Jumat, 03 September 2010

Seputar I'tikaf

Kapan dimulai dan diakhiri waktu I’tikaf

I’tikaf dimulai ketika tenggelamnya matahari hari ke-20 pada bulan Ramadhan sebagaimana pendapat Jumhur ulama’. Berdalil bahwa dimulainya hari itu dengan tenggelamnya matahari. I’tikaf diakhiri dengan tenggelamnya matahari pada malam ‘Ied.

Batasan I’tikaf

Tidak ada batasan waktu tertentu untuk I’tikaf, begitu pula syari’at tidak membatasinya, dan ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama yang lainya. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hanifah sahnya i’tikaf walaupun hanya 1 jam.

Dan sebagaimana kisah Umar radhiyallahu ‘anhu :

كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Dahulu semasa jahiliyyah aku bernadzar untuk beri’tikaf sehari di Masjid Al Haram. Maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah nadzarmu” (Muttafaqun’alaih)

I’tikaf di luar Ramadhan

I’tikaf di luar Ramadhan diperbolehkan, sebagaimana kisah Umar t ketika bernadzar semasa jahiliyyahnya untuk beri’tikaf selama 1 hari di Masjid Al Haram akan tetapi yang disyari’atkan adalah di bulan Ramadhan, dan kaum muslimin tidak diperintahkan untuk beri’tikaf selain bulan Ramadhan.
I’tikaf di daerah lain

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukan syaddur rihal (perjalanan serius untuk tujuan ibadah) kecuali ke 3 masjid, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudry shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Janganlah kalian menempuh perjalanan yang jauh kecuali pada 3 masjid: Masjidku ini (Masjid An Nabawy), Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha”.(Muttafaqun’alaih)

Adapun selain 3 masjid di atas para ulama bersepakat tidak disyari’atkannya. Termasuk dalam hal ini i’tikaf. Tidak boleh bagi seseorang sengaja melakukan perjalanan ke masjid lain di luar daerahnya untuk melakukan i’tikaf di masjid tersebut, yang demikian termasuk syaddur rihal yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas.

Kecuali bagi seorang musafir yang ketika sampai di suatu tempat kemudian dia berniat untuk beri’tikaf di masjid di tempat tersebut tanpa ada niat sebelumnya sejak dari negerinya bahwa ia akan i’tikaf di masjid tersebut, maka yang demikian tidak mengapa.
Apa yang dilakukan oleh seorang yang beri’tikaf (mu’takif)?

1. Mengikhlaskan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .

2. Menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, memperbanyak shalat nawafil (sunnah), dan lain sebagainya.

3. Tidak menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna.

4. Tidak meninggalkan masjid kecuali untuk kebutuhan yang mendesak (dharury).

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :

“Tujuan i’tikaf adalah memutuskan diri dari berhubungan dengan manusia agar bisa konsentrasi beribadah kepada Allah di salah satu masjid, dalam rangka mencari keutamaan dan pahala dari-Nya, serta untuk mendapatkan lailatul qadar. Oleh karena itu selayaknya bagi seorang yang beri’itikaf untuk menyibukkan diri dengan dzikir, qira’ah, shalat, dan ibadah, serta menjauhi hal-hal yang tidak perlu seperti berbincang tentang urusan dunia. Dan tidak mengapa berbincang sedikit dengan pembicaraan yang mubah dengan keluarganya atau yang lainnya karena adanya mashlahah. Berdasarkan hadits dari Shafiyyah Ummul Mu`minin radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, maka aku mengunjungi beliau pada salah satu malam. Maka aku berbincang dengan beliau, kemudian aku berdiri untuk pulang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersamaku (mengantar). Muttafaqun ‘alaihi


Beberapa Fatwa Penting:

Bolehkan mu’takif (seorang yang beri’tikaf) mengajar atau menyampaikan pelajaran?

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab : Yang afdhal (lebih utama) bagi seorang mu’takif adalah dia menyibukkan diri dengan ibadah khusus, seperti dzikir, shalat, qira’atul qur’an, dan semisalnya. Namun jika memang ada keperluan untuk mengajari seseorang atau belajar, maka tidak mengapa. Karena yang demikian juga termasuk dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.
Bolehkah bagi mu’takif berhubungan dengan telepon untuk menyelesaikan urusan umat?

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :

“Ya boleh bagi seorang mu’takif untuk berhubungan dengan telepon guna menyelesaikan sebagian kebutuhan kaum muslimin, apabila telepon tersebut memang berada di masjid tempat dia beri’tikaf, karena dia tidak perlu keluar dari masjid. Namun apabila teleponnya berada di luar masjid, maka ia tidak boleh keluar untuk itu.

Menyelesaikan keperluan-keperluan kaum muslimin, apabila orang tersebut memang sangat terkait dengannya maka dia tidak perlu i’tikaf. Menyelesaikan keperluan-keperluan kaum muslimin lebih penting daripada i’tikaf, karena manfaatnya lebih banyak. Manfaat lebih banyak lebih utama daripada manfaat yang terbatas, kecuali jika manfaat terbatas tersebut merupakan kewajiban dalam Islam.”
Perhatian :

1. Hendaknya para mu’takif senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian masjid.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :

“Dengan tetap perhatian terhadap semangat untuk senantiasa menjaga kebersihan masjid dan waspada dari sebab-sebab yang bisa mengotori masjid, baik sisa-sisa makanan maupun yang lainnya. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku, sampai-sampai hanya sekedar kotoran yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Dan berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membangun masjid di tiap-tiap kampung/qabilah, kemudian hendaknya dibersihkan dan diberi wewangian.” diriwayatkan oleh “Al-Khamsah” kecuali An-Nasa`i, sanadnnya jayyid.”

2. Adapun hadits:

ومن اعتكف يوماً ابتغاء وجه الله ؛ جعل الله بينه وبين النار ثلاثة خنادق ، كل خندق أبعد ما بين الخافقين

“Barangsiapa yang beri’tikaf satu hari karena mengharap wajah Allah, maka Allah jadikan antara dia dengan neraka tiga parit. Masing-masing parit (lebarnya) lebih jauh daripada jarak dua ufuk.” (HR. Ath-Thabarani)

Adalah hadits yang dha’if (lemah). Pada sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Bisyr bin Salam Al-Bajali, dia adalah seorang perawi yang munkarul hadits, sebagaimana dikatan oleh Ibnu Abi Hatim, dan disepakati oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. (lihat Adh-Dha’ifah no. 5345).

Semoga amalan kita dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai amal shalih.

Amin Ya Mujibas Sa’ilin

Sumber:
http://rumahbelajarku.wordpress.com/2010/08/25/hal-hal-seputar-i%E2%80%99tikaf/