Kamis, 23 Juni 2011

Lantunan Doa di Ujung Senja


Lantunan basmalah masih slalu ku lafadzkan mengiringi awalan langkah tuk menuju tanah pendidikan yang selama ini ku impikan, tanah yang di satu sisi merupakan rentetan tangga tuk dapatkan piala kemenangan namun di sisi lain juga kan mengobarkan api peperangan apabila tak berpegang teguh pada ajaran Allah SWT. Kali ini saat sang Surya berada pada seperempat perjalanannya menuju ufuk barat, tlah ku sudahkan sujudku di salah satu musholla kampus yang akan mengaliri ilmu untukku. Dengan senyum dan semangat yang tak pernah tersurutkan, kakiku berlalu mengitari jalan yang dikelilingi oleh bunga – bunga mekar, semekar bebungaan yang kini singgah di hatiku dan sesekali bergelayutan oleh sapuan sepoi angin pagi, sungguh sejuk memang hingga membuat diri ini di aliri oleh suasana kesejukan pula. Permainan takdir memang masih berpihak padaku, yang mengantarkanku untuk bisa mencicipi pahit dan manisnya bangku perkuliahan di salah satu Universitas di semarang. Langkahku kian merangkak dipenuhi oleh energi positif yang menggebu dalam hati, hingga dalam binar mata pun  kini tlah tercermin sebuah gedung besar nan megah, dimana ratusan insan yang dianugrahi nikmat kepandaian berkumbul di dalamnya. Tepat sekali, mereka adalah para penerima beasiswa yang diprogramkan oleh pemerintah. Sungguh memasuki ruangan itu serasa seperti seorang pejabat yang disambut ramah dikalangan tatanan negara. Sangat terenyuh hingga sesak dadaku memendam rasa kesyukuran tatkala bola mata menyorot papan tulisan “ Penyerahan Beasiswa Berprestasi”.

 
“ Silahkan masuk mbak!” Sapa salah seorang yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, seraya menunjukkan sebuah kursi yang masih kosong. Hingga senyum kami pun tersungging berbarengan, dan larut dalam keramahan.
“Assalamu alaikum” Mulutku berucap kalimat sebuah doa namun kali ini bukan kepada perempuan yang menyambutku tempo detik yang lalu, melainkan seseorang yang kini bersanding posisi duduk dengan diriku.
“Wa’alaikum salam.” Jawabnya penuh hangat, namun sepertinya senyum penuh tanda tanya masih mengekori. Dan terbalaslah senyum itu setelah aku berganti mengumbarkan senyum keramahan.
“Keseimbangan antara usaha dan doa.” Tuturnya mengawali sebuah topik pembicaraan.
“Kamu benar, jawaban dari sebuah perjuangan dan doa, sekaligus campur tangan Allah.”
“Bijak sekali pernyataanmu, oh ya aku Anisah.” Juluran tangan seakan menarik sebuah permintaan pertemanan yang kini terawali oleh senandung perkenalan hingga bergema meraungi ruangan itu, namun hanya kami berdua saja yang mendengarnya.
“Aku Mala, lengkapnya Kemala tapi cukup panggil Mala aja.”
Terselip kata – kata bertele yang bernada guyon, maksudku hanya berniat untuk mengakrabkan kawan pertama yang ku kenal di kampus ini saja. Pembicaraan pun mulai mengalir, mulai dari melepas tanya dan menarik jawab mengenai diri pribadi kami masing – masing, berbagi cerita ringan hingga saling melempar candaan kecil. Akhirnya ukhuwah awal itu pun harus terpending oleh sambutan Bapak Rektor.  Namun tersadar sebenarnya aku tak fokus dengan nada - nada nasehat dan pernyataan yang disampaikan oleh beliau walau suaranya menggelegar memenuhi seluruh volume ruangan yang sekarang ku singgahi ini. Mata telanjangku yang masih lugu kian berotasi menerawang ke setiap sudut ruangan, serasa menghadiri malam penganugerahan karya terbaik dari insan – insan yang terbaik pula. Dulu aku beranggapan beasiswa layaknya mahkota di pucuk menara tertinggi yang tak mungkin untuk ku raih. Namun sekarang anggapan tersebut sudah tidak berlaku, karena takdir sudah menabur benih – benih kebahagiaan di ladang kehidupanku, melalui peraihan beasiswa itu. Sungguh Allah tlah membukakan lorong gelap masa depan menjadi sebuah jembatan emas yang kan mengantarkanku pada lika liku dunia yang lebih baik lagi. Genangan di pelupuk mata pun kian menebal dan perlahan – lahan memecah membanjiri pipi dalam satu aliran.
