tak lama kemudian aku sampai di rumah kek Salim. Aku melihat kek Salim sedang menganyam sebuah besek. Aku melihat-lihat ke ruangan lain untuk mencari Salwa, tetapi aku tetap tidak bisa menemukannya.
“Assalamu’alaikum kek, Salwanya ada ??”
Kakek Salim memandangiku sembari membenarkan kacamata tuanya.
“Walaikumsalam...Salwa sudah balik kampung. Ke Jaten, rumah orang tuanya.”
Aku tertunduk lesu. Kenapa Salwa tidak pamit padaku. Apa dia sudah tidak tahan menghadapi geng “Naughty”. Tapi setidaknya dia pamit dulu padaku.
“Belum jauh kok nduk, paling baru sampai jembatan dekat rumah pak Samin.”
Aku terhentak sembari menegakkan kepalaku. Aku segera lari mengejar Salwa. Aku terus berlari dengan masih memakai seragam sekolahku. Aku tiba di ujung jembatan. Aku melihat Salwa berjalan pelan di atas jembatan.
“Salwaaaaaaa...”
Teriakanku menghentikan langkah Salwa. Salwa berbalik ke belakang. Dia memandangku dengan heran. Akupun segera menghampirinya.
“Aku pikir kita teman. Kenapa kamu gak pamit kalau mau pergi.” tanyaku.
Salwa tersenyum kemudian menjawabku. ”Aku cuma bingung, harus ngucapin selamat jalan atau salam kenal, kita bahkan baru ketemu dua kali...aneh aja baru kenal udah mau bilang selamat tinggal.”
“Kamu pergi karena geng gak mutu itu ??” tanyaku.
“Bukan...emang udah waktunya. Aku cuma jenguk kakek, bukan mau tinggal di sana.”
“Aku tau Joko yang ngerusak sajadah kamu...”
“Mungkin aku memang harus ke mushola terus, di sana gak harus pakai sajadah, kan ??” kata Salwa.
“Aku gak tau sajadah bisa sepenting itu...aku pasti beliin kamu dengan uang aku sendiri...”
Salwa tertawa oleh perkataanku. Dia memandangku dengan pandangan yang seperti biasanya. Pandangan yang tidak pernah aku mengerti. Matanya selalu penuh dengan rahasia. Andai aku sedikit lebih tahu isi hatinya, walau mungkin sulit sekali membacanya.
“Terkadang suatu benda bisa memiliki arti lebih dibanding dengan benda lainnya. Aku yang bodoh karena menganggap satu-satunya kenangan dari ummi adalah sajadah itu. Aku yang salah karena menganggap pergi ke rumah kakek bisa sedikit melupakan kenangan tentang ummi dan abi di rumahku. Tapi aku sadar, aku gak boleh lari lagi.”
Salwa menangis tersedu di depanku. Dia seorang yatim piatu, itu yang bisa kutangkap dari perkataannya. Aku terpaku melihat air mata yang mulai membanjiri pipinya.
“Hasna, jangan pernah sekalipun mengecewakan orang tua kamu, kita gak pernah tau apa besok mereka masih menemani kita. Atau selamanya kita akan menyesal tidak pernah membuat mereka bahagia bahkan di saat terakhirnya. Lalu pada akhirnya, kita hanya bisa memandang fotonya sambil berharap ada tambahan hari untuk mengulang waktu bersama mereka.”
“Salwa...”
“Aku pasti ke sini lagi, insya Allah.” ujar Salwa.
Aku melihat ketegaran dalam matanya. Seorang gadis 13 tahun yang mungkin sangat merindukan orang tuanya. Aku hanya merasa betapa beruntungnya aku masih memiliki ibu. Aku benar-benar tidak ingin dia merasa kesepian.
“Kenapa masih di sini ?? Aku kira kamu mau ke sekolah.” ujar Salwa.
“Aku akan tunggu kamu. Kita bisa buat geng juga kaya mereka. Aku, kamu, sama Nilam.”
“Boleh juga.” jawab Salwa sambil tersenyum simpul.
Salwa melambaikan tangannya padaku. Perlahan dia mulai meninggalkanku. Aku melihatnya berjalan dengan penuh semangat, penuh ketegaran. Aku membatin dalam hati...”Hari-hari ketika aku mengenalmu, adalah hari-hari paling bermakna yang pernah aku miliki...Aku akan menunggumu sahabat...”
-=oOo=-
6 bulan kemudian...
“Geser Has...”
Aku melihat Nilam yang sedang kesulitan mengatur posisinya. Aku menengok ke belakang. Semua orang sedang membenarkan shaf mereka masing-masing. Tak biasanya mushola kami begitu ramai. Teras musholapun penuh oleh jamaah yang saling berdesak-desakan. Tiga menit lagi khomat, mungkin lebih baik aku sholat rawatib dulu.
Aku membenarkan mukenaku dan bersiap untuk sholat. Tapi sepertinya ada yang aneh. Astaghfirullah, sajadahku ketinggalan di rumah. Aku lupa kemarin baru di jemur. Aku menengok pada Nilam di sebelahku berharap dia bisa menolongku. Tapi...tiba-tiba ada seseorang yang menggelar sajadahnya untuk berbagi denganku...Aku melihatnya pelan-pelan...Aku terpaku melihatnya...
“SALWA...!!!” kataku sambil melotot tak percaya.
“Aku mau nagih hutang...katanya ada yang mau beliin sajadah buat aku...??” ujarnya.
Mulutku terpaku sampai tak bisa berkata apa-apa...aku tersenyum sambil berfikir berapa uang yang sudah ku tabung untuk bisa membeli sajadah buat Salwa...
-=oOo=-


Devy Septiana Irawati
4101409131
Matematika-FMIPA


(cerpen peringkat ke-4 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)

Selasa, 15 Juni 2010

KETIKA BINTANG BERPENDAR CINTA

“Apa? Saya akan dikhitbah?” seru Fatimah tak percaya.
