This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 24 Juni 2011

Bimbingan dan Pelatihan Qira'atul Qur'an

Bagi mahasiswa Unnes maupun umumm yang ingin belajar Qira'atul Qur'an.Unnes Mengadakan pelatihan dan bimbingan belajar Qira' rutin gratisssss setiap satu pekan sekali 
Hari :Setiap Sabtu Sore
Pukul :14.00-16.00 WIB
Tempat :Ruang Pertemuan MUA Lantai 1
Ayo Belajar membaca Al-qur'an dengan lagu-lagu yang indah dengan qira',,,

Kamis, 23 Juni 2011

Lelaki Pilihan Oleh: Hafidza Amrini


Assalamualaikum…” suara seorang pria dengan nyaring di depan rumah seseorang.
            “Wa alaikum salam,” terdengar suara balasan dari dalam. Suara seorang wanita, yang diiringi gesekan alas kaki di lantai.
            Seulas senyum manis dari seorang gadis berjilbab menyambut sang Tamu. Dia membalas senyuman itu dengan gayanya yang khas.
            “Kita ngobrol di depan aja, ya. Tapi, kamu tunggu bentar. Duduk dulu juga gak pa-pa,” kata sang Gadis mempersilakan.

Menantang Waktu


Gemuruh halilintar semakin berkejaran menemani pekatnya malam, seakan bertarung bersama derasnya hujan yang tumpah dari dinding – dinding langit yang murung. Kilatan sesekali menyambar bagai potretan foto yang diarahkan ke wajah bumi. Semuanya seperti pertarungan reaksi alam yang di guncah oleh sang Ilahi. Dengan menyeret langkah kaki yang dirasa tanpa tulang penegak itu, Laila kembali menarik garis wajah untuk membendung derasnya aliran yang pecah membanjiri pipi, bersama pula dengan deras tumpahan air dari langit yang kian mengguyur sekujur tubuh mungilnya. Badannya nampak lesu, langkahnya lambat tak bergairah. Tersadar keputusannya kini mampu memecahkan buliran – buliran yang menggenang di bola mata, bukan karena jeratan ketakutan pada kenyataan untuk menantang waktu melainkan kepasrahan untuk melepas diri dari tanah kelahirannya. Namun agaknya Laila memang kuat pada tekad dan pendirian yang ia yakini akan membawanya kepada tanah impian yang masih ada pada puncak menara penggapaian. 

Malaikat Baik


Lelaki berbaju putih kembali memanggil nama seseorang. Sementara yang di luar ruangan berharap-harap namanyalah yang dipanggil. Termasuk lelaki yang duduk di sampingku. Dito.
Sudah sekitar 90 menit aku dan Dito duduk di posisi yang sama. Menghadap ruangan bertuliskan ‘Bedah Toraks dan Vaskuler’.

Zulaekha Oleh: Ida Safitri


Zulaekha tersenyum-senyum sendiri menatap dinding kamarnya. Bukan karena warna catnya yang baru, bukan juga karena ada sepasang cicak yang sedang bercengkerama mesra di sana. Ia tidak sedang menikmati pemandangan pada dinding tersebut. Tetapi pikirannya sedang terbang, jauh menembus dinding kamarnya. Hari ini ia sedang merasa sangat bahagia. Sejak tadi malam tepatnya, ketika seorang pemuda tampan datang melamarnya.
Namanya Syaefudin, idola para gadis di kampung Zulaekha. Perawakannya yang tinggi, tegap, berambut sedikit ikal, dengan wajah agak ke-Timur Tengah-an, membuat gadis-gadis kampung memujanya. Ditambah lagi, Syaefudin merupakan juragan beras di pasar Klowor. Tampan dan kaya.

Lantunan Doa di Ujung Senja


Lantunan basmalah masih slalu ku lafadzkan mengiringi awalan langkah tuk menuju tanah pendidikan yang selama ini ku impikan, tanah yang di satu sisi merupakan rentetan tangga tuk dapatkan piala kemenangan namun di sisi lain juga kan mengobarkan api peperangan apabila tak berpegang teguh pada ajaran Allah SWT. Kali ini saat sang Surya berada pada seperempat perjalanannya menuju ufuk barat, tlah ku sudahkan sujudku di salah satu musholla kampus yang akan mengaliri ilmu untukku. Dengan senyum dan semangat yang tak pernah tersurutkan, kakiku berlalu mengitari jalan yang dikelilingi oleh bunga – bunga mekar, semekar bebungaan yang kini singgah di hatiku dan sesekali bergelayutan oleh sapuan sepoi angin pagi, sungguh sejuk memang hingga membuat diri ini di aliri oleh suasana kesejukan pula. Permainan takdir memang masih berpihak padaku, yang mengantarkanku untuk bisa mencicipi pahit dan manisnya bangku perkuliahan di salah satu Universitas di semarang. Langkahku kian merangkak dipenuhi oleh energi positif yang menggebu dalam hati, hingga dalam binar mata pun  kini tlah tercermin sebuah gedung besar nan megah, dimana ratusan insan yang dianugrahi nikmat kepandaian berkumbul di dalamnya. Tepat sekali, mereka adalah para penerima beasiswa yang diprogramkan oleh pemerintah. Sungguh memasuki ruangan itu serasa seperti seorang pejabat yang disambut ramah dikalangan tatanan negara. Sangat terenyuh hingga sesak dadaku memendam rasa kesyukuran tatkala bola mata menyorot papan tulisan “ Penyerahan Beasiswa Berprestasi”.