“Air mata kesyukuran... tapi dunia itu tak butuh itu Mal, malah ia kan memertawakanmu karena air matamu itu,  air mata adalah identitas kelemahan seseorang. Mari piaskan senyum perjuanganmu untuk mempertahankan apa yang kamu raih sekarang dan untuk menjemput cerahnya masa depan.” Disebrangkannya selembar tisu ke tanganku, sedetik tisupun basah oleh air mata. Setelah ku usapkan pada aliran tetesan yang keluar dari mataku.
“Kamu benar Nis, tapi maaf aku tak bicara soal dunia, aku bicara tentang-Nya, aku mengingat-Nya, mengingat nikmat yang Ia beriakan, lalu aku mengingat seseorang yang setiap saat sang Surya bersinar ataupun tertutup oleh malam selalu mendoakan anaknya. Hingga air mata syukur dan haru pun sudah sewajarnya terjatuh. Darinya ku akan mulai mengukir senyum perjuangan, untuk ibu ku tercinta.”
Begitu mengalir isi hati ini tercurah kepadanya, padahal baru berapa menit saja ku mengenalnya. Tlah ku rasakan Anisah memang mempunyai pemikiran yang berbeda dengan teman – teman terdahulu yang hanya bisa melecutkan keluhan ataupun melambungkan angan melebihi kemampuan. Cerdas dan realitas, diriku menggambarkan sosok yang sedari tadi berada disampingku itu, hingga aku pun slalu bersemangat menangggapi pembicaraan yang ia lucutkan padaku. Walau sudah dirasakan terkadang pandangan kami berbeda tentang sesuatu, tapi dimana letak perbedaan tersebut ku belum dapat menemukan titiknya.
Tiba – tiba memoriku melayang tak terarah hingga berhentilah pada satu titik kepahitan sebulan yang lalu.
Masih terekam erat saat duri – duri takdir menyusupi hidupku, rantai cita pun seakan terputus, bukan mulut yang berucap sakit bukan pula hati mengeluh pedih. Tapi ragaku akankah bisa setegak dulu, saat ku kobarkan impian walaupun tertatih – tatih akan tetap ku raih. saat itu pun ku rasakan musuh dan kawan manusia itu kian nyata. Ingin ku berteriak ialah musuh hidupku, karenanya tersobek- sobek lah sebuah catatan sederhana dari makhluk kecil sepertiku yang mencoba meneriakkan impiannya dengan sebuah pena harapan. Hingga ku tekadkan untuk menaiki satu persatu tangga impian itu namun akar – akar kenyataan pahit kembali menjerat langkahku, hingga kakiku pun seakan tak dapat bergerak.
              “ Kenapa kau hentikan langkahku, bagaimana aku bisa menaiki tangga ke seratus sementara tangga pertama saja ku tak bisa” Lalu seakan terjawab sudah protesku.
              “ Kau harus mengalahkannya, untuk bisa menaiki tangga itu agar bisa memasuki sebuah tanah pendidikan yang derajatnya lebih tinggi.”
              “ Mengalahkannya???” Batinku semakin bertanya – tanya , bukankah ia tak hidup lalu kenapa aku harus mengalahkannya? Dan ternyata keberadaan makhluk itu sangat jauh dariku, tanpa ada keraguan sedikitpun aku mencoba untuk terus menggeserkan langkahku untuk bisa menjajarkan tapakanku dengan musuh yang paling ku benci itu. Lambat laun semakin redup semangatku, aku menyerah...baru setengah perjalanan. Kesal, amarah mulai merasuki peredaran darah. Dan ternyata perjuanganku pun hanya berbuah kepasrahan.
“ Ibu sangat bangga sama kamu Mala, tapi ibu juga merasa sedih dan kecewa tak dapat memenuhi janji ibu.” Tersirat duka dari raut muka seorang wanita yang selalu ku hormati itu, di pucuk bola matanya tergumpal cairan bening yang melukiskan parasku, hingga cairan itu pun perlahan menetes searah dengan penyesalannya.
