This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 17 Juli 2010

[Tauziyah] Kafirkah Orang Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir ? (bag. 1)

  Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani
Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya” [1]

Beliau rahimahullah juga menegaskan, hukum kafir dan fasiq termasuk hukum syar’i, bukan termasuk hukum yang dapat ditetapkan oleh akal secara bebas. Orangkafir ialah orang yang telah ditetapkan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan orang fasiq ialah orang yang telah ditetapkan fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya. [2]
Bagitu pula Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, takfir merupakan hukum syar’i. Orang kafir ialah orang yng telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [3]
Lebih lanjut Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, takfir (vonis kafir) terhadap orang-orang murtad, bukanlah syari’at yang dibuat kaum Khawarij, juga tidak oleh golongan lainnya. Juga bukan dari hasil pemikiran. Namun takfir merupakan hukum syar’i yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas orang-orang yang berhak mendapatkannya, karena melakukan salah satu dari pembatal-pembatal ke-islaman, baik pembatal qauliyah, I’tiqadiyah maupun fi’liyah, sebagaimana telah dijelaskan para ulama dalam masalah hukum-hukum bagi orang murtad. Hukum-hukum tersebut diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4]
Demikian pula telah disebutkan dalam Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah, takfir merupakan hukum syar’i, tempat kembalinmya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]

Istikharah Cinta

Monday, 12 July 2010 09:27
Doa adalah senjata umat Islam. Dengan doa, berbagai masalah bisa dipecahkan

SEORANG akhwat, sebut saja Aisyah. Ia mahasiswi semester akhir di perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Mengetahui godaan menjaga iman begitu besar, terbersit keinginan untuk segera menikah. Ia yakin, hanya dengan menyempurnakan agama, kesucian diri; baik hati maupun fisik bisa dijaga. Niat itu pun didukung penuh orang tuanya.

Gayung pun bersambut. Tak lama kemudian, ada dua ikhwan yang serius akan menikahinya. Keduanya termasuk orang baik dan shaleh. Rajin ibadah dan aktifis kampus. Tak hanya itu, secara fisik juga sama. Ganteng. Cuma, perbedaanya dalam hal ekonomi. Yang satu terbilang mampu, sedang yang satunya sangat sederhana. Bahkan, untuk biaya kuliah, dia mencari sendiri.

Sebagai manusia, perasaan bingung dan bimbang pasti ada. Aisyah pun tak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Lalu, malam harinya Aisyah shalat istikharah dua rakaat, meminta pada Allah agar ditunjukkan yang terbaik dari salah satu pemuda shaleh itu. Sekali ia shalat, tapi belum juga ada tanda-tanda.

Waktu Shalat Isya

http://eramuslim.com

Waktu yang Utama untuk Shalat Isya
Assalamu'alaykum Wr. Wb.


Ustadz yang dirahmati Allah SWT, ada beberapa hadits shahih yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW lebih mengutamakan pelaksanaan Shalat
Isya di akhir waktu (1/3 malam terakhir) bahkan beliau ingin sekali
menyarankan ummatnya untuk melaksanakannya, jika beliau tidak khawatir
disalah-artikan menjadi perintah (dianggap wajib). Dalam beberapa hadits
beliau juga kita mengetahui beberapa keutamaan shalat berjama'ah, yakni
27 derajat lebih tinggi dibanding shalat sendiri, mewajibkan orang buta
untuk tetap shalat berjama'ah di masjid meskipun tidak punya penuntun,
bahkan beliau berniat membakar rumah orang-orang yang malas shalat
berjama'ah di masjid. Dalam Shirah Nabawiyah diberitakan pula beliau
hampir tidak pernah meninggalkan shalat berjama'ah sampai akhir hayat
beliau.


Nah, yang ingin saya tanyakan, apa kaitan keutamaan sholat Isya di akhir
waktu dengan sholat berjama'ah di masjid itu? Apa maksudnya di zaman
Rasulullah SAW. shalat jamaahnya (di masjid) itu memang dilakukan di
akhir waktu? Padahal shalat berjama'ah zaman sekarang umumnya
dilaksanakan di awal waktu. Apakah maksudnya jika kita sholat sendirian
di rumah karena punya uzur syar'i boleh/disunahkan untuk diakhirkan?
Jazakallah atas penjelasan Ustadz.


Wassalamu'alaykum Wr. Wb.
Nana Sudiana

RUQYAH, PENYEMBUHAN DENGAN AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://www.almanhaj.or.id/content/2691/slash/0

Allah menciptakan makhlukNya dengan memberikan cobaan dan ujian, lalu menuntut
konsekwensi kesenangan, yaitu bersyukur; dan konsekwensi kesusahan, yaitu sabar.
Hal ini bisa terjadi dengan Allah membalikkan berbagai keadaan manusia sehingga
peribadahan manusia kepada Allah menjadi jelas. Banyak dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa musibah, penderitaan dan penyakit merupakan hal yang lazim
bagi manusia. Dan semua itu pasti menimpa mereka, untuk mewujudkan peribadahan
kepada Allah semata, serta untuk melihat siapa yang paling baik amalnya.

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun" [Al Mulk : 2]

Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian; bahkan cobaan dan ujian merupakan
Sunnatullah dalam kehidupan. Manusia diuji dalam segala sesuatu, baik dalam
hal-hal yang disenangi maupun dalam hal yang dibenci dan tidak disukai. Allah
berfirman :

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah kamu dikembalikan". [Al Anbiya`: 35].

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: Kami akan menguji kalian dengan kesulitan,
kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram,
ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan.[1]

Berbagai macam penyakit merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada
hambaNya. Sesungguhnya, cobaan-cobaan itu merupakan Sunnatullah yang telah
ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmahNya. Ketahuilah, Allah tidak menetapkan
sesuatu, baik berupa takdir kauni (takdir yang pasti berlaku di alam semesta
ini) atau syar'i, melainkan di dalamnya terdapat hikmah yang amat besar,
sehingga tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia. Berbagai cobaan, ujian,
penderitaan, penyakit dan kesulitan, semua itu mempunyai manfaat dan hikmah yang
sangat banyak.

Shalat Ghaib

--- In assunnah@yahoogroups.com, emmy_atmahadi@... wrote:
> Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuuh,
> Kepada yang mengetahui,
> Mohon dijelaskan syarat2 dilaksanakannya Sholat Ghoib.

Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh

Setahu ana, syariat shalat Ghaib itu muncul ketika Rasulullah
memerintahkan beberapa para shabat untuk menyolatkan bersama beliau Raja
Najasy (Raja Habasyah, salah satu bagian dari Ethiopia dulu). Karena
Raja ini beragama muslim sedangkan rakyatnya masih Nasrani. Ini ada
hadits nya, tapi afwan ana lupa.

Tapi setau ana, jika seorang muslim yang meninggal sudah di sholatkan
(dilakukan shalat janazah), maka tidak wajib saudaranya yang jauh
lokasinya dengan mayyit untuk menyolatkannya kembali dengan shalat ghaib
tsb. Karena hukum dari shalat janazah ada fardhu kifayah. Bukan fardhu
'ain, yang berarti kewajiban seseorang muslim terhadap muslim akan gugur
jika sudah ada sebagian muslim yang melaksanakannya

Wallahu 'alam.

Silakan baca artikel dibawah ini