KEPUTUSAN YANG DIPERSALAHKAN Oleh: Hafidza Amrini



            “Dapat salam dari temanku. Namanya Ratu. Eh, dia lucu loh. Dia bilang ngefans abis sama kamu karena kamu termasuk cowok langka…..” beber Malika.
            “Apa? Cowok langka? Emang aku sejenis makhluk yang harus dilindungi?” komentar Ditya, yang langsung membuat Malika tertawa sambil menutupi mulutnya. Tapi, Ditya mendengar suara tawanya yang pelan sekalipun.
            “Kenapa? Emang ada yang lucu? Temanmu itu yang harus dikasih tahu caranya ngasih komentar buat orang lain,”
            “Kok jadi sewot? Anggap aja itu salah satu cara dia mengungkapkan kekagumannya padamu,” balas Malika.
            Mereka berdua sedang berada di perputakaan. Terpisah diantara dua bilik baca yang saling berhadapan, mereka ngobrol dengan suara pelan.
            “Maksudnya kekaguman yang sudah tidak pada tempatnya? Aku heran, kenapa cewek-cewek suka melakukan hal yang sia-sia untuk diri mereka? Apa untungnya menggagumi seseorang, kemudian saling berdiskusi buat coba menarik perhatian mereka?” Ditya tetap ngotot.
            “Jangan cuma menilai dari satu sisi saja. Emang kamu mau dicap sebagai ikhwan kaku yang pemikirannya masih kolot?”
            “Aku gak kaku. Aku cuma bicara tentang kenyataan yang ada sekarang. Emang ada yang salah?”
            “Ada. Yang salah itu cara berpikirmu. Kenapa kamu gak bisa lebih ramah pada semua orang tanpa terkecuali?”
            “Kalo aku ramah pada semuanya termasuk cewek-cewek yang suka membicarakannku ketika aku lewat di depan mereka, itu sama aja aku memberikan kesempatan pada mereka untuk mendekatiku. Bukankah itu salah satu hal yang mendekati zina?”
            Sejenak hanya hening yang terasa dari bilik tempat Malika duduk, hanya suara nafsnya yang terdengar berat.
            “Semua perbuatan tergantung niat. Jika kamu meluruskan niat di jalan dakwah, maka hasilnya Insya Allah akan barokah. Kamu harus nyadar kalo sekarang kamu udah jadi public figure. Harus bisa jadi panutan. Bersikap terbuka kepada siapa saja itu penting, supaya dirimu tidak dikenal sebagai seorang yang misterius”
            “Oke. Jadi menurutmu aku harus gimana?”
            Tak ada jawaban. Diyta mencoba menunggu. Namun dalam hatinya masih penuh tanya. tidak biasanya Malika berpikir cukup lama menjawab pertanyaannya.
            “Kok diam?” Ditya mencoba membuka percakapan kembali. Dia mengira Malika jengkel dengan tingkahnya.
            “Kamu gak tidur kan?” lalu Ditya melongokkan kepalanya untuk melihat keadaan Malika.
            Astagfirullahaladzim….” Pekik Ditya histeris.
            Terlihat pemandangan yang membuatnya miris. Malika sedang memegangi dadanya. Nafasnya tampak tersengal-sengal. Ditya hafal betul keadaan seperti itu. Asmanya sedang kumat.
            “To…tolong ambilin obat…ku di tas,” pintanya masih dengan nafas tinggal satu-satu.
            Tanpa disuruh dua kali Ditya segera menuju tempat penitipan tas yang ada di depan pintu masuk. Dia mengambil tas Malika dan membawanya ke dalam. Sempat terdengar teriakan nyaring sang Penjaga perpus karena melihat Ditya membawa tas ke dalam ruang baca. Dengan jawaban singkat dia menjelaskan alasannya.
            Dengan sigap Ditya membawa membuka tas Malika dan mencari benda kecil yang dia tahu sebagai obat asma hisap yang selalu dipakainya saat penyakitnya itu kambuh.
            Begitu menerima benda itu, Malika langsung memasukannya ke dalam mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia menghirupnya.
            Satu menit, dua menit… Nafasnya mulai teratur, walaupun masih terdengah ‘suara khas’ ketika asmanya kambuh, tapi dia sudah bisa mengatur nafasnya.
            “Makasih…..” dia melepaskan benda yang sedari tadi bercokol di mulutnya. Ditya dengan sigap meraihnya dan memasukan kembali ke dalam tas Malika.
            “Sekarang udah baikan? Apa perlu ke dokter? Kayaknya serangan yang ini agak parah dan tanpa pemberitahuan,” Ditya mencoba sedikit berkelakar. Karena dia juga risih dengan cara bicara yang seolah perhatian, apalagi dengan seorang akhwat. Meskipun dia dan Malika sudah berteman baik. Namun ada beberapa pihak yang tidak sependapat dengan persahabatan antara ikhwan dan akhwat karena bisa saja mereka berkhalwat dengan dalih persahabatan. Tapi dengan diplomatis, mereka selalu bisa mematahkan argumen beberapa orang yang kontra.
            Keduanya memiliki karakter yang berbeda. Malika adalah akhwat cerdas yang pandai berargumen di depan umum dan bergaul dengan siapapun. Sedangkan Ditya, walapun dia juga sama cerdasnya dengan Malika, tapi dia cenderung type orang yang pilih-pilih dalam bergaul. Dia tak banyak berteman dengan teman sekelasnya yang kebanyakan orang ammah. Alasannya karena dia memegang teguh prinsipnya, ketika dia banyak berinteraksi dengan teman-temannya itu, nantinya dia akan lalai dan tidak bisa solat awal waktu. Namun, keduanya selalu bisa menyatukan pikiran. Walaupun tak jarang adu argumen tetap menjadi menu utama mereka.
            Pertemuan keduanya pun unik. Sampai kemudian mereka sering terlihat bersama. Entah di kelas wajihah dakwah, kelompok karya ilmiah, menjadi tentor di bimbel yang sama. Semua itu terjadi secara natural, dan semata karena kehendak Allah.
Dua orang yang hebat, dua orang yang selalu bisa menguasai medan dengan berbekal kesabaran, dan dua orang yang seringkali ditempatkan pada jajaran yang sama dalam tataran organisasi dakwah kampus, sungguh kebetulan yang butuh banyak perjuangan.
            Kembali pada cerita di awal…
            “Engg, sepertinya tidak perlu,” Malika terlihat agak canggung menyadari posisi dirinya dengan Ditya cukup dekat secara fisik. Dirinya berada ditempat dimana dia membaca pada awalnya, sementara Ditya ada disampingnya, sangat dekat.
            “Sepertinya kita harus segera menyudahi perbincangan kita. Ingatkan aku kalau kita belum menyelesaikan mengenai topik pergaulan lawan jenis yang masih memanas diantara kita,” Malika bersiap untuk berkemas. Dia mencoba untuk berdiri dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang masih ada dalam dirinya.
            “Perlu aku penggilkan akhwat lain untuk datang kesini membantumu!” tawar Ditya yang iba melihat Malika yang mencoba berjalan walaupun masih sempoyongan.
            “Tidak usah. Aku masih bisa jalan sendiri. Lagian kos-ku dekat kok. Dan aku bisa minta dijemput temanku di depan kampus,” balas Malika dengan tegas. Sementara Ditya berjalan agak menjauh di belakangnya, walaupun sisi-sisi kemanusiaannya tergerak melihat sahabatnya, atau lebih tepatnya saudarinya sedang kesakitan.
            Ini bukan pertama kalinya Ditya mendapati Malika hampir ambruk gara-gara penyakit asma yang sudah menemaninya semenjak masih kanak-kanak. Dulu, Malika bahkan sempat masuk rumah sakit karena paru-parunya mengalami penyempitan. Efek asma itu sendiri tentunya.
            “Um, andai saja aku ini akhwat. Aku pasti bisa menolongmu dengan leluasa…” ucap Ditya yang segera disesalinya. Kenapa keluar begitu saja dari mulutnya.
            Diluar dugaan Ditya yang akan mengira Malika akan marah karena perkataannya yang ‘agak sedikit nakal’ itu, namun akhwat tersebut malahan tersenyum kecil.
            “Kalau kamu jadi akhwat. Nanti bagaimana nasib cewek-cewek yang mengagumimu secara berlebihan itu? Bukankah mereka akan kecewa kalau kamu berubah jadi…”
            “Hei, kenapa harus menanggapinya secara berlebihan? Itu hanya perandaian saja,”
            Sampai di teras perpus menuju gerbang utama kampus. Ada sepasang mata yang menangkap bayangan Malika yang berjalan perlahan, sementara Ditya ada di belakangnya, walaupun agak jauh. Kedua mata itu menyipit melihat pemandangan tersebut. Dengan bergegas, sosok itu segera mendatangi target.
            “Malika…” panggilnya, terdengar akrab.
            “Ehhh, Mbak Khumaira…” jawab Malika singkat bercampur rasa kaget. Malika melihat sepercik api amarah dalam mata sang Murabbiyyahnya tersebut.
            “Kalian darimana saja? Kenapa cuma berdua saja?”
            Ishbir, Ukhti. Semua bisa dijelaskan baik-baik..” sela Ditya yang terkesan mendahului Malika yang hendak berbicara.
            Afwan, ana bertanya pada Malika,” jawab mbak Khumaira dengan tegas tanpa meninggikan suara.
           Dengan tenang dan bahasa yang halus, Malika menceritakan semua secara singkat pada Murabbinya, dengan Ditya yang masih berdiri di tempatnya.