Wajar saja jika Fatimah terkejut bukan main. Selama ini tidak ada laki-laki yang benar-benar berta’aruf kepadanya. Bukan karena Fatimah tidak cantik atau tinggi hati, tapi itu semata-mata karena banyak pemuda yang segan dengan ayahnya. Ayah Fatimah merupakan salah satu kyai ternama di Kudus. Beliau adalah K.H. Imam Bashori atau yang akrab dipanggil Gus Bas, pemilik pondok pesantren ’Miftahul Jannah’. Ponpes untuk para calon hafidz dan hafidzah.
Dan malam ini, sang abah memanggilnya untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting.
”Bah, kulo mboten ngertos tiyange. Apa tidak sebaiknya ditunda dulu? Lagipula saya belum ujian skripsi. Masih tiga bulan lagi. Bukankah janji abah akan menikahkan saya setelah saya lulus S1?” ujar Fatimah masih dengan perasaan bingung. Khitbah bukanlah hal yang sepele. Ini menyangkut masa depannya nanti. Pernikahan.
”Lha iya, Nduk. Khitbahnya dilakukan minggu depan, tapi pernikahan dilaksanakan setelah kamu lulus kuliah. Maka dari itu, abahmu menyetujui rencana khitbah dari seorang pemuda saleh yang insya Allah terjamin akhlaknya.” timpal Bu Nyai, ibunda Fatimah. Para santri dan santriwati biasa memanggil beliau Bu Nyai atau Bu Ummi, karena nama asli beliau Ummi Kultsum.
Fatimah menundukkan kepala dan diam sesaat. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia yang belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya tiba-tiba harus dihadapkan dengan takdir seperti ini. Dalam hatinya yang paling dalam, Fatimah belum siap menikah sama sekali. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak mau mengecewakan kedua orang tua yang sangat dicintainya itu.
”Siapa namanya, Bah?” tanya Fatimah kemudian sambil memandang abahnya lurus-lurus dengan tatapan serius seorang hafidzah.
Pak Kyai tersenyum ketika melihat tatapan putri satu-satunya itu. Beliau paham betul bahwa Fatimah tidak ingin abahnya sembarangan memilihkan pendamping hidupnya. Khitbah tidak boleh dijadikan ajang coba-coba. Bagi Fatimah, sekali seorang pemuda mengkhitbah dirinya, dia harus benar-benar cocok di hatinya. Setelah itu akan berlanjut ke jenjang berikutnya. Tentu saja dengan landasan cinta dan ibadah sebagai dasar dari pernikahan yang suci.
”Namanya Ahmad Ali. Dia lulusan S1 dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. Jurusannya sama denganmu, Nduk. Tafsir. Dia anak teman abah dari Solo. Insya Allah dia seorang pemuda yang baik.” kata abah dengan mantap.
”Piye? Setuju apa tidak?” ganti umminya bertanya.
Fatimah menghela nafas. Terasa sangat berat untuk memberikan keputusan. Ruang tamu itu seakan menghimpitnya untuk memberikan anggukan kepala pertanda setuju kepada abah dan ummi.
Fatimah beristighfar dalam hati. Sulit baginya memutuskan sendiri. Dia butuh Allah sekarang juga.
”Saya harus shalat istikharah dulu, Bah. Besok saya putuskan.” ucapnya kemudian.
Abah dan ummi berusaha mengerti perasaan Fatimah. Walau mereka sebenarnya sangat menginginkan pernikahan itu, tapi keputusan ada di tangan Fatimah. Mereka hanya bisa bertawakkal kepada Allah swt. Sang Penguasa Hati.
***
Sepertiga malam ini Fatimah benar-benar berserah diri kepada Allah sepenuhnya. Setelah dua raka’at shalat istikharah, lalu dilanjutkan dengan shalat tahajud dan witir, perasaan Fatimah kembali tenang. Ditambah lagi dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menambah sejuk hatinya.
Tanpa disadari, Fatimah tertidur di atas sajadah. Masih dengan memakai mukena. Sejenak kemudian dia bermimpi. Mimpi tentang pemuda dan bintang. Dalam mimpinya itu ada seorang pemuda yang membawa tujuh pendar bintang ke hadapannya. Sayup-sayup dia mendengar suara dari kejauhan.
Tujuh pendar bintang itulah syarat khitbah kepadamu.
Mimpi tersebut berulang sebanyak tiga kali. Fatimah terbangun. Keningnya penuh dengan keringat sebesar biji jagung. Nafasnya memburu. Pikirannya masih terpaut dengan mimpi yang baru saja dialaminya.
”Ya Allah, inikah petunjukmu atau bisikan dari syaithon?”
Fatimah tidak beranjak dari tempatnya semula. Lidahnya sibuk menyebut asma Allah. Menurutnya, bisa jadi mimpi itu harus ditafsirkan kembali. Tapi Fatimah belum sanggup menafsirkannya. Selama ini Fatimah baru mempelajari tafsir Al-Qur’an dan Hadits. Belum sampai pada tingkatan yang lebih tinggi.
”Ah, bisa jadi pemuda itu yang bisa memenuhi syarat khitbahku.” gumam Fatimah dalam hati.
Sejujurnya, Fatimah masih ingin melanjutkan studi S2 nya. Bahkan saat ini dia telah mengantongi beasiswa S2 ke Syiria. Tapi perintah abahnya untuk menikah tidak bisa dihindari lagi. Dia sudah berjanji di hadapan kedua orang tuanya dan tentu saja dengan Allah sebagai saksi bahwa dia bersedia menikah setelah lulus S1. Itu dengan syarat ada pemuda yang berani melamar dirinya pada kedua orang tuanya.
