Gemuruh halilintar semakin berkejaran menemani pekatnya malam, seakan bertarung bersama derasnya hujan yang tumpah dari dinding – dinding langit yang murung. Kilatan sesekali menyambar bagai potretan foto yang diarahkan ke wajah bumi. Semuanya seperti pertarungan reaksi alam yang di guncah oleh sang Ilahi. Dengan menyeret langkah kaki yang dirasa tanpa tulang penegak itu, Laila kembali menarik garis wajah untuk membendung derasnya aliran yang pecah membanjiri pipi, bersama pula dengan deras tumpahan air dari langit yang kian mengguyur sekujur tubuh mungilnya. Badannya nampak lesu, langkahnya lambat tak bergairah. Tersadar keputusannya kini mampu memecahkan buliran – buliran yang menggenang di bola mata, bukan karena jeratan ketakutan pada kenyataan untuk menantang waktu melainkan kepasrahan untuk melepas diri dari tanah kelahirannya. Namun agaknya Laila memang kuat pada tekad dan pendirian yang ia yakini akan membawanya kepada tanah impian yang masih ada pada puncak menara penggapaian.
“Ya Allah...ridhoi langkah hamba meski tak selurus dengan jalanMu.”
Silsilah keluarganya memang dikenal sebagai sebuah keluarga yang berbekal agama yang sangat kuat, Abahnya seorang Kyai dan pemilik sebuah pesantren di Jawa Tengah walaupun belum bisa dikatakan tersohor. Sebuah pesantren yang turun temurun di kelola oleh keluarga yang sangat disegani di sebuah kampung kecil yang permai itu.
“Abah bangga terhadap prestasi yang kamu raih Laila.” Perbincangan di sebuah ruang tengah itu bermula dari pujian Sang abah terhadap prestasi anak satu – satunya itu. Sampai kelulusan SMA kini, Laila tetap bisa mempertahankan posisinya untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Meski kebanggaan tersebut agaknya ganjil karena sebuah keadaan yang sebenarnya tidak beliau inginkan. Sedari dulu beliau menginginkan anaknya agar mengecam pendidikan di Aliyah bukan di sekolah umum.
“Sudah abah pikirkan masalah pendidikan kamu Laila, sebuah prinsip hidup bahwa ilmu agama lebih penting dari pada ilmu dunia.” Seperti ada sebuah peniti kecil yang menyelip di balik dinding hatinya. Ia begitu tahu apa makna dalam kata – kata Abahnya yang seraya menjerat suasana keharmonisan sebuah keluarga kecil ini.
“Maaf Abah kalau selama ini Laila selalu menentang keputusan Abah. Tapi untuk kali ini pun rasanya Laila mempunyai jalan sendiri demi menjemput impian Laila.”
Laila, yang sepuluh tahun lalu pada saat sedang gencarnya krisis moneter, adalah seorang gadis kecil yang mempunyai mimpi tak hanya sejengkal tapi berjengkal – jengkal yakni menjadi seorang presiden, sepulang sekolah ia selalu melihat anak – anak seusianya berkeliaran di jalanan dengan wajah dan pakaian yang lusuh. Setelahnya ia pun selalu terdiam dan menyendiri dalam kamar, ternyata diamnya tersebut mempunyai arti . Namun dulu ia belum paham akan arti semua itu. Hingga perlahan – lahan pemikirannya pun semakin berkembang, hanya satu inginnnya yang tak ubah adalah menuntut keadilan untuk rakyat kecil, yang haknya tlah lenyap ditelan pemerintahan. Kata – kata pengacara di ranah hukum kian menggebu dalam hati dan kian berdendang keras di dalam gendang telinga. Meski ia hanya seorang wanita. Sang Abah pun sudah mengetahui akan cita – cita putrinya itu. Meski tak selurus dengan keinginan beliau sendiri.
“Jangan menggadaikan masa depanmu dengan sebuah cita – cita yang tidak mendapatkan berkah dari – Nya Laila.”