            “Kenapa ibu nangis. Maafin Mala kalau Mala salah Bu?” ikatan batin seorang ibu dan anak memang selalu erat hingga rintikan yang mengalir dari mata ibu pun selalu dapat ku rasakan kepedihannya. Tanganku mendekapnya hingga di tengah – tengah kegetiran masih dapat kurasakan kedamaian.
              “Ibu yang seharusnya minta maaf tlah mempupuskan cita – cita kamu, karena ibu nggak sanggup membiayai kamu ke perguruan tinggi.” Tanpa sadar dekapan eratku pada ibu spontan terlepas hingga ku rasakan hembusan nafas bersalah dari beliau, memang kebahagiaan terbesar seorang ibu adalah ketika melihat anaknya bahagia dan akan melakukan apapun tuk menjemput kebahagiaan itu, tapi kini ia tlah gagal untuk menghadirkan kebahagiaan untuk anaknya. Mungkin pikiran ibu saat itu. Tapi sedikitpun aku tak pernah berfikiran kalau ibu tak membahagiakanku hanya karena tak sanggup membiayaiku sekolah, justru pada saat ini lah aku harus membalas semua jasa – jasanya dengan memberikan kebahagiakan untuk orang yang sangat berharga dalam hidupku itu. Walau tak mempungkiri sesal dalam hati sebenarnya tak dapat ku reda, tlah ku dengar berulang kali pernyataannya “Apa saja akan ibu lakukan lakukan untuk bisa menyekolahkan kamu sampai kamu jadi orang sukses” Kata – kata tersebut yang sebenarnya kini menuntutku untuk mengeluarkan air mata kekecewaan. Tapi diri ini juga harus segera sadar diri dan tak ingin menuntut apa yang melebihi kemampuan sebagai manusia biasa yang tak dianugerahi kelebihan materi. Toh kesuksesan juga tak hanya bisa di raih oleh insan yang pernah singgah di bangku kuliah.
            “ Nggak apa - apa bu, Mala rela karena Mala nggak mau terus – terusan membebani ibu, semenjak Abah mengukir senyum untuk meninggalkan dunia ini Mala udah bertekad untuk membuat ibu tersenyum bukan malah menangis seperti ini.” Dekapan hangat itu pun kembali ku rasakan, kali ini seluruh badanku terasa bergetar karena menahan kekecewaan, kekecewaan yang mengkaiskan cita – citaku namun ku juga tak ingin mengakarkan kekecewaan itu pada ibu, cukup diriku saja yang tahu dan merasakannya. Namun semakin lama  tak kunjung ku bisa mengontrol perasaan yang berkecamuk dalam jiwa. Sudah ku coba untuk menghembuskan nafas kerelaan namun protes pun semakin menjadi – jadi dalam pergejolakan di dinding – dinding hati.
            “Mengapa harus ia, makhluk tak hidup yang menjadi hantu dunia dan kini menjadi musuhku. Mengapa harus ia yang menjadi kunci utama untuk membuka pintu gerbang pendidikan itu. Dan mengapa aku harus dilahirkan dalam kondisi jarak yang jauh dari dia. Andaikan tidak, pasti posisiku sudah dekat dengan segala yang ku raih dan rantai citaku pun pasti tak kan putus.”
Astaghfirullah aladzim...segera ku sebut nama-Nya, sebagai seorang muslim harusnya ku tak berkata demikian. Ini memang sudah menjadi jalan hidup bagiku. Tak sepantasnya aku berkeluh kesah terhadap takdir yang Ia berikan.
              Saat sinar alami itu tengah berada di ufuk timur ku coba ayunkan langkah meninggalkan sebuah bangunan rumah yang berukuran tidak terlalu besar itu yang sudah ku tempati selama berpuluh – puluh tahun. Kakiku mengakar sejauh langkah ingin menapak, mencoba merefreshkan diri saat senja mulai menyapa ditemani dengan sebuah lantunan doa yang ku lafadzkan agar satu keajaiban terjadi dan kan mengantarkanku pada tanah pendidikan yang selalu bertahta pada puncak asa ku. Kini posisiku melewati jalanan kecil yang biasa ku lewati saat masa sekolah dulu. Jalanan sempit dengan banyak tanaman di samping kanan kirinya, jalan inilah yang senantiasa merekam memori senyum bahagiaku beserta teman – teman SMA. Kini seakan bayang – bayang teman yang sedari dulu menemaniku berjalan melewati tempat yang sedang ku tapaki dan semakin ku tangkap dalam kedua bola mata.