Adzan subuh mengalun indah. Membuat setiap orang yang mendengarnya merasakan damai yang luar biasa di dalam kalbunya. Fatimah berencana untuk membicarakan ikhwal mimpinya ini kepada abah dan ummi seusai shalat subuh berjama’ah nanti.
”Kowe yakin iku petunjuk saka Gusti Allah, Nduk?” tanya abah masih dengan kening berkerut. Syarat khitbah macam apa itu dengan membawa tujuh pendar bintang.
”Inggih, Bah. Mimpinya berulang tiga kali. Insya Allah itu petunjuk-Nya. Saya tidak mau berburuk sangka kepada Allah. Bukankah Allah mengikuti prasangka dari hamba-Nya? Begitu kan, Bah?” jawab Fatimah kalem.
Jika pemuda itu tidak bisa memenuhi syarat khitbahnya, maka khitbah itu secara otomatis gagal dan tidak akan ada pernikahan. Dan selama tidak ada yang bisa memenuhi syarat itu, Fatimah masih mempunyai kesempatan untuk melanjutkan studi S2 nya ke Syria. Pikiran tersebut berkelebat dalam benak Fatimah.
Fatimah Az-Zahra adalah seorang hafidzah dan tiga bulan lagi hampir bisa dipastikan dia akan lulus dengan predikat cumlaude jurusan Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Timur.
Tapi entah kenapa saat ini hatinya tidak merasa senang dengan syarat khitbah yang muncul dalam mimpinya. Dalam hati kecilnya, ada desir halus yang susah diartikan maknanya. Apakah benar dirinya merindukan sosok seperti Ali bin Abi Thalib?
***
Siang ini terjadi pertemuan dua keluarga secara mendadak. Keluarga Kyai Imam Bashori dengan keluarga Haji Hanafi dari Solo. Tadi pagi Pak Kyai langsung menelepon ke Solo untuk mengundang keluarga Haji Hanafi ke Kudus dalam rangka silaturrahmi, sekaligus membicarakan hal penting mengenai syarat khitbah yang harus dipenuhi oleh Ali, pemuda yang ingin meminang Fatimah.
Ali sendiri belum pernah melihat wajah Fatimah. Dan inilah kesempatan yang dinantikannya. Baginya, pilihan yang ditawarkan oleh kedua orang tuanya bukanlah perempuan sembarangan. Tentulah dia perempuan terhormat dan berakhlak layaknya putri Rasulullah, Fatimah Az-Zahra.
Kecantikan bukan jadi pertimbangan utama untuk menjadi isterinya. Hati yang suci dan kecintaan pada Allah dan Rasulullah lah yang jadi bahan renungannya. Dan tentu saja perempuan itu harus mengerti agama Islam secara kaffah agar nantinya bisa membina rumah tangga yang sakinah.
Begitu tiba di rumah Kyai Bashori, rombongan dari Solo itu disambut dengan hangat. Fatimah belum menampakkan diri di hadapan mereka. Rasa malu yang luar biasa menyelimuti hatinya. Padahal hari ini bukanlah hari khitbah untuknya.
Setelah menanyakan kabar keluarga Haji Hanafi dan sekadar ramah-tamah beberapa menit, Pak Kyai menjelaskan mimpi dari putrinya sebagai syarat khitbah yang harus dipenuhi oleh Ali.
”Apakah hal itu masuk akal, Kang?” ujar Haji Hanafi pada Pak Kyai yang dulu sering dipanggilnya Kang Imam.
”Begitulah adanya, Han. Mimpi itu adalah ikhtiar dari putriku. Sekarang tergantung putramu. Kalau mau diusahakan ya monggo, kalau langsung ditolak pun kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya bisa bertawakkal kepada Allah.” ucap Pak Kyai dengan pelan. Ada nada kecemasan dalam suaranya. Mungkinkah Ali mau mengusahakan hal yang kelihatannya mustahil itu.
Bu Nyai kemudian menyuruh Fatimah mengeluarkan minuman kepada para tamu. Fatimah pun melaksanakannya dengan hati berdebar-debar. Dia juga ingin mengetahui bagaimana rupa calon orang yang akan meminangnya itu.
Fatimah muncul dari balik tirai yang menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Jilbab biru muda yang dipadu dengan gamis panjang yang berwarna senada dengan jilbabnya membuat para tamu takjub seketika. Seakan ada bidadari yang benar-benar turun dari langit, tapi kali ini bidadarinya membawa nampan yang berisi beberapa gelas minuman untuk mereka.
Tak terkecuali dengan Ali. Hatinya langsung mendendangkan tasbih. Doa langsung terpanjat dari kalbunya. Memohon kepada Allah untuk memudahkan jalannya mendapatkan perempuan seindah Fatimah Az-Zahra. Semburat merah tampak di wajahnya. Dia pun menundukkan kepala. Malu.
Hal tersebut ditangkap oleh Pak Kyai dan Haji Hanafi. Mereka tersenyum. Begitu pula dengan Bu Nyai dan Ibunda Ali. Mereka merasakan gelagat yang sama dari Fatimah. Tangan Fatimah bergetar ketika menyuguhkan minuman di hadapan Ali. Agaknya mereka saling menyimpan hati satu sama lain. Demikianlah kesimpulan para orang tua itu.
Fatimah tidak diizinkan pergi ke belakang lagi. Sebagai gantinya, dia duduk bersama Bu Nyai dan Ibunda Ali.
”Piye, Nang? Syarat khitbah itu apa kamu sanggup?” pertanyaan ayahnya menyadarkan Ali dari lamunannya. Ali menghela nafas. Guratan wajah seorang pemikir tampak di raut mukanya, menambah desir halus di hati Fatimah. Kegelisahan langsung melanda perasaannya. Syarat itu pasti menyusahkannya, pikir Fatimah dalam hati.