Dinar


Langit masih biru bersih. Jalan-jalan sepanjang Gombong-Puring masih padat dilalui kendaraan bermotor pertanda aktivitas kehidupan masih berjalan. Kantor Kecamatan Puring adalah perbatasan antara jalan mulus dan jalan penuh lubang. Dan aku sudah melewatinya.
            “Pak, mriki sanes?” tanyaku pada lelaki bertubuh sedang yang duduk di depanku.
            “Belokan sing ngarep.” Katanya tanpa melihat ke belakang.

Jangan Panggil Aku Valentine (Lagi)!


Gawat! Apa sebaiknya aku tidak masuk sekolah saja ya hari ini? Lalu, apa yang harus ku katakan pada mereka nanti? Argh... Pusing!!!
Setelah memantapkan hatinya, akhirnya Dini memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah. Entah bagaimana respon teman-temannya nanti, Wallahu ‘alam, Dini tidak tahu. Ini merupakan keputusannya sendiri. Keputusan yang telah dirundingkan dengan sang ayah. Keputusan yang sebenarnya masih diragukan oleh sang Bunda. Dan, sebuah keputusan yang mungkin akan merubah jalan hidup gadis yang baru berusia 17 tahun tersebut.
***
Tidak ada gelak tawa atau canda ria di kelas hari ini. Semuanya seakan membisu. Kelu, tak bisa berkomentar apa-apa. Suasana surprise pesta ulang tahun untuk Dini yang memang bertepatan dengan Valentine’s Day itu berubah senyap, laksana pekuburan di samping sekolah. Puluhan terompet yang semula sudah dipersiapkan, tidak jadi ditiup. Gandum dan telur yang akan digunakan sebagai ‘bom luluran’ untuk Dini, urung dilakukan. Gadis yang dikenal satu sekolah sebagai Miss Valentine dan pernah dinobatkan sebagai Putri Sekolah itu, kini berjilbab!
Ah, kamu bercanda kan, Val?’ ucap salah satu sahabat Dini, Fina. Valen merupakan sapaan akrab bagi Dini.
Dini menggelengkan kepalanya. Ia hanya tersenyum kecil. Berusaha menenangkan hatinya yang juga kalut tak karuan.
Tapi, hanya untuk sementara kan, Val? Cuma buat hari ini doang, kan?’ Dika, yang sebenarnya mau nembak Dini saat itu juga, nampak sedih. ‘Aku suka gaya kamu yang kemarin-kemarin.
Iya, Val. Mending jangan pakai jilbab dulu.
Betul, Val. Sayang kan rambut indah kamu nggak bisa dilihat orang nanti.
Suasana mendadak riuh. Hampir semua teman sekelas Dini tidak setuju dengan penampilan barunya, termasuk sahabat karibnya. Bagi mereka, Dini adalah ‘aset’ kelas yang sangat berharga. Beberapa bulan yang lalu, kelas mereka dianugerahi gelar sebagai kelas terbaik karena prestasi Dini yang berhasil menyabet Juara 1 Putri Sekolah dan Duta Wisata Tingkat Regional. Di samping itu, sudah banyak majalah dan tabloid remaja yang berusaha mendapatkan kontrak dengan Dini. Lagipula, beberapa bulan lagi Dini akan berlaga pada ajang Duta Wisata Tingkat Nasional. Kalau pakai jilbab gitu, apa Dini bisa menang? Mustahil! Pikir teman-teman Dini.
Diam dulu, teman-teman. Kita dengar apa kata Valen,’ seru Dika kemudian. Dia tak rela kalau calon pacarnya itu berjilbab. Nggak keren!
Dini menghela nafas sejenak. Nampak berat rasanya untuk memulai kata pertamanya. Namun, ini pilihannya sendiri. Tak ada yang memaksanya, sama sekali.
Insya Allah tepat mulai hari ini Dini akan memakai jilbab. Tolong teman-teman mau menghargai prinsip Dini yang sekarang. Dini hanya ingin berubah menjadi orang yang lebih baik lagi,’ ucapnya dengan agak terbata-bata. Benar-benar perjuangan yang berat untuk mengucapkan kata-kata seperti itu di depan teman-temannya. Sudah tiga tahun mereka jadi teman sekelas. Dan untuk hari ini, mungkin Dini telah mengecewakan mereka semua.
Maaf, teman-teman... batin Dini.
Tapi nggak harus pakai jilbab kan, Val?’ sergah Karin, sahabatnya yang lain.
Dini tersenyum. ‘Jilbab ini akan membantu Dini menjadi lebih baik.
Ah, nggak asyik kamu, Val. Terserah deh kalau gitu. Itu berarti kamu nggak nganggep kita-kita ini teman kamu.
Iya nih. Kamu tuh masih muda, Val. Nggak perlu lah kolot kayak gitu.
Dini menundukkan kepala. Rasa bersalah kepada teman-temannya semakin membuncah. Terbersit keinginan untuk kembali melepas jilbab keesokan harinya. Tapi, tidak! Dini sudah berjanji kepada dirinya sendiri. Lagipula, ayah dan bunda pun sudah merestui. Teringat pesan ayah sebelum ia berangkat ke sekolah tadi pagi.
Kalau itu memang keputusanmu, kamu harus konsisten. Jangan pernah main-main dengan janji yang kamu buat sendiri. Ingat, kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban kamu di akhirat.
Bel berbunyi. Teman-teman kembali ke bangkunya masing-masing. Hiasan yang dipersiapkan untuk pesta ulang tahun Dini dibiarkan menjuntai di ruang kelas. Raut wajah kecewa dari teman-teman Dini, kini berganti menghiasi tempat itu.
Ada satu hal lagi yang ingin Dini sampaikan,’ Dini beranjak ke tengah kelas, meminta atensi dari semua mata yang sekarang memang sedang tertuju padanya.
Apa, Val? Kamu mau bilang kalau kamu cuma bercanda, kan?’ harap Karin diikuti anggukan dari teman sekelasnya.
Bukan, bukan itu. Dini hanya ingin bilang, jangan panggil Dini dengan sebutan Valen atau Valentine lagi. Dini tidak suka.
Huhuhu... Sorak sorai membahana di kelas. Tampak teman-teman Dini mulai mencibirnya, mengatakannya sok alim lah, sok suci lah, kolot lah.
Ya Rabb... Dini berserah pada-Mu... Tangis Dini dalam hati.