            “ Mala...” Kontras lamunanku buyar oleh desir suara yang sangat ku kenal, suara seseorang yang sedari tadi tertangkap oleh kedua bola mataku dan kini bayangan itupun kian medekat.
            “ Nabila??” Ucapku padanya walaupun sebenarnya pikiran ini pada masa yang tak terfokus, namun mataku dan pengingatanku masih dapat merekam jelas dan mengenali siapa orang yang tengah berjalan dan kian mendekatiku. Dengan sigap teman seperjuangan selama tiga tahun itu menyambut pertemuan yang tak sengaja ini dengan salam dan jabatan persahabatan yang  menggambarkan keakraban kami.
“Mala.. Kamu gimana kabarnya?“ Tuturnya dengan wajah girang, mungkin karena memang sudah sebulan lebih raga kami tak pernah bertemu semenjak liburan akhir tahun.
“Baik kok, kamu sendiri gimana?” Ku coba imbangi pertanyaan Nabila, walau sebenarnya diri ini masih enggan untuk menggetarkan pita suara karena suasana hati masih terbawa pada masalah tadi siang.
“ Sebulan nggak ketemu ada banyak hal yang pengen ku ceritain nih Mal, oh ya kamu mau ngelanjutin study kemana?”
Saat diri ini sudah perlahan – lahan menghapuskan masalah yang ku dera tapi lagi – lagi pertanyaan yang memojokkan itu yang harus slalu ku dengar. Hanya senyum yang bisa ku piaskan.
             “ Kamu tuh gampang Mal, nilai kamu bagus...pinter, perguruan tinggi mana yang mau menolak kehadiranmu,heee” Canda Nabila yang semakin membuat api peperangan di batin ini kian berkobar. Ingin ku berteriak semua itu SALAH!! Siapa bilang aku bisa menimba ilmu di perguruan tinngi manapun yang ku inginkan. Tidak... bukan karena kepandaian yang Ia anugerahkan kepadaku, bukan pula keistiqomahanku dalam setiap menjalankan sesuatu yang ku inginkan di jalan-Nya. Tapi uanglah yang menentukan segala sesuatunya. Satu –satunya kunci tuk membuka gerbang pendidikan. Uang..ya aku menyebutnya sebagai hantu dunia.
              “Kemala Az Zaahra...”
              “Kemala Az Zahra...”
              “Iya Pak, saya...” Keleluasaan dalam mengulas peristiwa yang lalu dalam bayangan pun seketika buyar, sepertinya Bapak Rektor telah memanggil namaku, aku masih sempat mendengar kata – kata yang beliau ucapkan walaupun pikiranku sedari tadi menjelajahi memory pahit itu.
              “Nis ada apa??” Ku mencoba menegaskan maksud perintah dari bapak Rektor dengan bertanya kepada Anisah, mungkin saja aku salah pengertian karena ketidakfokusan dalam mendengarkan sambutan dari orang pertama di kampus itu.
              “Udah ke depan aja..” Jawabnya dengan memberi senyum kesemangatan.
Aku pun menuruti perkataannya walau sebenarnya diri ini belum tahu benar apa peranku hingga mendapat kesempatan khusus untuk bisa bersanding sejajar dengan seorang Rektor. Dengan mantap ku langkahkan kaki menuju panggung disertai degan riuh tepuk tangan semua orang yang yang berada di ruangan tersebut. Mala, Kemala Az Zahra ternyata aku menjadi perwakilan dari barisan putri dalam penyerahan beasiswa, posisiku kini sudah berada di depan teman – teman seperjuangan penerima beasiswa. Sungguh suatu posisi yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Kemudian tlah ku pegang sebuah gabus sebagai simbolis penghargaan yang bertuliskan “Penerima Beasiswa” yang diberikan oleh salah satu perwakilan dari dinas pendidikan pusat. Aku pun disempatkan untuk menyampaikan sepatah kata untuk mewakili teman – teman.