”Insya Allah akan saya usahakan. Tujuh hari ke depan tepat pada saat saya mengkhitbah Fatimah, tujuh pendar bintang itu akan ada di hadapannya, sebagai syarat khitbah yang harus saya penuhi. Tapi ada satu hal yang saya pinta,” Ali berkata setenang mungkin, berusaha menutupi kegugupan yang melanda hatinya. Pandangannya seakan tidak mau lepas dari wajah Fatimah yang benar-benar menyejukkan hati. Alangkah bahagianya kalau bisa menjadi suami Fatimah.
Hati Ali kini penuh dengan kemilau cinta. Tapi buru-buru ditepisnya perasaan itu. Fatimah belum halal baginya. Dan akan berdosa seandainya dirinya sudah membayangkan yang tidak-tidak bersama Fatimah. Perempuan dengan lesung pipi yang begitu indah.
”Apa hal itu?” tanya abah Fatimah cepat. Ada secercah harapan untuk masih bisa mendapatkan menantu rupawan yang saleh seperti Ali.
”Izinkanlah khitbah itu dilaksanakan pada malam hari. Itu saja.”
Semua yang ada di ruang tamu bernafas lega. Hal itu bisa diatur dengan mudah. Pagi, siang ataupun malam tidak jadi masalah bagi mereka. Tapi, bagaimanakah dengan tujuh pendar bintang itu?
***
Fatimah nampak mondar-mandir di ruang tamu. Sudah enam hari dia tidak mendapatkan kabar sedikitpun dari keluarga Haji Hanafi. Fatimah begitu gelisah. Bisa jadi Ali sudah menyerah untuk mengikhtiarkan syarat khitbahnya itu. Pikirnya.
Bu Nyai mengintip dari balik tirai, tersenyum melihat tingkah anak gadisnya. Beliau kemudian menghampiri Fatimah.
”Nampaknya pemuda itu telah memikat hatimu,” ucap Bu Nyai kemudian, membuat Fatimah tersentak karena tidak menyadari kehadiran umminya.
”Astaghfirullah. Ummi mengagetkan saja.” Fatimah tersipu malu. Wajahnya merona merah.
”Bukankah pemuda bernama Ali itu sangat rupawan, Nduk? Dia juga saleh. Mengapa tidak kamu terima saja dia tanpa harus meminta syarat khitbah?” tanya Bu Nyai sambil mengamati Fatimah. Beliau kemudian mengajak Fatimah duduk di sofa.
Fatimah memandang umminya dengan serius. ”Rasulullah sangat tidak menyukai orang yang menjilat perkataannya sendiri. Dan saya tidak ingin dibenci oleh Rasulullah. Wajah yang rupawan dan harta yang melimpah bukanlah jaminan kesalehan dari seorang pemuda. Tetapi saya melihat ada yang membedakan Ali dari pemuda lainnya.”
”Opo iku, Nduk?” tanya Bu Nyai.
”Hati. Saya melihat cara dia bertutur kata, bertingkah laku di hadapan abah dan ummi, itu semua menjadikan Ali sebagai sosok imam yang tepat untuk saya. Dan seandainya Ali memang jodoh saya, Allah akan mempertemukan kami dalam jalinan yang lebih suci. Allah itu lebih mengetahui hati kita dari siapapun karena Allah ada di hati setiap orang yang beriman.” Fatimah menyelesaikan kalimatnya dengan mantap.
Bu Nyai tersenyum dan membelai jilbab Fatimah. ”Subhanallah, Nduk. Tidak sia-sia kami membesarkanmu selama ini. Dan tidak sia-sia pula ilmu yang telah kamu peroleh di perguruan tinggi. Amalkanlah itu sampai kepada anak cucumu nanti. Sebenarnya ummi hanya mengujimu.”
Fatimah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia sama sekali tidak menyadari jika ummi hanya sekadar mengujinya. Mereka berdua tersenyum sambil merasakan hangatnya mentari sore yang sebentar lagi akan tenggelam di ufuk barat. Besok merupakan hari penentuan apakah khitbah itu jadi dilaksanakan atau tidak. Akankah Ali sanggup memenuhinya?
***
Malam ini merupakan waktu yang dijanjikan Ali untuk melaksanakan khitbah. Tepat tujuh hari dari yang telah diutarakan pada waktu itu. Tapi tanda-tanda kedatangan rombongan Haji Hanafi belum juga muncul. Pak Kyai, Bu Nyai, Fatimah, dan beberapa sanak saudara yang diundang terlihat gelisah dan bingung menanti rombongan sang pelamar.
Jam dinding telah menunjukkan pukul delapan malam. Kedua mata Fatimah berkaca-kaca, hampir berputus asa karena merasa Ali bukanlah jodoh terbaik dari-Nya. Bu Nyai berusaha untuk menguatkan hati Fatimah.
Telepon dari ruang tengah berdering. Pak Kyai segera mengangkatnya. Beliau terlihat sangat serius menyimak penjelasan dari penelepon di seberang sana.
”Baiklah kalau begitu. Wa’alaikumsalam, Han.” ucap Pak Kyai sembari menjawab salam dari penelepon yang ternyata adalah Haji Hanafi. Beliau lalu menuju ruang tamu untuk menyampaikan apa yang telah didengarnya beberapa menit yang lalu.
”Kita semua disuruh untuk menuju halaman pesantren. Tadi melalui Haji Hanafi, Ali berpesan agar kita memadamkan listrik di pesantren selama tiga menit. Ada sesuatu yang mau diperlihatkannya kepada kita. Aku akan menginformasikan pemadaman listrik kepada kepala pondok putra dan putri. Kalian bergegaslah pergi ke halaman pesantren.” perintah Pak Kyai.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bu Nyai, Fatimah dan beberapa sanak saudara lainnya bergegas menuju halaman pesantren. Lima menit kemudian Pak Kyai menyusul di belakangnya.