“Abah nggak berhak berbicara seperti itu. Berkah atau tidaknya hanya yang di atas yang tahu.”
“Tapi apa kau sanggup Laila, tentang sebuah keadilan itu. Sekalinya kau terlena maka tumpukan dosa yang akan menjeratmu.” Profesi seorang pengacara memang sangat sensitif dengan sebuah keadilan, betapa mahalnya harga sebuah keadilan di negeri ini, hanya karena sebuah kegilaan terhadap harta dunia. Sekalinya tergiur dengan yang dianggap harta itu maka suatu keadilan yang harusnya bertahta paling tinggi pada pendirian seorang pengacara pun akan langsung terjatuh tak berharga.
“Kamu anak satu – satunya Abah, penerus untuk mengelola pesantren ini.”
“Tapi Laila nggak butuh kedudukan itu Abah.”
“Lancang sekali kau berkata seperti itu Laila, Abah nggak berbicara soal kedudukan, Abah hanya butuh keikhlasan sumbangan tenaga dan pemikiran kamu untuk memajukan pesantren yang sudah dirintis oleh Mbah mu.”
“Tapi sekali lagi maaf Abah, Laila sudah punya jalan sendiri. Yang terpenting Laila masih tunduk pada ajaran-Nya.”
“Laila, langkah seorang anak tergantung pada ridho orang tua. Pesan umi turuti saja apa kata Abahmu.” Ibunya yang sedari melipat bibir untuk mengheningkan nasehat hatinya kini mulai menggetarkan pita suara untuk menengahi perselisihan antara seorang ayah dan anaknya.
“Sudahlah mungkin kamu butuh waktu untuk merenungi semua ini.”
Itulah kata – kata bijaksana yang mengakhiri perbincangan keluarga yang pada akhirnya berubah pada perselisihan. Meski kebijaksanaan itu tak mungkin bisa mengubah pendirian Laila.
Hingga malam setelah ia bersujud di atas sajadah seorang hamba yang berpatenkan ke arah kiblat, langsung ia putuskan untuk menemui Abahnya.
“Abah, tak ada sedikitpun niatan dalam hati kecil Laila untuk memelihara sikap menentang segala keputusan Abah. Tapi Laila juga mempunyai pendirian, Laila sudah bukan lagi dikatakan sebagai putri kecil. Dan sudah saatnya pula Laila memilih jalan sendiri.”
Tanpa dikatakan secara gamblang pun Laila pikir Abahnya sudah tahu dengan apa maksud dari perkataannya. Ia lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolah di jalur agama atau sebuah pesantren karena pemikirannya hal tersebut akan mematahkan sayap – sayapnya untuk bisa terbang ke tanah hukum.
“Pernyataan kamu sangat mengena di hati Abah Laila, sepertinya kau memang sudah bisa lepas dari tanggung jawab Abah. Buktikan kalau kamu memang sanggup, jangan tapakkan kaki disini sebelum kau mampu meraihnya, meraih mimpi itu untuk menjemput keadilan dan tak menyimpang dari ajaran-Nya.” Sungguh perkataan lembut yang sebenarnya bermakna tantangan, secara halus bisa dikatakan pula Abah tlah mengusirnya dan bermaksud agar Laila bisa menggeserkan atau mengurungkan niat dan tekadnya.
“Baik Abah, Laila akan buktikan semua itu pada Abah. Beri Laila waktu sampai esok pagi untuk meninggalkan tanah ini.” Tak ada nada ketakutan sedikit pun dalam perkataan Laila, tekadnya semakin ditantang oleh Abah. Ia segera mempupuk keputusan yang kedua yakni menantang waktu untuk membawa mimpinya kehadapan sang Abah.
“Jangan begitu bah, Laila anak perempuan, tak pantas kita melepasnya.”