              “Banyak orang berkata kecerdasan adalah kunci utama untuk bisa mendapatkan apa yang kita raih sekarang ini. Tapi kalau kita renungkan lebih dalam pernyataan tersebut tak sepenuhnya benar. Kecerdasan hanyalah sebuah titik awal dari pencapain semua ini, selebihnya adalah niat, perjuangan, dan pengorbanan yang kita lakukan. Piala kemenangan hanya akan dipegang oleh orang – orang yang yakin, orang – orang yang mempunyai mimpi, dan mau bertindak untuk meraih mimpi itu. Dan satu lagi keridhoaan Allah SWT. Secerdas apapun kita, seberat apapun perjuangan dan pengorbanan kita, itu semua tak kan berarti tanpa adanya keridhoan dari-Nya. Sebaliknya jika ia berkehendak maka apapun dapat terjadi. Seperti apa yang kita rasakan sekarang, Allah berkata jadiah ia maka jadilah ia. Kehendak-Nya tlah diperuntukan bagi kita sekarang dan inilah jawaban dari usaha, doa, perjuangan dan pengorbanan kita selama ini. Subhanallah... ini adalah nikmat terbesar, kita wajib mensyukurinya.”  Terdengar tepuk tangan riuh rendah yang menggema dalam ruangan itu.
Rintikan air mata pun tak terasa tlah mengalir di pipi, sejenak keramaian di ruangan itu berubah menjadi sepi dalam keharuan, tak hanya air mataku yang menetes tapi mereka juga, teman – temanku perempuan yang lain , memang benar pernyataan yang menyatakan sifat seorang wanita yang lebih sensitif. Mungkin mereka juga satu perasaan denganku, kepasrahan yang sempat memutuskan rantai cita kini akhirnya dapat mereka tegakkan kembali oleh kehendak Sang Pencipta yang Maha Adil.
Tapi ini lah air mata perjuangan kami, masih banyak lagi catatan yang harus kami ukir un tuk menuju cita – cita yang sebenarnya, untuk agama dan negara. Tlah disebutkan bahwa peran kami disini tak hanya untuk menuntut ilmu, memanfaatkan dari ilmu itu, dan menghasilkan sesuatu dari ilmu yang diperoleh. Namun pernyataan lebih spesifiknya dan yang diharapkan adalah memberikan perubahan positif dari ilmu yang kami dapatkan, tidak hanya untuk kebahagiaan pribadi tapi lebih kepada kesejahteraan umat. Subhanallah... inilah yang harus menjadi motivasiku, tlah ku tancapkan dalam hati, Allah memberiku karunia terbesar bukan tanpa maksud, mungkin inilah hidayah apabila ku dapat memanfaatkannya untuk hal yang positif namun bisa jadi menjadi musibah ketika aku tak sanggup menjalankan amanatnya, memang semua ini hanyalah titipan dari Sang Illahi.
* * *
Hari bergulir dengan cepat, mataharipun telah keluar dari persembunyiannya berganti fajar menyapa dengan kilau senja. Hingga senja itu pun memecah, memudar menjadi sinar – sinar terang yang menyinari bumi. Detik ini Aku, Kemala Az Zahra tlah memproklamirkan diri sebagai mahasiswi yang merdeka, kan menuntut ilmu di jalan Allah dan menghapuskan segala kemalasan yang kan dapat memutuskan rantai cinta - citaku.
Hari pertama perkuliahan, hari pertama ku akan berinteraksi dengan dosen setelah tiga hari menjalani tahap – tahap perkenalan kampus, sekaligus teman – teman yang kan menjadi teman rombelku selama satu semester kedepan. Kini tapakanku sudah berada di tanah pendidikan itu. Menaiki beberapa anak tangga yang kan mengantarkanku ke ruang kuliah lantai tiga. Terselip rasa minder yang teramat dalam kala ku sorotkan pandangan menelusuri satu per satu objek manusia yang berjalan disekeliling. Mereka nampak berjalan dengan penuh percaya diri dan berbalutkan busana yang mencerminkan anak kota. Sementara diriku? “Akankah aku bisa beradaptasi dengan mereka?” Ah... segera ku lenyapkan perasaan itu. Sebagai seorang mahasiswa muslim yang beriman dan berintelektual harusnya aku bisa menganggap kampus bukanlah ajang untuk pamer gaya, melainkan guna menuntut ilmu. Jadi tak sepantasnya aku merasa minder soal pergaulan ataupun balutan busana tetapi akan minder kalau tak mempunyai iman dan ilmu.