Begitu listrik dipadamkan, rombongan Haji Hanafi datang dengan berkendara mobil. Dan mereka sekarang menuju halaman pesantren untuk menemui keluarga Kyai Imam Bashori.
Dalam keremangan malam yang hanya disinari bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di langit, Ali melangkah sedikit lebih maju ke hadapan Pak Kyai. Sebuah kotak berukuran sedang ada dalam genggamannya saat ini.
”Bismillahirrohmanirrohim. Inilah syarat khitbah saya kepada Fatimah.”
Ali membuka tutup kotak yang sedang digenggamnya. Dan nampaklah tujuh pendar cahaya (seperti) bintang. Semua yang hadir terkesima dan seketika memuji asma Allah dengan tasbih. Tujuh pendar cahaya itu adalah tujuh ekor kunang-kunang yang memancarkan pendar cahaya nan indah. Laksana bintang.
Tiga menit kemudian, listrik kembali dinyalakan. Ali terlihat begitu gagah dengan baju koko biru muda, celana panjang dan peci berwarna hitam. Tak lain halnya dengan Fatimah yang juga mengenakan jilbab serta gamis yang senada dengan Ali. Mereka berdua sama-sama menyukai warna biru muda.
Ratusan penghuni pondok keluar dari kamar. Halaman pondok pesantren berlantai tiga itu kini penuh dengan ratusan pasang mata yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
”Apakah penafsiran yang dapat kamu simpulkan dari syarat khitbah putriku, wahai anakku?” tanya Pak Kyai kemudian, seakan tidak menghiraukan khalayak ramai yang sudah terbentuk dan suasana khitbah yang tidak lazim.
Ali menghirup nafas sejenak. Panjang dan dalam. Dia sedang menyusun kata-kata terbaiknya agar bisa diterima sebagai calon pendamping hidup seorang bidadari dunia, Fatimah Az Zahra. Sekaligus ingin secepatnya menyempurnakan separuh agama dengan menikah, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
”Menurut Asy-Syaikh Al Imam Abu Nashr Muhammad bin Abdirrahman Al Hamdani dalam kitabnya Assab'iyyatu fi Mawa'idhil Barriyah menyatakan, Dzat Pencipta yang sangat besar kekuasaan-Nya dan sangat tinggi kedudukan-Nya yaitu Allah SWT telah menghiasi 7 perkara dengan 7 perkara. Dan menghiasinya pula bagi tiap-tiap 7 perkara itu dengan 7 perkara lainnya. Hal tersebut sengaja Allah ciptakan untuk memberitahu kepada orang-orang yang berilmu bahwasanya di dalam angka 7 itu mempunyai keunikan dan rahasia yang besar.
Allah menciptakan 7 hari dalam seminggu. Langit sebagai atap kita terdiri dari 7 tingkat atau lapisan. Tanah yang kita pijak ada 7 lapis. Tubuh kita terbagi menjadi 7 bagian. Surah Al Fatihah ada 7 ayat dan berbagai jumlah 7 yang lain.
Salah satu contohnya yaitu Allah menghiasi udara ini dengan tujuh lapis langit sebagaimana firman Allah dalam surah An Naba' ayat 12, ”Dan Kami (Allah) jadikan di atas kamu 7 (langit) yang kukuh.” Allah menciptakan langit dunia pertama dari air, langit kedua dari embun, langit ketiga dari besi, langit keempat dari perak, langit kelima dari emas, langit keenam dari mutiara dan langit ketujuh dari mira delima. Setelah itu dibelahnya yang antara tiap-tiap bagian berjarak lima ratus tahun.
Masih banyak lagi rahasia angka tujuh lainnya yang merupakan sebagian kecil rahasia Allah. Tujuh pendar bintang itu saya ibaratkan dengan tujuh ekor kunang-kunang yang bercahaya bak bintang pada malam hari. ” jelas Ali panjang lebar kepada Pak Kyai.
Gema tasbih, tahmid dan takbir tak terelakkan lagi membahana di halaman pondok pesantren Miftahul Jannah. Fatimah menangis terharu karena bahagia. Begitu pula dengan Pak Kyai dan Bu Nyai yang semakin yakin bahwa Ali adalah jodoh yang telah ditentukan-Nya untuk anak semata wayang mereka.
Haji Hanafi lalu memimpin prosesi khitbah dan segera mengutarakan keinginan Ali untuk melamar Fatimah sebagai istri setelah memenuhi syarat khitbah yang diajukan. Pak Kyai pun menerima pinangan pemuda saleh itu. Ali sujud syukur seketika karena Allah telah memberikan salah satu anugerah terindah yang pernah dia dapatkan seumur hidupnya.
”Alhamdulillahirobbil ’alamin...” ucap Ali di sela-sela sujudnya.
Parade nuansa malam mulai menebarkan cahaya Ilahi untuk Ali dan Fatimah. Rembulan mengintip malu-malu dari balik awan hitam. Sepasang insan telah dijodohkan atas izin Allah ketika bintang berpendar cinta untuk mereka...


Muzaki Bashori
2201408113
Pend. Bahasa Inggris-FBS

(Cerpen peringkat ke-5 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431 H)

Senin, 14 Juni 2010

BENGKEL HATI

Semburat jingga di ufuk barat kian mengabur. Serasa cepat sekali hari ini kulewati dengan jutaan rasa yang tak dapat kulukiskan walau hanya dengan segores sapuan kuas. Hanya dapat kulantunkan jutaan syukur yang menyelimuti seluruh jiwa ini yang bisa kulantunkan mengiring kumandang adzan yang tengah memenuhi seantero kota Pasir Putih pantai selatan ini.