***
Sudah tiga hari ini Dini didiamkan oleh teman-temannya. Hampir tidak ada yang mau berbicara dengannya, kecuali kalau terpaksa atau saat kegiatan kelompok di kelas. Dini benar-benar tidak tahan dengan itu semua. Tapi nasehat ayah, bunda, dan guru ngajinya kembali menguatkan hatinya untuk tetap tabah.
Insya Allah pasti ada jalannya. Bukankah setelah kesulitan itu pasti akan ada kemudahan? Perkataan guru ngajinya itu terngiang di telinganya.
Iya. Tapi, kapan teman-teman bisa kembali seperti sedia kala? Setelah lulus nanti? Tidak. Dini tidak ingin lulus dengan suasana kayak gini, Tuhan. Batin Dini sedih.
Rasa tidak suka mereka kepada Dini kini kian bertambah. Bahkan, mungkin naik ke level ‘benci’ setelah akhirnya Dini mengundurkan diri dari ajang Duta Wisata Tingkat Nasional.
Kamu tuh kenapa sih, Din? Okelah kalau kamu pakai jilbab. Tapi, apa juga harus mengundurkan diri dari pemilihan Duta Wisata Nasional? Ini bukan cuma buat kamu, Din. Buat sekolah kita, buat teman-teman juga. Atau jangan-jangan kamu memang benar-benar sudah nggak anggap kita-kita ini sebagai teman kamu, gitu?’ bentak Ajeng, teman sekelas Dini, yang tak bisa menahan amarahnya.
Bukan begitu, Ajeng’.
Dini mencoba menjelaskan alasan pengunduran dirinya dari ajang tersebut.
‘Salah satu sesi dalam pemilihan Duta Wisata itu adalah sesi walking. Dini harus gandengan sama pasangan Dini. Dan Dini tidak bisa melakukan hal itu,’ ucap Dini lembut, berusaha mencairkan suasana kelas yang mulai jadi pusat perhatian siswa-siswa yang lain. Bahkan, kelas sebelah pun ikut-ikutan mengompori teman-teman Dini yang lain.
Alah, muna kamu jadi cewek!
PLAAKKK... Sebuah tamparan hebat melayang di pipi kiri Dini. Gadis itu sampai terjerembab ke lantai kelas.
Sudah, sudah. Apa-apaan kamu, Jeng! Jangan seenaknya ngegampar orang kayak gitu. Apa kamu mau digampar juga, hah?’ bentak Dika yang tidak rela Dini diperlakukan kasar.
Dika kemudian menyuruh beberapa teman perempuannya untuk membantu Dini ke ruang UKS. Sepertinya tamparan itu menyisakan bercak darah di sekitar bibir Dini.
Ajeng berlalu, tak peduli dengan keadaan itu. Kerumunan pun kini sudah tak nampak lagi, menyisakan satu episode pahit bagi Dini, lagi.
Ah, betapa tidak mudahnya menjadi seorang jilbaber.
***
Akhir pekan ini OSIS sekolah Dini berencana mengadakan ajang Miss Valentine sebagai bentuk perayaan Valentine’s Day. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ajang ini selalu disambut antusias oleh warga sekolah layaknya ajang Miss Universe. Tentu saja hal ini membuat dada Dini menjadi sesak. Walaupun ia adalah pemenang tahun lalu, budaya seperti itu tidak seharusnya dilakukan lagi. Buat apa coba ikut-ikutan kultur Barat yang tidak penting dilakukan itu. Bukankah tidak perlu hari khusus untuk menyimbolkan rasa kasih sayang?
Ajang ini tidak boleh diadakan lagi! Batin Dini.
Tapi, sayang, Dini tidak punya teman pendukung. Andaikata ada Rohis di sekolahnya, pasti ajang tersebut sudah didemo habis-habisan.
Aha! Dini punya ide. Ia membuat kuesioner singkat dan segera melakukan pendekatan personal kepada teman-teman yang lain. Banyak yang mencibirnya, tapi ternyata tak sedikit yang mendukungnya. Akhirnya, setelah mendapat cukup bala bantuan dan bukti fisik atas hasil angketnya, ia memberanikan diri untuk mewakili kelasnya dalam Rapat Perwakilan Kelas bersama Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di aula sekolah. Walau sempat bersitegang dengan sang ketua kelas, akhirnya ia diizinkan juga mengikuti rapat tersebut.
Bismillahirrahmanirrahim... bisik Dini pelan.
Rapat dimulai. Ketua OSIS SMA Persada tanpa basi-basi langsung memulai agenda rapat membahas program kerja perayaan Valentine’s Day; Ajang Miss Valentine.
Adapun tujuan dari ajang ini adalah menumbuhkan semangat kompetisi secara sehat antar siswi SMA Persada sebagai wujud emansipasi wanita sekaligus sebagai simbol hari kasih sayang tingkat dunia. Ini bukti bahwa sekolah menghargai keberagaman dan berwawasan terbuka terhadap semua kultur yang ada,’ ujar Andre, Ketua OSIS, dengan percaya diri.
Dini kontan membelalakkan mata tak percaya.
Apa? Emansipasi wanita? Simbol kasih sayang tingkat dunia? Menghargai keberagaman? Berwawasan terbuka? Apa-apaan itu? Astaghfirullah...
Dini hanya bisa mengelus dada tak percaya dengan statemen Ketua OSIS yang baru saja dilontarkan itu.
Seabreg alasan dikemukakan oleh Tim Khusus Program Kerja Miss Valentine, sampai pada akhirnya peserta perwakilan kelas diperbolehkan untuk menyanggah ataupun menanggapi.
Dini langsung mengangkat tangan. Dilihatnya tak ada yang berani menyanggah alasan kuat Ketua OSIS untuk tetap mengadakan agenda tersebut. Maka dirinyalah yang harus membuat perubahan itu.
Sekarang atau tidak sama sekali!
Dini pun dipersilakan untuk maju ke mimbar. Nampak ia berusaha mengatur irama nafasnya agar tidak terdengar emosional yang malah akan menjatuhkan dirinya dan nama baik kelasnya sendiri.
Agaknya ajang Miss Valentine ini perlu dipertimbangkan lagi, hadirin sekalian.
Huhuhu... Aula bergemuruh, pertanda tak sepakat dengan perkataan Dini. Sementara, Dini hanya tersenyum, penuh keberanian yang ia sendiri tak tahu darimana asalnya.
