Kamis, 10 Juni 2010

BILA ESOK TAK KEMBALI

Aku duduk sendirian di bangku panjang ini. Saat senja mulai menguning. Saat biasnya yang kuning keemasan menerpa wajahku. Untuk sesaat kedua mataku terpejam. Mencoba merasakan belai angin yang semilir.
Tiba-tiba kenangan itu kembali menguak dalam ingatanku tanpa bisa kucegah. Berkelebat tak menentu dalam ruang pikirku. Ya, sebuah kenangan yang tak terlupakan olehku. Dan sepertinya, tidak akan pernah bisa kulupakan. Selamanya. Karena kenangan itu begitu indah. Kenangan akan seorang perempuan. Perempuan terindahku.
***
Aku tak pernah berhenti memandangi murid baru itu. Wajah putihnya yang agak oval, dipadu dengan lesung pipit kecil di kedua pipinya, serta tutur lembut katanya ketika memperkenalkan diri, benar-benar membuatku terpana. Satu lagi, dan ini yang paling membuatku aneh, aku tertarik dengan seorang perempuan berjilbab.
Dari sekian nama perempuan yang pernah terdaftar sebagai pacarku sebelumnya, belum pernah ada seorangpun dari mereka yang memakai tudung kepala seperti itu. Tapi kenapa dengan yang satu ini? Ah, masa bodoh. Kalau memang suka, ya suka saja.
”Bangku kamu ada di deretan kedua dari belakang. Kamu duduk dengan...” Bu Ayu, guru bahasa Indonesiaku, tampak bingung untuk menentukan posisi duduk si murid baru itu. Hanya ada dua bangku kosong sekarang, di sebelahku dan satu lagi di sebelah Lisa, siswi berkacamata dan berkawat gigi yang tak pernah ada di dalam orbit pandanganku. Perempuan seperti itu hanya membuat sesak kelas ini.
”Duduk saja denganku.” kataku kemudian, dengan nada yang meyakinkan tentu saja. Meyakinkan untuk segera menjadikannya sebagai pacarku yang ketigapuluh tiga. Dia pasti mau. Pasti!
”Bagaimana, Azizah?” tanya Bu Ayu lagi.
Azizah, murid baru itu, sesaat melihatku. Tapi segera setelahnya dia berpaling dan meminta izin untuk duduk dengan... Lisa.
”Saya duduk dengan Lisa saja, Bu. Lebih nyaman kalau sesama perempuan.” kata Azizah kalem. Lagi-lagi ada desir halus di dadaku ketika kudengar suaranya.
Penolakan itu membuatku kecewa. Sepanjang sejarah hidupku, tidak pernah ada perempuan yang menolak duduk di sampingku. Dan kalau ditanya kenapa aku sekarang duduk sendirian, itu karena aku sendiri yang menginginkannya. Aku tidak selevel dengan mereka yang tergolong ’Kasta Sudra’. Aku hanya ingin duduk dengan sesama ’high-class level’. Tapi sayang, sekolahku ini hanya sekolah negeri biasa. Sekolah yang penuh dengan ’murid beasiswa’. Aku tak pernah ingin sekolah di sini. Itu semua kulakukan untuk menyenangkan kedua orang tuaku saja.
”Sial!” rutukku dalam hati. Beberapa siswa tertawa sinis melihat kejadian ini. Kejadian yang meruntuhkan predikatku sebagai ’cowok yang tidak pernah ditolak oleh cewek seumur hidup’.
Darah yang mengalir di tubuhku seakan mendidih. Letupan amarahku padanya hanya bisa kutahan. Bagiku, ini merupakan sebuah penghinaan besar. ”Lihat saja nanti. Kau akan bertekuk lutut menjadi pacarku.” batinku.
***
Nama lengkapnya Azizah An-Nadhifah. Anak pertama dari tiga bersaudara. Ketika ada waktu senggang di sekolah, dia suka membaca Al-Qur’an atau buku-buku Islami lainnya. Warna favoritnya biru muda. Dia tidak suka makanan yang terlalu pedas. Selalu tersenyum kepada teman-teman yang lain, termasuk kepadaku. Hampir selalu bersama-sama dengan siswi yang lain ketika jajan atau pergi ke perpustakaan. Sejauh ini baru itu yang kuketahui. Lalu, kalau dia tidak pernah sendirian, kapan aku bisa mendekatinya?