Kubuka lembar demi lembar sebuah mushaf bersampul biru yang kugenggam sejak sore tadi. Huruf demi huruf yang indah membentuk rangkaian makna mengikat hatiku semakin menguatkan azamku. Inilah keputusan yang Allah kuatkan untuk hatiku. Inilah yang terbaik untukku.
Tok…tok…tok…
“Mba Aya, Mba Fidya udah nunggu di depan,” suara halus yang terlontar dari si ayu Ziya, semakin menggetarkan hatiku. Sekali lagi aku memejamkan kedua mataku. Kuazamkan sekali lagi dalam hati. Aku ingin saat kubuka kedua mataku, Emak dan Abah yang nun jauh di sana juga tengah menantiku di serambi depan, menyambutku dengan jutaan kebahagiaan. Tak ayalnya sebuah keluarga yang penuh kebahagiaan. Kulangkahkan kedua kakiku dengan tergesa, pikiranku kini melayang, bahkan sudah sampai ke tempat yang hendak kutuju. “Siapa gerangan yang akan duduk di persinggahan sana Ya Rabb?” desahku dalam hati.
Dengan sigap kuraih sebuah tas kecil, kubuka dan kutata dengan cepat, mushaf, mukena, buku, ehm…sepertinya sudah lengkap. Tanpa pikir panjang aku segera meraih gagang pintu kamar, aku berlari kecil menuju teras depan.
Dan… Ouch…. Bruk….
Tubuhku hampir terpelanting membentur tembok.
“Aduuuhh….ini kabel patingsliwer begini sih? Dirapiin sih!!!” teriakku kesal dengan nada banyumasan yang kental.
Ziya sempat keluar dari kamar dengan tergesa, menghampiriku dan dengan sigap merapikan kabel-kabel yang semrawut itu. Maklumlah kos-kosan, isi 8 kamar, stop kontak cuma ada 1 di ruang tengah, jadi setiap kamar harus punya rol kabel sendiri-sendiri. Sayangnya memang kurang diatur, jadi kadang membuat kesal orang juga. Padahal, sudah diperingatkan berkali-kali kalau setiap kabel itu harus ditata dengan rapi agar tak mengganggu lalu lalang dan tak merusak pemandangan. Tapi agaknya peringatan itu seolah hanya angin lalu saja.

Tanpa menghiraukan Ziya yang sibuk dengan sekian banyak gulungan kabel di tangannya, aku bergegas menghampiri Mba Fidya di teras depan.
“Afwan Mba Fid, udah nunggu lama nggeh?”
“Gak kok. Aya udah siap terima apapun dan siapapun itu?”
“Insya Allah Mba…Aya tsiqoh aza ma Mba Fidya dan Mas Pram…,”
Semburat petang yang kian mengabur itu, kini menjadi panorama indah yang menghiasi tak hanya langit di atas kepalaku, namun langit penaung hati dan pikiran ini yang semakin tak terkendalikan juga ikut mengabur. Entah apa yang kurasakan saat ini, mungkin inilah jalan yang harus aku tempuh…
***
“Cieh..cieh….beli buku apaan Non Ziya? Buku pembelajaran lagi? Bukannya skripsi Mba Zi udah selesai? Kenapa masih butuh buku referensi juga?” kata Anis yang langsung disambut dengan injakan kaki Elly, “Awww!”
“Kenapa sih Mba El? Kenapa pake acara nginjak kakiku segala sih?” Anis manyun melihat ekspresi Elly yang melotot dan siap menerkamnya dengan jutaan omelan. Meski terhalang beberapa jajar rak buku, raut Ziya yang datar tak luput dari pandanganku.. Aneh…ada apa dengan Ziya yang akhir-akhir ini lebih sering kelihatan murung dan menyendiri? Dia tak lagi main ke kamarku dengan ribuan ceritanya tentang bimbingan skirpsinya, dosen pembimbingnya yang killer dan perfectionis.
“Di jalan dakwah aku menikah…Cieh…cieh…Mba Aya malah beli buku-buku kajian nih? Buat ngobatin hati ya Mba? He..he…Wuih…keren nih Mba, cocok..,”
Eeerrrggghhh…Elly semakin geregetan. Kayaknya bibir tipis makhluk yang satu ini harus bener-bener dikursusin secara ekstra deh. Aku mendesah pelan, dengan ribuan perasaan yang seolah kembali membuncah menusuki relung-relung hati yang lukanyapun bahkan masih terasa basah.
Elly kembali melotot, dia semakin geram dengan kebiasaan teman sekamarnya itu. ‘Uupps….,’ Anis menempelkan telunjuknya menutupi bibir tipisnya yang sejak tadi meliuk-liukkan kalimat ledekan. Sepertinya Anis mulai mengerti apa yang diisyaratkan Elly.
“Afwan Mba, gak bermaksud bikin Mba Aya sedih lagi gara-gara gagal nikah itu. Eh tapi sebenarnya yang menggagalkan pernikahan itu Mba Aya atau Mas Dika sih?”
“Ergh…Aniiiiiss…,” Elly sontak meraih buku tebal yang ada di depannya, dan berusaha mengejar Anis yang tengah sedikit berlari kecil menghindari amukan Elly yang siap mendarat di balutan jilbab ungunya…siaga 3P nih…Pegang, Paksa, Pukul…itu jurus andalan Elly mengendalikan Anis yang punya kebiasaan nyeplos itu.
Aku hanya tersenyum pasi mengingat kejadian sore itu… Sore dimana aku tengah siap menerima lamaran dari seorang yang menjadi dambaan (mungkin setiap muslimah). Sosok seorang pemimpin yang selalu take action di setiap langkahnya, selalu tanggung jawab dengan amanahnya, tak pernah melewatkan agenda tarbiyahnya. Andika Prasetya. Aku bahkan tak menyangka jika Mba Fidya dan Mas Pram menjodohkanku dengan pemuda luar biasa itu… Tapi… Sore itu, teriknya sang raja siang benar-benar tak hanya memanaskan seluruh kota Pantai Selatan, tapi juga membakar seluruh harapan yang telah kutancapkan kuat dalam hatiku. Tak ayalnya, aku bagaikan disambar petir di tengah panasnya gurun.