Begini, mengadakan ajang Miss Valentine bukanlah mengenai emansipasi wanita, simbol kasih sayang tingkat dunia, menghargai keberagaman, ataupun berwawasan terbuka terhadap aneka kultur yang ada. Namun, di luar itu semua, kita patut mempertimbangkan urgensi atau pentingnya melaksanakan ajang ini. Kalau hadirin sekalian tahu berapa alokasi dana yang tercantum di proposal program kerja OSIS, pasti hadirin sekalian akan sangat terkejut. Bayangkan, uang sebanyak lima belas juta akan dihamburkan untuk melaksanakan sebuah kompetisi yang tidak jelas seperti ini!
Wakasek Bidang Kesiswaan sontak menengok ke arah sang Ketua OSIS. Tampak Andre gelagapan tak karuan. Rencananya untuk membelokkan dana ternyata diketahui Dini. Sial! Rutuknya dalam hati.
Salah seorang pengurus OSIS langsung berdiri dan angkat bicara.
Bukankah kamu sendiri merupakan pemenang Miss Valentine tahun lalu? Lantas mengapa sekarang kamu tidak setuju? Apakah karena sekarang kamu berjilbab? Tolong jangan bawa-bawa nama agama. Kita itu multikultural. Tidak hanya Islam yang ada di sekolah ini. Apa kamu tahu itu?
Nada pengurus OSIS yang bernama Delfi itu semakin meninggi. Agaknya emosinya benar-benar memuncak. Ia memang setali tiga uang dengan Andre. Sama saja!
Dini tak kehilangan akal. Lantunan bismillah terucap dari mulutnya sebelum akhirnya ia menjawab sanggahan itu.
Karena saya pernah menjadi Miss Valentine itulah saya akhirnya bisa berkata seperti ini. Tidak ada yang saya lakukan setelah menjuarai ajang itu. Kompetisi itu hanya sekadar sampai di situ saja. Lagipula, bukan karena jilbab panjang ini saya menentang salah satu program OSIS tersebut. Namun, karena saya menilai tidak ada manfaatnya sama sekali mengadakan acara seperti ini selain untuk hura-hura belaka. Angket yang telah saya sebarkan menunjukkan bahwa 77% siswa di sekolah kita tercinta ini menolak dengan tegas acara tersebut! Dan perlu diingat pula, masih ada siswa cerdas peraih rangking kelas yang tidak bisa bayar SPP sampai sekarang. Bukankah uang itu seharusnya bisa dialokasikan untuk mereka? Di samping itu, ada banyak agenda lain yang bisa dilakukan oleh OSIS untuk meningkatkan skill para siswa. Misal, Lomba Speech Contest, Khitobah Bahasa Arab, Kompetisi Mading antar kelas, Lomba Cerdas Cermat, Debat Ilmiah, dan sebagainya. Bukankah itu terdengar lebih bermanfaat dari sekadar ajang Miss Valentine?!’ tegas Dini lantang.
Semua hadirin menganggukkan kepala, termasuk Pak Rudi, Wakasek Bidang Kesiswaan. Sementara Andre dan sekongkolannya hanya bisa gigit jari setelah Pak Rudi benar-benar mencoret ajang Miss Valentine sebagai program kerja dan melarang ajang itu untuk diadakan di sekolah lagi.
HOORRREEE...
Sorak sorai pendukung Dini tampak jelas dari dalam ruang aula sekolah. Dilihatnya Fina, Karin, Dika dan teman-teman kelasnya membawa coret-coretan tangan untuk mendukung usahanya. Ternyata teman-teman Dini sudah tidak membencinya lagi.
Alhamdulillah, Ya Rabb. Terimakasih atas bantuan-Mu hari ini...
Dini langsung menghambur ke luar aula. Dipeluknya Fina dan Karin erat-erat.
Terima kasih sudah mau mendukung Dini,’ ucapnya terharu. Bulir-bulir airmata sudah mulai turun dari kedua pelupuk matanya.
Sama-sama, Valen eh Dini. Maafkan kita-kita ya. Kamu memang benar. Kita harus saling menghargai. Dan sepertinya kita tidak butuh Valentine’s Day untuk mengungkapkan kasih sayang kita kepada sesama. Betul nggak, teman-teman?’ seru Karin meminta persetujuan dari yang lain.
BETUL... BETUL... BETUL...’ Koor teman-teman Dini, menirukan logat Upin Ipin yang sangat tidak sukses ditirukan. Semuanya pun tertawa riang. Ajeng juga segera meminta maaf secara langsung kepada Dini. Ia menangis sesenggukan di hadapan Dini dan teman-teman yang lain. Dini dengan senang hati memaafkannya.
Eh, kamu harus berterima kasih sama seseorang lho,’ kerling Fina pada Dini.
Siapa maksud kamu?
Tuh, Dika. Kalau bukan karena dia yang berusaha meyakinkan kita, mana mungkin kita bisa ada di sini.
CIIIIIIEEEEEEEEE....
Yang disindir pun hanya bisa tersenyum malu-malu plus garuk-garuk kepala yang tidak gatal sama sekali.
Eh, nggak boleh dekat-dekat lho. Dini sekarang kan anti cowok. Hahaha...’ tambah Ajeng, menambah hangat suasana persahabatan siang hari itu.
Senyum itu, tawa itu, canda itu, persahabatan itu, kini hadir kembali di hidup Dini. Tak perlu ia khawatir lagi dengan penampilan barunya. Alhamdulillah, ternyata teman-temannya sudah bisa menerima ia apa adanya.
Mm, kalau seandainya Dika nembak kamu sekarang gimana, Din?’ bisik Fina di telinga Dini. Saking pelannya, teman-teman Dini yang lain bisa mendengarkan dengan jelas bisikan Fina. Ya iyalah, lha wong bisik-bisiknya saja pakai speaker musholla!
Dika pun tambah malu. Kalau diibaratkan nih, mukanya itu sudah kayak kepiting rebus ketiban cat merah... Bisa bayangin nggak?
Hm, gimana ya? Ah, kalau jodoh kan nggak kemana. Iya, kan?
Huwaaa... Valen genit!!!’ Seru Fina dan Karin bersamaan.
Heh, berani ya kamu manggil aku kayak gitu lagi.
Ayo kejar kalau bisa, Valentine!’ Mereka langsung kabur ke arah lapangan sekolah.
Awas ya kalian,’ Dini pun mengambil ancang-ancang untuk berlari.
Valen!!! Valentine!!!’ Mereka sudah semakin menjauh, berlari sekencang mungkin agar tak terkejar Dini.
Jangan panggil aku Valentine lagi!!!
***
O iya, ada pesan terakhir dari Dini nih,
Say No to Valentine ya!
(^_^)