Dan yang paling menyebalkan dari info selanjutnya yang kuperoleh adalah bahwa ternyata dia memilih ekskul Kerohanian Islam (Rohis).
”Benar-benar memuakkan! Perempuan sok alim. Sok suci. Ikutan rohis segala. Rencanaku bisa gagal total kalau seperti ini jadinya.” ucapku pada diriku sendiri.
Sedikit banyak aku tahu bagaimana peraturan untuk aktivis rohis di sekolahku. Tiga yang paling kubenci, yaitu : pertama, tidak boleh berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram; kedua, tidak boleh menyentuh lawan jenis yang bukan mahram; dan yang ketiga tentu saja tidak boleh pacaran!
Akan jadi apa duniaku kalau peraturannya seperti itu? Tapi entah kenapa hatiku ini benar-benar menginginkannya. Azizah begitu istimewa di mataku. Aku tak pernah bisa melupakan senyuman pertamanya untukku. Lalu, apa yang harus kulakukan untuk mendapatkannya?
***
Mungkin cahaya mentari itu akan selalu kurindukan
Ketika tiba saatnya aku tak bisa menikmatinya
Dan jutaan kerlip bintang pada malam-malamku
Akankah kiranya mereka menjadi saksi bisu
Bila esok tak kembali untukku...
Azizah An-Nadhifah
Aku tercengang melihat sebait puisi yang tercantum di mading sekolah pagi ini. Bukan hanya karena kata-katanya yang indah menurutku, tapi juga sang penulis yang tak lain adalah perempuan berjilbab itu, Azizah.
”Apa maksud puisi itu?” gumamku. Kurasakan ada makna yang tersirat dari sebait puisi indah itu. Makna yang tak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Dan kini dia benar-benar telah mencairkan hatiku. Hati yang selama ini beku. Hati yang tak pernah mengenal arti keindahan. Hati yang ingin mencari sesuatu yang sejati. Sesuatu yang abstrak tapi juga sangat nyata. Sesuatu yang kuyakini sebagai cinta.
Hari ini juga aku ingin menemuinya. Saat pulang nanti akan kutanyakan apa maksud puisi itu. Memang aneh sekali rasanya. Aku yang tak pernah menyukai segala bentuk sastra, tiba-tiba terpaut dengan sebait puisi itu. Dan tak akan kupungkiri lagi kalau hatiku juga telah terpaut olehnya. Terpaut dengan segala keindahan yang dimilikinya.
***
Aku bersandar pada salah satu dinding di sepanjang koridor sekolah, menunggunya dengan penuh harap. Dan tak berapa lama, Azizah terlihat olehku. ”Tapi, kenapa dia tidak menuju gerbang sekolah? Apa dia tidak langsung pulang? Mau kemana dia?” Pikiranku berkecamuk seketika.
”Azizah!” panggilku kemudian. Aku beranikan diriku untuk menghampirinya. Azizah sedang berjalan sendirian. Inilah kesempatan baikku untuk mendekatinya. ”Bisakah kita ngobrol sebentar?” tanyaku.
Azizah melihat kanan-kirinya. Sekolah sudah sepi. Mungkin anak-anak rohis sudah berkumpul di musholla sekolah. Dia nampak menghela nafas. Panjang dan dalam. Seakan penuh beban.
”Saya ada kajian sore di musholla. Apakah bisa ditunda besok?” lanjutnya. Kata-katanya begitu lembut sekalipun dia tak menatapku secara langsung dengan kedua bola matanya.
”Kalau aku ikut kajian itu, apakah pulangnya kita bisa ngobrol?” runtutku lagi. Azizah mengerutkan keningnya. Mungkin dia bingung kenapa orang sepertiku ini mau ikut kegiatan seperti itu.
”Boleh. Tapi jangan berdua ya karena...”
”Karena yang ketiga adalah setan. Betul, kan?” potongku sambil tersenyum.
Azizah tertawa kecil. Semburat merah muncul di kedua pipinya. Entah apa artinya. Tapi aku senang bisa membuatnya tertawa. Sesaat kemudian dia melangkah menuju musholla. Begitu pula denganku. Aku mengikutinya dari belakang. Tentu saja dengan jarak yang agak jauh. ”Untuk menghindari fitnah,” katanya dengan tegas. Aku mengiyakan perkataannya.