            Setiap langkah yang ku ayunkan, tlah ku coba untuk mempiaskan senyum kepada semua orang yang tersentuh oleh pandangku. Walau tersadar respon tak sesuai dengan harapan. Kebanyakan dari mereka malah acuh dan bersikap dingin. Hingga setelah sampai di kelas pun hanya untuk berobral kata sangat sulit sekali, padahal aku sudah mencoba untuk menempatkan diri sebagamana mestinya. Sesekali ku mencoba untuk bergabung dengan salah satu dari mereka, namun kebanyakan dari mereka sepertinya tidak welcome dengan kehadiranku. Aku dapat merasakan sinergi mana yang dapat menerima hadirku dan sinergi mana yang tidak menginginkan kehadiranku. Akhirnya aku pun sering memilih untuk tidak meneruskan kelana dalam mencari kawan, lebih baik aku yang menderita dari pada orang lain yang menderita karena diriku. Aku merasa aku tlah gagal beradaptasi. Hanya Anisah yang nampak sehati dengan diriku. Tapi keberadaannnya kini, aku sama sekali tak mengetahuianya. Saking menikmati pembicaraan tempo hari yang lalu saat penerimaan beasiswa, aku pun lupa menayakan kontak yang bisa ku hubungi. Setahuku Anisah memang satu fakultas. Tapi kenapa sampai sekarang aku tak menemuai sosoknya untuk kedua kali. Hingga sekarang kalender melompat ke tanggal 1, 2, 3, 4 tak jua ku temukan kawan pertamaku itu.
Hari – hari ku lalui seorang diri, hanya dengan beberapa orang yang sehari ku kenal namun hari berikutnya seperti orang yang sama sekali tak mengenaliku. Ibarat teman yang datang hanya saat ada kepentingan saja. Jika dulu teman – temanku selalu berkata kalau aku adalah orang yang pandai beradaptasi, mampu menyesuaikan diri dalam situasi apapun. Tetapi tidak untuk kali ini, mungkin kalau mereka melihat keadaanku saat ini, akan dicopotnya prediksi tersebut. Kekecewaanku pun  kini semakin mengakar ketika seminggu lebih tak  ku dapati teman bersama. Dan ironis, entah mengapa saat mereka mendengar langkahku terburu mereka menghilang, saat ku daratkan tubuhku ke salah satu bangku sontak mereka menghindariku. Bahkan setiap ku berjalan tak asing  terdengar ledekan – ledekan kecil yang menyudutkanku. Sering ku berfikir...
“Apakah yang aneh dariku, apakah ada yang salah dengan pribadiku, hingga mereka seakan menganggapku sebagai benalu.”
Saat itu dengan tenang aku berjalan menaiki anak tangga, seperti biasanya hanya seorang diri, tlah ku temui posisi yang tidak mengenakkan hati, segerombolan cowok nampak memenuhi pelataran anak tangga, dengan gape mereka memainkan asap rokok yang yang sedang dihirupnya, padahal sudah jelas – jelas dengan tegas pula dilarang merokok di area kampus. Tapi dasarnya anak muda selalu menganggap peraturan dibuat untuk dilanggar. Hingga sesaat kemudian..
            “Minggir..minggir beri tempat anak santri mau lewat.”
            Tukas salah seorang dari segerombolan itu.
            “Wah..wah..wah..jebolan dari pesantren kali ya, ha ha..”
            Tak pernah ku hiraukan celotehan dari orang – orang yang tak penting tersebut, pandanganku hanya menunduk, tak ingin bersentuh pandang dengan tatapan yang memancarkan kengerian itu, secara langsung aku pun berlalu di hadapan mereka. Tanpa diduga sebelumnya salah seorang cowok mencoba meraih tanganku, mungkin terselip rasa sebal karena yang digodanya tak bergeming dan tak memberi respons. Dengan sigap ku kibaskan tangannya, sikap mereka memang sudah keterlaluan, sama sekali tak menghargai perempuan.
            “Jaga perilaku donk...mungkin hal ini sudah terbiasa bagi kalian, tapi tidak denganku.”
            “Baru dipegang aja udah sewot, apalagi dijamah.”