SEDEKAH (Cerpen Faknita Utami)


Wanita itu kembali menyerapah di hadapannya. Rasa ngilu menggodam jantung hingga dia tak merasakan desir darahnya mengalir. Rusmi ingin sekali menyumpal mulut wanita itu dengan sayuran busuk di hadapannya. Namun, dia hanya tergeming dan menahan amarah yang hampir meruah. Setiap kata yang tercurah dari mulut wanita itu telah melekat di benaknya. Biarlah dia mengoceh sampai puas. Rusmi berlari menerobos ladang jagung yang menutupi rumah biliknya. Emaknya telah menanti di teras.
            “Duh Gusti, sungguh teganya dia menyuruh anakku memakan tanah. Begitu hinakah keluarga kami hingga dia memperlakukan kami tak ubahnya binatang?“ Air bening mengucur deras dari pelupuk mata Emak setelah Rusmi menceritakan semuanya.
            “Mbok Karsinem bilang kita tak boleh ngutang di warungnya lagi selama kita belum mencicil hutang yang menggunung,” terang Rusmi sembari memeluk Emak.
            “Andai bapak masih hidup.” gumamnya lirih.
            Sekelebat ingatannya melayang ke masa lalu. Hatinya terkoyak jika mengingatnya. Saat itu, tepat ketika Bapak melantunkan adzan di telinga adik keduaku yang masih merah. Tiba-tiba polisi menyeruak masuk ke dalam rumah. Tanpa alasan jelas mereka memborgol tangan Bapak. Emak hanya bisa meraung-raung berusaha menahan Bapak. Tak ada guna, polisi menghalau Emak hingga jatuh tersungkur ke tanah. Rusmi pun hanya menangis, meringkuk di balik kelambu dipannya.
Bapak dituduh telah membunuh majikannya yang ditemukan tergeletak bersimbah darah di rumahnya 3 hari setelah Bapak meninggalkan rumah majikannya. Hal yang mustahil. Bapak adalah pegawai yang patuh pada majikannya. Bahkan Bapak rela tak pulang 1 bulan, karena majikannya tak mengijinkannya.
            “Bapak bukan pembunuh pak. Dia suami yang baik,” rintih Emak.
            Semenjak hari itu keluarganya menerima stigma keluarga pembunuh. Beban yang terlalu berat dipikul Emak yang belum selesai masa nifasnya. Tak pernah ada bukti bahwa Bapak melakukan pembunuhan. Namun Bapak tak kunjung dibebaskan. Proses hukum yang berbelit-belit masih mengungkung Bapak di penjara. Hingga Bapak meninggal karena depresi dan sakit-sakitan tak kuat menahan tekanan batinnya.
            “Sholat asar dulu, Rusmi.” Emak mengusap lembut bahunya yang membuat dirinya tersadar dari lamunan. Kumandang adzan terdengar dari surau desanya. Rusmi segera beranjak dari amben untuk mengambil air wudu.
***