Sekarang aku tak peduli lagi siapa diriku sebelum bertemu dengannya. Seberapa angkuh dan sombongnya diriku dulu. Seberapa buruknya kelakuanku saat dia belum ada di sini. Aku tak peduli dengan semua itu karena aku ingin berubah. Tentu saja berubah menjadi laki-laki yang lebih baik lagi. Azizah menyebutnya sebagai ’ikhwan sejati’.
***
Aku banyak merenung sendirian di kamarku setelah mengikuti kajian sore itu. Ada cahaya yang memasuki dunia gelapku. Cahaya yang menyadarkanku akan arti hidup. Tentu saja arti hidup dalam Islam.
”Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya...”
Ucapan guru agama itu terus terngiang di telingaku. Dan tak terasa air mataku telah mengalir turun dari kedua pelupuk mataku. Apa yang telah kuperbuat selama ini? Adakah aku telah bermanfaat bagi orang lain?
Terbayang dalam ingatanku semua keburukan yang telah kulakukan pada kedua orang tuaku, teman-teman di sekolah, dan pada semua orang yang sakit hati karena sikapku.
”Maafkanku, ya Robbi...” ucapku terbata-bata pada-Nya.
Malam ini tak tampak kerlip bintang di langit. Hanya nampak awan-awan kelam beriringan di lazuardi yang semakin gelap. Aku terhenyak. Aku lupa menanyakan makna puisi itu pada Azizah. Tapi tak apalah. Toh dia telah mengajariku sesuatu yang sangat berharga. Seberkas cahaya Islam.
***
Ku tak pernah mengharapkan adanya senyawa itu
Sebab kutahu tak akan ada lagi kesempatan untukku
Berjanjilah padaku kau tak akan menyesal
Meski mungkin nanti kita akan berpisah
Bila esok tak kembali untukku...
Azizah An-Nadhifah
Lagi. Sebait puisi dari Azizah terpajang di mading sekolah. Puisinya tercantum di kolom khusus artikel Islam. Dan baru kusadari sekarang kalau dia tidak masuk kelas. Kata temannya, dia sedang sakit. ”Ada apakah gerangan dengan dirinya?” batinku kalut.
Sepanjang hari ini pikiranku hanya terbayang akan dirinya. Tak kuperhatikan semua penjelasan dari guru. Walau kutahu ini tidak boleh dalam agama, tapi aku benar-benar tidak bisa menghapus sinar wajahnya. Aku ingin melihatnya setiap hari, setiap saat. Ketika dia tersenyum, maka akupun akan ikut senang. Tapi, kalau sekarang dia sakit, apa jadinya diri ini tanpanya?
Kutulis beberapa baris puisi. Aku tak tahu darimana kata-kata ini berasal. Karena untaian kata itu meluncur begitu saja melalui goresan penaku. Tentang perempuan yang telah menawan hatiku.
Tuhan, kutahu ada aturan antara laki-laki dan perempuan. Namun sekali ini kumohon pada-Mu. Berikanlah dia untukku. Aku janji tak akan menduakan dzat-Mu.
Bila esok tak kembali untukmu
Tak akan pernah kubiarkan siangmu berlalu
Agar kau tahu bahwa ku di sini untukmu
Menemanimu sampai akhir waktu
Bila esok tak kembali untukmu
Perkenankanku temani setiap malam bersamamu
Meminta bintang untuk menyampaikan pesanku pada-Nya
Bahwa kuingin berada di sisimu selamanya
Kau terangi gelap hariku
Kau ajariku Islam dengan senyum lembutmu
Dan bila esok tak kembali untukmu
Akankah esok juga tak kembali untukku?
Faris Hasan
Siang ini kuniatkan menuju rumahnya. Sekadar ingin tahu keadaannya dan juga keluarganya. ”Semoga dia tidak salah paham dengan kedatanganku.” ucapku pelan.
***
Rumah itu sepi. Aku telah berulang kali mengetuk pintu dan menguluk salam. Tapi tidak ada yang menyahut dari dalam. Aku tengok kaca pintu dan jendela. Nihil. Semuanya tertutup rapat dengan gorden.
”Mas, cari siapa?” tanya seorang kakek yang kebetulan lewat di depan rumah itu.
”Saya cari seseorang yang bernama Azizah.” ucapku sopan pada orang tua itu.
”Azizah? Gadis berjilbab panjang itu?” tanya kakek itu lagi. Aku menganggukkan kepalaku pertanda mengiyakan ucapannya.