            “Astaghfirullah adzim..ngakunya mahasiswa tapi omongannya sama sekali tidak mencerminkan.” Mukaku menyedutkan emosi, namun segera ku stabilkan. Sikap mereka memang sudah benar – benar keterlaluan, tlah menodai balutan busana yang menutup auratku, padahal dengan pakaian taqwa yang selama ini ku kenakan  takkan pernah ada satu lelakipun yang berani menyentuh. Tak mau menyulutkan emosi yang kan memperpanjang deretan dosa, aku pun berlalu menjauhi orang – orang yang merugi itu.
            “Pantas saja nggak punya teman.”
            Terdengar tawa ledekan yang semakin menggema dari mereka.
Ya Allah apa yang salah dengan diri ini, apa kampus ini hanya diperuntukkan bagi orang – orang yang mendapat titipan berupa materi, tidak seperti diriku ini atau karena penampilanku yang tak bisa diterima oleh anak gaul seperti mereka. Dan haruskah ku mengubah pribadiku demi bisa mensejajarkan kaki dengan mereka? Tidak...aku harus bangga dengan apa yang aku punya sekarang. Karena tujuanku kesini hanya untuk menuntut ilmu, karena kampus bukanlah suatu tempat untuk ajang gaya atau pamer. Dan aku harus teguh pada tujuan muliaku, walau perlahan – lahan beban ini membuat konsentrasi akan niatku buyar.
            “Ya Allah..kuatkan hamba-Mu ini.” Tak terasa ku teteskan butiran bening dari mata. Saat sedari tadi mencoba menerobos celah – celah pertahananku.
Kusandarkan tubuh di kursi yang tak perpenghuni itu.
“Mala..” Ku dengar suara bernada lembut memanggilku, segera ku menoleh pelan setelah pundakku tersentuh oleh sebuah gesekan tangan dan kakiku pun terhentikan oleh suara yang sepertinya sudah ku kenali itu. Betapa terkejutnya diriku mendapati sosok yang kini berdiri tepat dibelakangku.
            “Anisah...” Desahku dan segera memeluknya, kawan baru namun sudah ku sebut sebagai kawan sehati.
            “Alhamdulillah ternyata Allah masih mempertemukan kita.” Ungkapnya dengan ekspresi yang tak lepas dari senyum girangnya itu.
            “Aku pikir luasnya kampus ini dan beribu – ribu orang yang menghuninya, sangat sulit bagi kita untuk saling bertemu raga kembali tapi ternyata Tuhan tlah berkehendak lain dan takdir masih berpihak kepada kita hingga kita bisa bersentuh pandang lagi.”
            “Bodohnya kita waktu itu nggak sempat berkenalan lebih jauh malah nampak asyik dengan pembicaraan yang menyenangkan itu. Tapi syukurlah Allah tlah mendengar doaku dan mempertemukan kita kembali dalam keadaan bahagia.”
            “Kamu benar Mal, aku sangat bahagia, entah mengapa kebahagiaan ini menjalar begitu saja hingga memaksaku untuk terus mengukir senyum.” Kami pun tertawa bersama, larut dalam lantunan nada pertemanan yang kini kan mulai kami senandungkan menjadi sebuah lagu persaudaraan antara kami berdua selamanya.
            “Yang penting sekarang tapakan kita sudah bersanding sejajar.”
            “Yap... untuk mengukir prestasi dan tetap di jalan Ilahi.” Tambahku melengkapi perkataan Anisah.
            Sungguh fluktuatif  takdir yang mewarnai hidupku, pertama anugerah terindah itu disuguhkan dengan megah padaku melalui beasiswa yang ku peroleh dan anugerah itu kian merambat ketika ku dipertemukan dengan kawan seperjuangan, namun kemudian di tengah – tengahnya sebuah duri seakan menancap karena lingkungan dan teman yang sangat tidak bersahabat dan kini kemekaran bunga tlah ku raih kembali diantara tancapan duri – duri yang menghiasi. Disampingku masih ada sosok Anisah walaupun lingkungan dan teman yang tak bersahabat itu masih tetap mengekoriku. Setidaknya masih ada peristirahatan dari bebanku itu dan masih ada kawan tuk berbagai cerita dengan semangat dan motivasi yang nantinya akan dialirkan oleh Anisah.
            “Mal ke kantin yuk...” Pinta Anisah mendahului langkahku dan diraihnya salah satu tangan yang sedari tadi ku lipatkan diatas dada.