            Semburat merah menilik di batas cakrawala. Lembayung awan pun merona malu. Matahari telah lingsir. Arif adiknya belum juga pulang. Tadi siang, dia meronta-ronta pada Emak untuk segera membayar uang SPP yang menunggak. Sungguh, zaman yang menggila hanya dapat membuat Emak mengurut dada. Harga minyak pun hampir memutuskan batang lehernya. Ketika panas bumi semakin mengganas. Membuat ladang jagungnya meranggas, tak berbuah. Penguasa telah menggilas kaum bawah dengan trengginas. Dengan apa lagi dia harus menyambung nyawa.
             Emak hanyalah seorang buruh penggarap ladang. Ladangnya yang hanya sepetak tak mencukupi lagi. Rusmi pun telah melepas impiannya menjadi astronom. Arif adalah harapan Emak satu-satunya untuk dapat meniti senjanya dengan damai tanpa terusik oleh nyanyian kemiskinan. Mungkinkah pupus jua asa itu karena biaya hidup yang menggorok urat nadinya.
            Bulu romanya meremang ketika menyusuri sungai bersama Emak. Rusmi mengajak Emak mencari Arif. Hanya obor satu-satunya penerangan mereka. Sungai Elo di pinggir desanya terkenal angker. Tersiar kabar dari penduduk sekitar bahwa di bantaran sungai itu terdapat kerajaan jin. Siapa pun akan bergidik mendengarnya.
Terdengar derap langkah yang melesak menuju tempat mereka berpijak. Rusmi semakin mengeratkan pegangannya ke lengan Emak. Emak menggenggam ranting bambu untuk berjaga-jaga. Rusmi mengucapkan istighfar berulang kali. Sesekali dia membaca ayat kursi yang telah dihapalnya ketika dia berumur tujuh. Bapak telah menjejalinya dengan berbagai surat Al- Qur’an. Ketika hapalannya salah, Bapak langsung menggiringnya ke sumur dan mengguyur badannya. Emak yang melihatnya pun hanya menggigit ujung bibirnya tak kuasa mencegah Bapak. Di umur sepuluh Rusmi sudah mampu menghafal juz ‘Amma. Suatu kebanggaan bagi Bapak.
Di balik temaram malam, langkah itu berubah rupa menjadi sosok kecil yang sangat Rusmi kenal. Adiknya yang masih mengenakan seragam merah putih segera berlari menghambur ke pelukan Emak. 
            “Mak, Pak Haji Sadikin bilang besok ada orang mau bagi-bagi duit,” katanya polos. Binar matanya begitu jelas di pelupuk matanya.
“Kalau kita dapet duit ntar Arif disunat ya, Mak?”
Emak tak mengucap sepatah kata hanya mendekap erat Arif.
***