”Wah, kau telat, Nak. Tadi pagi dia dilarikan ke rumah sakit di dekat sini. Penyakitnya kambuh lagi.” ujarnya.
”Penyakit? Penyakit apa, Kek?” Aku tidak mengerti. Apa sakit ini yang membuatnya tidak berangkat sekolah? Padahal beberapa hari yang lalu dia kelihatan baik-baik saja.
Tapi kuyakin penyakitnya tak akan separah tumor atau...
”Kanker darah. Dia divonis Leukimia, Nak.” Kakek itu lalu pergi begitu saja. Meninggalkanku yang terkulai lemah di teras rumah. Tulang-tulangku seakan mati rasa. Lidahku kelu. Kepalaku pusing tak karuan.
Puisi itu, segala aktivitasnya di sekolah, penyakitnya, dan semua hari-hari yang dilewatinya dengan penyakit separah itu... Aku tak percaya sama sekali. Aku tidak ingin percaya! Dia tidak boleh meninggalkanku sendiri. Aku masih membutuhkannya.
Tuhan, berikanlah esok untuknya agar aku masih bisa melihat senyumnya. Sekalipun hanya satu kali ini saja...
***
Sudah lima hari Azizah dirawat di rumah sakit. Dia menjalani cuci darah dan kemoterapi. Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dan sekarang aku tidak bisa berlama-lama memandangnya.
”Lelaki yang menjaga pandangannya itu lebih disukai Allah...” kata Firdaus, teman baruku di rohis.
Aku sungguh beruntung mempunyai teman seperti Firdaus dan mereka yang menjadi aktivis rohis di sekolahku. Mereka selalu mengingatkanku, membantuku agar aku bisa tetap lurus dalam jalan ini.
Aku ingin benar-benar kaffah sebagai seorang ikhwan. Aku ingin menjadi ’ikhwan sejati’ seperti yang dikatakan Azizah. Bukan untuknya, tapi untukku sendiri karena kuingin Allah mengasihiku juga.
Kini, semenjak kuberikan puisiku padanya, dia semakin menjauh. Teman-teman di rohis pun berusaha membuat jarak antara kami berdua. Aku tahu puisi itu terlalu terus terang untuknya. Tapi apakah salah kalau aku menyatakannya dengan cara seperti itu?
Siang ini aku masih menunggui Azizah di luar ruang kemoterapinya. Tentu saja bersama beberapa teman lainnya.
”Nak Faris?” ucap ibunda Azizah begitu keluar dari ruangan.
”Saya, Bu. Ada yang dapat saya bantu?” Aku berdiri menyambut sosok setengah baya itu.
”Ada titipan dari Azizah. Bacalah saat pulang nanti. Saat perasaanmu benar-benar tenang.” imbuhnya.
Aku menerima secarik kertas itu dengan penuh tanda tanya.
”Apa maksud dia memberiku surat? Dan kenapa harus dibaca saat pulang nanti? Saat perasaan benar-benar tenang?” pikirku dalam hati.
Semoga ini hal yang baik. Itu saja harapanku.
***
Assalamu’alaikum Wr Wb
Saat kau menelisik apa yang kutulis untukmu
Mungkin aku sudah pergi jauh ke sana
Ke tempat di mana ada secercah harapan
Untuk kehidupan sementaraku
Dan bila memang esok tak kembali lagi untukku
Bukan berarti esok tak kembali untukmu
Karena kita punya kehidupan sendiri
Untuk kita jalani
Kutahu pasti ada yang berubah darimu
Tapi jangan kau niatkan untukku
Sebab itu bukan makna cinta
Tapi hanya sebatas perubahan yang sesaat
Ku tak butuh itu darimu
Yang kuingin lihat hanya ketulusanmu
Semoga kau bahagia dalam hidup ini
Sampai mentari benar-benar tak bersinar lagi
Namun sebelum itu
Kuharapkan satu pertemuan dengan dirimu
Pada senja kedua puluh satu
Dari umurku
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Azizah An-Nadhifah

Kedua mataku berkaca-kaca membaca surat darinya. Perasaanku tak menentu. Sedih, kecewa, terharu menjadi satu. Ya, harapan itu masih ada. Dan aku akan berusaha untuk meraihnya. Sesulit apapun jalan itu, aku tak akan pernah menyerah. Karena kutahu, ada rencana yang indah dari-Nya. Bukankah Dia akan menjadikan semua indah pada waktunya?