“Afwan Mba Fidya dan Mas Pram, saya gak bisa melanjutkan perjodohan ini,”
“Kenapa bisa gitu Dik? Mba udah menangkap sinyal kuat dari kalian berdua, kalau kalian itu cocok, iya kan Bi?” Mba Fidya menatap wajah suaminya, kecewa.
“Iya Dik, coba kamu pikirkan lagi perkataanmu itu, toh dari awal orang tuamu juga sudah tsiqoh dengan pilihanmu kan?”
“Ada beberapa hal yang membuat saya gak bisa menerima Mba Aya, Mas… Terutama alasan keluarga yang kurang setuju setelah menimbang bibit-bebet-bobotnya,” sarjana muda itu tertunduk.
“Lha kok tiba-tiba memutuskan gitu kenapa? Dari kemarin-kemarin, sejak ta’aruf pertama toh semua baik-baik saja kan?” Mas Pram semakin tak percaya.
“Iya Mas, awalnya saya yakin, tapi saya gak bisa menikah tanpa ridho orang tua Mas…Afwan...,”
“Bibit-bebet-bobot apa yang diragukan dari seorang Aya Dik?” Mba Fidya menekan suaranya yang sedikit serak.
Percakapan itu masih terngiang jelas di telingaku. Tanpa sadar titik-titik air hangat sudah menetes dari sudut-sudut mataku. Setetes air bening itu membasahi buku yang tengah kupegang erat. “Di jalan dakwah aku menikah,” judul itu benar-benar menjadi impian yang seolah jauh dari gapaianku saat ini. Kuusap perlahan pipiku yang basah karena aku tahu Anis dan Elly sedang memperhatikanku dari balik tumpukan buku di pojokan, bahkan Ziya yang sedang bersikap dinginpun diam-diam mencuri pandang ke arahku. Aku tak ingin membuat semuanya merasa sedih seperti apa yang aku rasakan saat ini.
Kuraih beberapa buku kajian tokoh-tokoh ulama tentang bagaimana mengobati hati. Mungkin itulah yang sedang aku butuhkan saat ini. Kugerakkan langkahku menuju kasir, melewati beberapa pandangan tajam orang-orang yang juga tengah menyatroni buku-buku yang ada di rak bertuliskan agama, pendidikan, teknologi, dan akhirnya langkahku terhenti di tengah antrian panjang para pembeli.
Aku kembali tertunduk, terisak.
***
“Mba Aya mau kemana?”
“Mau ikut kajian. Lha Anis gak berangkat kajiannya Ustadz Aneif?”
“Ehm…he…he….aku masih ngantuk nih, semalam ngerjain banyak tugas Mba, kapan-kapan aza ya?”
“Ilmu itu gak bisa pake kompromi kapan-kapan Nis, lagian ba’da subuh gini gak baik kalo kamu tidur lagi, tar rezekinya dipatuk ayam lhow…..,” tukas Elly.
“Ya kan malah untung, aku jadi bersedekah buat ayam karena aku kan gak punya ayam jadi gak pernah sedekah buat ayam, nah itu kan malah juga jadi ladang amal toh? He..he…,” elak Anis innocent.
Iiiihh….Elly melotot sewot. Jilbab yang membalut indah membuat wajah Elly semakin terlihat menggelembung. Apa sih yang ada di pikiran Anis? Selalu saja diwarnai jawaban ngocol yang akhirnya bikin Elly geram.
Anis celingukan. Dia mencari-cari sosok yang bisa membantunya mencari alasan. Nah…. “Mba Ziya dari tadi subuh gak keluar-keluar lagi kan noh…pasti dia lagi tidur tuh, kamarnya aza gelap. Kenapa gak ngajak Mba Ziya aza tuh biar gak cemberut mulu, dari kemarin kan mukanya asem banget, minta didoain aza tuh sama Ustadz Aneif, biar sembuh seperti sedia kala,”
“Huuss, kalo ngomong jangan asal ncemlong aza deh, makanya ikut kajian biar bisa dijaga tuh mulut, pokoknya Anis WAJIB ikut. Titik,” paksa Elly.
Anis cuma bisa manyun melihat raut angker wajah Mba sekamarnya itu.
Singkatnya, Anis memang ikut kajian. Kebetulan tempatnya tak jauh dari kos-kosan, hanya butuh waktu 10 menit mencapai masjid dengan jalan kaki. Temen-temen sekos juga diajak semua. Walaupun tadinya menolak dengan berbagai jurus, tapi itu memang trik-triknya adik-adik aza biar bisa bolos berangkat kajian. Dan itu adalah trik yang sudah basi bagi Elly, gampang terbaca. Karena memang itu kan jurus turunan dari Anis. Gampang ditebak, gampang dipaksa.
Ternyata di masjid sudah penuh sesak. Alhamdulillahnya masih bisa duduk walaupun di barisan nomor 2 dari belakang.
Kajian berlangsung dengan khidmat. Elly selalu memperhatikan gerak-gerik Anis dan sepertinya Anis juga terlihat konsentrasi hingga akhir.