            “Eh udah adzan kan, mending laksanain kewajiban kita dulu baru penuhi hak perut kita, okey...”
            “Kan masih jam 12 Mala, masih panjang kan waktunya.” Rengeknya seraya memegangi perut yang sepertinya sudah mendendangkan rasa laparnya.
            “Darimana kamu tahu kkalau waktu kita masih panjang, kalau ternyata tiba – tiba Allah memanggilmu, bukankah penyesalan yang akan datang?”
“Ih Mala kok gitu sih, ingat ucapan itu adalah doa“
“Bukan maksud tuk mendoakan tapi mengingatkan.” Tegasku tanpa sedilkitpun ada niatan untuk mengguruinya apalagi menhakiminya.
“Iya iya kita shalat dulu, ayo...” Sontak ia meraih tanganku dan menyeret langkahku ke arah musholla. Energi positifnya menggebu – nggebu.
Sesampainya di rumah Allah, ku hapuskan garis lelah dengan basuhan air wudhlu. Serasa sejuk nan damai mengukir di ssaanubariku. Di atas sajadah yang berpatenkan ke arah kiblat, ku bersujud menghadap sang Illahi untuk menuju muhasabah diri dan senantiasa menghembuskan nafas kesyukuran.
            “Mal sepertinya aku perlu belajar banyak dari kamu.” Tutur Anisah usai menunaikan kewajiban dari seorang hamba kepada penciptanya. Sementara diriku hanya mengernyitkan dahi dan membelalakkan mata karena kurang menangkap makna dari ucapannya.
            “Belajar menjadi seorang hamba yang lebih baik lagi di hadapan Allah.” Terang Anisah menjelaskan, seketika bibirku mengumbar senyum penuh arti, merasakan satu energi kami menyatu untuk menuju suatu perubahan tuk meraih ridho illahi.
            “Aku juga seorang yang biasa Nis, masih banyak dosa yang harus ku pertanggungjawabkan. Dari sini kita kan belajar bersama untuk memperkuat akidah kita.”
            Kami saling memandang dengan pancaran yang berkaca – kaca, menghadirkan cahaya cinta Allah yang selalu terukir di kehidupan kami. Dulu aku merasakan suatu keganjalan mengenai pandangan hidup kami. Namun kini aku tlah menemukannya dimana letak ganjalan tersebut dan mulai sekarang aku kan berusaha untuk menyatukannya.
Sebuah ikatan persaudaraan hamba Allah tak harus dimualai oleh dua insan yang mempunyai latar belakang kehidupan yang sama. Aku berasal dari tanah yang kurang kerikil materi sementara Anisah berasal dari tanah yang berkecukupan oleh kerikil materi. Dan aku menapakkan kaki ditanah yang subur oleh air kasih sayang sementara Anisah menapakkan kaki ditanah yang gersang oleh kasih sayang. Tetapi kini kami dipersatukan di tanah pendidikan ini untuk senantiasa melecutkan panah perjuangan menuju perubahan yang luar biasa. Insya Allah...
            “Dulu aku beranggapan dengan menjalankan kewajiban pokokku kepada-Nya sudah cukup bagiku untuk menjadi seoarang hamba yang mematuhi perintah-Nya. Tapi ternyata masih banyak yang harus ku sempurnakan.”
Aku hanya tersenyum menatap Anisah. Kali ini kami benar – benar terlarut dalam kebersamaan, rasanya tlah mengenal ia selama bertahun – tahun, padahal masih dalam hitungan hari saja. Ternyata rencana Allah sungguh indah, ia tlah memberiku hidayah untuk terus memperbaiki diri, selalu ku rasakan betapa besar nikmat yang Ia berikan kepada hamba – hamba-Nya yang mau berusaha. Tlah ku patenkan dalam hati, ku akan menuntut ilmu di jalan-Nya.
Inilah jalan takdir yang Ia berikan, mungkin sebuah jembatan bagiku untuk menemukan sinar hidayah itu. Allah berkata jadilah maka terjadilah. Ia tlah menjawab lantunan doa ku di ujung senja, yang senantisa ku panjatkan pada-Nya.

* * *

Pengirim   
Nama               : Lilis Septiarini
Prodi                : Pendidikan Ekonomi
Alamat Kos      : Gg. Pisang “Shafia Abdil Mutholib”
No HP             : 085742254522