Untuk perempuan terindahku, aku akan menunggumu. Akan kunanti senja kedua puluh satu itu. Sempatkanlah saat itu untukku. Meskipun hanya sebentar kau menemuiku.
***
Aku membuka kembali kedua mataku yang terpejam sesaat. Bias senja masih membelaiku dengan lembut. Senyum kecil tersungging di bibirku. Kuhela nafas dengan berat. Ah, kejadian tiga tahun lalu itu selalu tercetak jelas dalam ingatanku. Dan sampai saat ini aku masih menunggunya. Menunggu kedatangannya. Setiap senja kedua puluh satu...
”Kaukah itu, Faris?”
Aku menoleh ke belakang. Seorang perempuan berjilbab dengan kursi roda tampak di hadapanku. Di belakangnya, berdiri seorang laki-laki dan perempuan setengah baya. Mereka tersenyum padaku.
”A...Azizah? Benarkah apa yang kulihat saat ini?” Suaraku bergetar. Ternyata dia datang memenuhi janjinya. Janjinya untuk menemuiku.
Aku berjalan pelan menghampirinya. Kutangkupkan kedua tanganku di dadaku. Begitu pula dia. Lalu, aku menyalami ayah dan ibunya dengan takzim. Aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Ini nyata.
”Maukah kau berbincang denganku?” ajakku sembari menunjuk bangku panjang tempat dudukku tadi. Dia menganggukkan kepala. Tampak senyum manis yang selalu kurindukan itu. Meskipun kondisinya terlihat lemah. Aku harap dia baik-baik saja.
Ayah Azizah membantunya duduk di bangku itu. Aku pun mengikutinya dari belakang. Dia duduk di ujung bangku. Demikian juga denganku yang duduk di ujung bangku yang lain.
Ayah dan ibu Azizah agak menjauh dari tempat itu. Mungkin mereka ingin memberikan kesempatan kepada kami untuk saling berbicara.
Azizah ternyata tidak banyak bicara. Aku yang selalu bertanya padanya. Dan jawabannya pun selalu singkat, tapi penuh makna bagiku. Sampai akhirnya aku mengutarakan keinginan terbesarku padanya.
”Aku selalu memikirkan hal ini. Bukan hanya sehari, seminggu, atau setahun aku melakukannya. Tapi telah tiga tahun aku menyimpan keinginanku ini sendiri.” Untuk sesaat aku menahan nafas. ”Bila esok masih ada untukmu, maukah kau menikah denganku?”
Azizah tersentak. Kata-kataku seakan membuat nafasnya tercekat. Dia menatapku. Menatap lurus pada kedua bola mataku. Mungkin sedang berusaha mencari ketulusan atau kebohongan yang tersirat di sana.
”Aku bukan perempuan yang sempurna. Paling tidak aku tidak sempurna untukmu. Kau lihat sendiri bagaimana keadaanku. Tak berdaya di kursi roda.” ucapnya lemah.
”Apakah aku pernah peduli dengan itu? Dan sejak kapan kau mengeluh atas semua yang diberikan Tuhan? Apakah kau mulai berpikir picik, Azizah?” Aku menyusuri wajahnya yang kini mulai menunduk.
”Hatiku benar-benar telah mantap memilihmu. Dan aku tidak menemukan alasan sedikitpun kau menolak hal ini. Bukan juga alasan fisikmu itu. Karena aku tak peduli dengan itu. Aku menyukai hati dan keyakinanmu.”
”Meskipun mungkin esok tak akan kembali untukku?” tanya Azizah dengan suara yang mulai mengisak.
”Meskipun senja ini yang terakhir, dan esok tak kembali untukmu, aku tetap pada pendirianku. Maukah kau menikah denganku?” Aku mengulangi pertanyaanku lagi.
Aku tidak sedang mengkhayal, dan itu bukanlah bayangan kabur, ketika kulihat dia menganggukkan kepalanya. Ungkapan syukur segera kupanjatkan kepada Tuhan karena pada akhirnya Dia telah memberikan salah satu anugerah terindah-Nya untukku. Sekalipun mungkin esok benar-benar tak kembali untuknya.
Berjanjilah padaku kau tak akan menyesal
Meski mungkin nanti kita akan berpisah
Bila esok tak kembali untukku...

Muzaki Bashori
2201408113
Pend.Bahasa Inggris-FBS

(Cerpen ini berhasil menjadi peringkat ke-10 dalam Lomba cerpen Islami Sigma 1431H)