“Penyakit hati itu banyak macamnya saudara-saudariku. Dendam, iri, dengki, itu semua adalah penyakit hati yang menodai hati-hati kita, yang menutupi kita dari kepekaan terhadap kebaikan. Saudara-saudariku sekalian…seorang sahabat pernah menyampaikan sebuah kalimat indah…’Jika kau tak memahami apa yang kuucapkan, sedang kau mencaciku. Namun aku tahu, kau tak tahu apa yang kau ucapkan, maka kumaafkan’…Mari saudara-saudariku kita berusaha berbenah diri, terapi mengurangi penyakit hati dengan keikhlasan, berusaha memaafkan kesalahan saudaranya, pererat ukhuwah, dan tetap positif thinking,”
“Ampunkanlah aku, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Sang Maha Pengampun dosa, berikanlah aku kesempatan waktu, aku ingin kembali…kembali…dan meski tak layak sujud pada-Mu, dan sungguh tak layak aku…,”
Lantunan syair lagu taubatnya Opick mengiring usainya kajian yang disampaikan Ustadz Aneif. Doa robithoh menjadi penutup kajian pagi itu, doa yang memiliki kekuatan mengikatkan hati-hati yang mungkin tanpa terasa mulai bercelah dan meretak.
Anis cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya, diikuti Elly dan teman-teman yang lain. Ruangan seketika menjadi kosong, semua berhamburan keluar dari masjid. Sesosok gadis masih membungkuk terisak. Ujung jilbabnya basah, perlahan kudekati sosok yang kurasa tak asing bagiku.
“Ziya?” sapaku perlahan.
Gadis itu mengangkat wajahnya, seketika aku terdiam, tergugu dengan tatapan itu. Ada apa dengan Ziya?
“Ada apa Zi?”
“Mba tahu kalo Ziya…Ziyalah yang menggagalkan perjodohan itu Mba,”
Nafasku tersentak mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibir gadis yang sudah kuanggap adik kandung sendiri. Serentak gemetar tubuhku, Kutatap lekat-lekat wajah sendu Ziya yang basah.
“Mba gak tahu kan kalo aku saudara sepupu Mas Dika? Awalnya aku ingin kasih kejutan buat Mba Aya, tapi malam itu…malam itu …malam ketika Mba Aya mau ketemu Mas Dika itu….aku gak bisa memaafkan Mba Aya sejak malam itu,”
Aku masih tak berkutik dengan posisiku yang kaku, aku masih tak bisa mengerjapkan kedua mataku dari tatapan dendam yang terlontar penuh ke arahku.
“Mba Aya tahu kan kalo laptopku sedikit manja, dan sekarang laptopku udah rusak, udah gak bisa nyala, itu karena jaringan listriknya yang tiba-tiba putus karena kabelnya nyangkut di kaki Mba Aya malam itu. Mba Aya ingat kan? Padahal skripsiku udah tinggal ngeprint aza, tinggal dilaporkan aza, Karena itu aku harus ngulang semuanya dari awal, aku kecewa Mba, aku gak bisa terima atas apa yang udah Mba Aya lakukan terhadapku, apalagi kalo sampai Mas sepupuku menikah sama orang yang aku benci, aku gak rela Mba, makanya aku memaksa Pak Dhe dan Bu Dhe untuk melarang Mas Dika menikah sama Mba Aya,”
Dadaku serasa tercokol oleh ribuan paku yang menggunung, sesak, sakit, perih, semua terasa begitu memilukan. Perlahan kujauhkan diriku dari jangkauan lengan Ziya yang sejak tadi masih menggantung di jemari-jemariku. Aku membalikkan tubuhku menjauh, aku ingin membunuh rasa kesal ini sendiri.
Aku berusaha berlari dengan beban hati yang nian terasa beratnya. Namun…. Langkahku akhirnya terhenti, dalam pikiranku berkecamuk gundukan-gundukan energi positif dan negatif yang saling tarik-menarik, ’Jika kau tak memahami apa yang kuucapkan, sedang kau mencaciku. Namun aku tahu, kau tak tahu apa yang kau ucapkan, maka kumaafkan’
Kalimat itulah yang terngiang sesaat setelah kuputuskan kembali, kuraih tubuh Ziya yang terkungkung lemah. Kubisikkan kalimat indah dari Ustadz Aneif itu dengan penuh penyesalan, akupun tak luput dari noda hati yang membuat saudariku menangis tanpa aku tahu telah membuat hatinya luka dan kecewa.
“Afwan Mba…Ziya udah salah sama Mba, Ziya terlalu egois dengan pikiran-pikiran negatif Ziya sendiri, afwan Mba afwan…,”
Aku memeluk erat tubuh lemah itu, aku tahu aku tak bisa melupakan kegagalan dalam meraih cinta, tapi yang tengah dalam pelukankupun, dialah cinta, cinta yang tulus tumbuh karena kecintaan kepada-Nya… Yang kuharapkan bisa kujumpai di Syurga-Nya kelak….Insya Allah…Aamiin…
“Hm…untung berangkat kajian ya? Kalo gak, mungkin gak akan tertabayunkan sampai kapanpun, ya gak Nis?” Elly menyodok Anis yang tengah terisak.
“Anis baru sadar Mba, kalo kajian kayak gini adalah bengkel kita menata hati, salah satu tempat kita berkaca pada diri orang lain bukan hanya pada diri sendiri,”
“Hii…hi…hi….ternyata si bengal Anis juga bisa nangis juga toh?” Elly melingkarkan lengannya di pundak Anis yang masih tertegun dengan adegan mengharukan itu. Memang kajian itu bengkelnya untuk menata hati.
Orang yang beriman selalu punya cara sendiri untuk menata hatinya.
Saat mendapatkan kesulitan ia tetap ceria meski fisiknya mungkin lelah, pikirannya kalut dan jenuh…Tapi tidak dengan hatinya yang selalu yakin bahwa semua itu karena Allah masih sayang padanya….
Semoga kita tergolong makhluk-Nya yang beriman…
……….Aamiin..…..


Dwi Pangesti Aprilia
2401408012
Seni Rupa dan Desain-FBS

(Cerpen peringkat ke-6 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431H)