Minggu, 07 Februari 2010

Sutrah dalam Shalat


Apa itu sutrah?

Sutrah berarti pembatas, yang dimaksud dengan sutrah adalah pembatas yang diletakkan di depan mushalli untuk menjaga shalatnya dari kekurangan atau pemutusan.

Disyariatkannya sutrah

Berdasarkan sunnah qauliyah dan fi’liyah dari Rasulullah saw. Dari Abu Said al-Khudri berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian shalat maka hendaknya dia shalat ke sutrah dan hendaknya dia mendekat kepadanya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Juhaifah bahwa Nabi saw menancapkan tombak pendek, beliau shalat kepadanya sementara keledai, anjing dan wanita lewat di depannya dan beliau tidak mencegah.

Untuk siapa sutrah disyariatkan?


Untuk imam dan munfarid, adapun makmum maka sutrahnya adalah sutrah imam, Imam al-Bukhari menulis sebuah bab dalam Shahihnya, “Bab Sutrah al-Imam Sutrah man Khalfahu.” Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas berkata, “Aku datang mengendarai keledai betina, pada saat itu usiaku mendekati dewasa sementara Rasulullah saw shalat dengan manusia di Mina tanpa menghadap ke dinding, lalu aku melewati sebagain shaf, aku turun dan melepaskan keledai, aku masuk ke shaf dan tidak seorang pun yang mengingkariku.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lainnya.

Mendekat kepada sutrah

Berdasarkan hadits Abu Said di atas, “Dan hendaknya dia mendekat kepadanya.” Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Saad berkata, “Jarak antara tempat berdiri Rasulullah saw dengan dinding adalah selebar jalan bagi domba untuk lewat.” Dalam kitab al-Muhadzdzab disebutkan, kurang lebih tiga hasta.

Apa yang dijadikan sebagai sutrah?

Imam Muslim meriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidullah berkata, Nabi saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian meletakkan seperti sandaran pelana di hadapannya maka silakan dia shalat dan tidak perlu memperdulikan siapa yang lewat di balik itu.”

Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang shahih menurut Imam an-Nawawi dari Atha` bin Abu Rabah, salah seorang tabiin, berkata, “Sandaran pelana kurang lebih satu hasta.”

Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ 3/248 berkata, “Sutrah yang dianggap adalah sutrah dengan tinggi sandaran pelana, adapun besarnya maka tidak ada patokan berdasarkan hadits Sabrah bin Ma’bad bahwa Nabi saw bersabda, “Gunakanlah sutrah dalam shalat sekali pun hanya dengan anak panah.” Diriwayatkan oleh al-Hakim, dia berkata, ‘Shahih di atas syarat Muslim’.

Imam Malik berkata, minimal seperti tombak pendek berdasarkan hadits Abu Juhaifah di atas. Wallahu a'lam.

Garis shaf atau ujung sajadah sebagai sutrah?

Masalah ini kembali kepada hadits Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian shalat maka hendaknya dia meletakkan sesuatu di hadapannya, jika tidak mendapatkan maka hendaknya dia menancapkan tongkat, jika dia tidak mempunyai tongkat maka hendaknya dia membuat garis, maka apa yang lewat di depannya tidak merugikannya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad.

Shahih tidaknya hadits ini diperdebatkan, Imam asy-Syafi'i, al-Baghawi dan Sufyan bin Uyainah menyatakannya dhaif, sementara Imam Ahmad, Ali bin al-Madini, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi menyatakannya shahih. Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hasan.”

Menurut pendapat yang menyatakan hadits ini dhaif, garis tidak bisa dijadikan sebagai sutrah dan ujung sajadah atau garis shaf sama dengan garis. Tetapi menurut pendapat yang menyatakannya shahih, garis mungkin dijadikan sebagai sutrah, namun sesuai dengan redaksi hadits hal itu berlaku manakala tidak ada selainnya untuk dijadikan sebagai sutrah. Wallahu a'lam. (Izzudin Karimi)