            Gemerisik angin kemarau melingkupi malam buta. Bulan pun susut tak berpurnama. Suara jangkrik di ladang jagung menghalau senyap di rumah bilik Rusmi. Lampu teplok di ruang tamu adalah satu-satunya penerangan, rumahnya tak pernah tersentuh listrik. Rusmi menghampiri Emak yang tengah menekuri amplop coklat di genggamannya. Serasa mimpi segepok lembaran biru disentuhnya. Lima juta rupiah! Sungguh, angka yang begitu besar untuknya. Bahkan uang itu sanggup membungkam mulut Mbok Karsinem untuk tak mengeluarkan serapahnya lagi.
            Tadi siang Haji Sadikin mengantarkan seorang pengusaha muda ke rumahnya. Pengusaha itu baru saja memenangkan tender. Sebagai rasa syukurnya, dia mengucurkan uang puluhan juta khusus kepada anak-anak yatim di desanya termasuk Rusmi dan adiknya.
            “Mau kita apakan uang ini, Rus?”
            Rusmi terdiam, mengamati gamis putih lusuh yang dikenakan Emak. Rusmi masih ingat gamis itu pemberian almarhum bapaknya ketika Emak baru saja melahirkan Arif. Putihnya mengusam termakan zaman yang mengubahnya menjadi nestapa. Ah, sudah berapa tahun Emaknya tak mengganti gamis itu dengan gamis yang baru. Sewaktu pengajian di kampungnya pun Emak selalu memakai gamis yang sama. Tak dipedulikannya bisikan-bisikan yang mampu membuat kupingnya memerah. Emak lebih memilih mendengarkan tausi’ah yang diberikan Haji Sadikin. Emak tak seperti ibu-ibu lain yang sering mengenakan perhiasan dan baju yang berlebihan hanya sekadar untuk ikut pengajian. Gamis kusam telah menjadi seragam Emak. Dalam hati Emak pasti ingin seperti mereka.
            “Bayarlah dulu utang kita pada Mbok Karsinem. SPP Arif juga harus segera dilunasi.”
            “Apa kau tak ingin melanjutkan sekolah, Rus?”
            Batin Rusmi bergolak. Astronom adalah impiannya semenjak Bapak menunjukkan rasi bintang Orion. Gugusan bintang paling terkenal. Sebuah simbolisme pemburu besar.  Bapak menyebutnya bintang Belantik. Gugusan yang terdiri dari tiga buah bintang yang besar dan berkilauan mampu menyihir Rusmi. Dari hari itu, Rusmi ingin mengetahui rasi bintang yang lainnya dan menjadi astronom.
Mimpi itu terlalu muluk baginya. Rusmi takut bermimpi, baginya bermimpi tak ubahnya menggantang asap. Uang itu pun juga akan tandas untuk membayar semua utang Emak, tak tersisa untuknya.
            “Biarlah Arif menggapai asanya, Mak. Aku akan tetap membantu Emak di ladang. Aku pun bisa merantau ke kota.”
            Emak menggeleng pelan. Tak mungkin dia melepas Rusmi pergi ke kota yang telah membunuh suaminya. Hingga larut malam masih saja dihitungnya uang di genggaman. Entah sudah berapa puluh kali mengitungnya sembari menanam angan untuk apa uang itu.
***

            Pandangan Rusmi menyapu ke dalam kamar Emak. Didapatinya Emak tengah bersimpuh beralaskan sajadah. Air matanya menggenang seraya melantunkan kidung do’a.
            “Ya Allah, terima kasih atas segala nikmat yang Kau berikan. Limpahkanlah rahmat-Mu pada pengusaha itu.  Lapangkanlah rezekinya. Bukakanlah pintu surga-Mu untuknya. ”
            Semenjak pengusaha itu bertandang ke rumahnya, setiap malam Emak berdo’a untuknya. Dia ibarat malaikat yang membawanya terbang dari titik nadir. Meskipun Emak tahu do’anya tak mampu membalaskan budi kepada malaikatnya.
Emak telah membayar lunas semua hutangnya pada Mbok Karsinem. Belenggu selama bertahun-tahun akhirnya terlepas. Begitu juga uang SPP Arif telah terbayar hingga 3 bulan ke depan. Arif pun akan segera disunat usai liburan. Satu yang Rusmi tak terima dengan keputusan Emak untuk memberikan 20% uang itu kepada saudaranya.
“Uang itu terlalu besar, Mak. Kita juga butuh. Apa Emak tak ingat ketika meminjam sedikit uang untuk membayar uang sekolahku dulu? Namun, dengan pongahnya mereka mengusir kita!”
“Istighfar, Rus. Dia itu saudara kita. Sekarang dia sedang meregang nyawa. Jika tak segera dioperasi penyakitnya semakin parah,” ucap Emak berusaha menenangkan Rusmi.
“Jika saja dia mau meminjami sedikit uangnya aku masih bersekolah, Mak.”
Rusmi masih mendendam. Luka itu kembali menganga. Dia masih tak mengerti dengan keputusan Emak. Hati Emak begitu lembut meski telah dilempar sekam yang berbara tak membuatnya berubah. Mungkin Emak adalah malaikat.
***
            Gedoran pintu menyadarkan Rusmi dari alam mimpinya. Berani sekali subuh-subuh datang bertamu, pikirnya. Rusmi beranjak dengan malas dari dipa bambunya untuk membuka pintu depan. Haji Sadikin berdiri di hadapannya dengan raut muka pasi. Sepertinya ada hal yang genting yang segera ingin beliau kabarkan. Tangannya gemetar hebat. Barangkali kedinginan. Angin subuh pagi ini begitu menusuk seakan menyiratkan sesuatu.
            “Makmu mana, Rusmi?”
            “Ada apa pak Haji?” Rusmi malah balik bertanya.
            “Aku harus bertemu Makmu sekarang. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.” Haji Sadikin nampak kesal. Rusmi pun segera beringsut masuk ke dalam rumahnya.
            Emak berjalan tergopoh-gopoh menuju teras depan. Tak dipedulikan kerudungnya yang berantakan. Degup jantungnya mengencang. Tak mungkin Haji Sadikin datang subuh-subuh jika tak ada berita penting.
            “Pengusaha itu meminta uangnya kembali. Usahanya bangkrut. Siang ini dia akan datang.” terang Haji Sadikin tanpa memberikan Emak kesempatan untuk bertanya sebelumnya.
            Emak berdiri mematung. Darahnya tersirap. Dingin telah merasuki ulu hatinya. Dongeng kemiskinan kembali mengusik sukmanya. Emak tak menangis, urat matanya telah beku oleh nasib buruk yang mendekapnya. Bibirnya terkatup rapat. Hanya memandang Haji Sadikin dengan getir.
            “Subhanallah,” ucap Emak sebelum limbung ke tanah.  
***