“Dia sudah besar Mi, sudah beranggapan bisa memilih jalannya sendiri. Biarlah dia merasakan kejamnya dunia luar. Kalau dia memang wanita yang tangguh dan berani pasti dia bisa bertahan.” Laila memang tak pernah main – main dengan perkataannya yang memang menuruni sikap Abah, keras dan kuat.
Sesekali mukanya padang oleh arahan potret alam itu, perlahan – lahan ia coba menegakkan bahu dan menghapus garis air mata, tekadnya adalah menjadi seorang wanita yang tangguh. Posisinya kini berada di ibu kota untuk menuju rumah Budhenya, setelah hampir sehari kereta jalur jakarta tlah membawa dirinya dengan berbekal kenekatan dan tabungan yang sudah ia gunungi semenjak di sekolah dasar. Ibu kota tengah diguyur oleh hujan dan bertemankan gemuruh halilintar. Matanya nampak sayup mengingat kembali memori untuk menemukan alamat rumah sang Budhe. Sesekali lambaian Abah dan umi seakan memasuki pemikiran yang menuntutnya untuk terus mengeluarkan air mata. Inilah perjuangan yang harus ia lalui demi sebuah prinsip dan cita – cita. Sejenak ia menemui sebuah bangunan rumah yang sama megahnya di antara bangunan – bangunan yang berada di samping kanan kirinya.
“Laila....” Ekspresi heran berbalut kebahagiaan nampak di wajah wanita paruh baya itu, kakak dari ibunda Laila.
“Iya Budhe, ini Laila.”
“Masuk Ndok, mana orangtua mu.” Tangan Laila digamit oleh Budhe nya kemudian ia pun menceritakan apa yang membuat tapakannya berada disini. Laila adalah keponakan tersayang Budhenya, maklum beliau sampai sekarang belum dikarunai seorang anak. Fadil yang kini tengah kuliah di semester 5 merupakan anak angkatnya, meski begitu beliau sudah mempunyai ikatan batin tersendiri terhadap Fadil.
“Tidak apa – apa Laila, Budhe malah seneng. Buat apa yang selama ini sudah Budhe raih kalau bukan buat keluarga Budhe.” Jawaban keikhlasan Budhe untuk menanggung semua biaya pendidikannya seraya menghangatkan hati Laila, Ia memang sudah menganggap Budhe sebagai orangtua keduanya hingga tak segan – segan pita suaranya dapat meluncurkan pernyataan demikian, juga karena Budhenya adalah seorang pengusaha kuliner yang ia yakin pasti mampu untuk membiayai perkuliahan dia dan anak angkatnya.
“Terima kasih Budhe, kalau Laila sudah sukses pasti Laila akan mengembalikan semua kebaikan Budhe.”
“Amiin...kembalikan saja kepada orang yang membutuhkan.”
* * *
Kinilah sepucuk impian itu mulai ia rambati, bersama kesemangatan yang mengobar dalam hati. Ia yakin kan bisa menggenggam dunia impian yang masih berbentuk sebuah bulatan kecil jauh disana dengan sinar yang menyilaukan mata, dan Ia pun yakin kan bisa menaklukkan sang waktu untuk membawa mimpi keadilan itu kehadapan sang Abah. Jalaran mimpi tersebut ia mulai disini, menapakkan kaki untuk menuntut ilmu di Universitas Negeri yang terbaik di Ibu Kota setelah sebelumnya dibantu Kak Fadil yang juga merupakan senior di kampus tersebut untuk mengurus segala alur pendaftaran hingga ia pun bisa secara utuh mendapat kesempatan untuk mendaratkan kaki di kampus yang akan mengaliri ilmu untuknya. Sungguh dunia ibu kota begitu asing baginya, berlapis – lapis kamuflase mengiringi singgasana hidup disana, menghadirkan penajam dua mata dunia yang berbeda, terang dan kelam selalu berlomba mempijarkan keberadaannya tuk menyeret insan yang ditemui. Termasuk Laila, kelam perlahan – lahan memerobos celah – celah hatinya yang senggang dan merayu keluguannya. Hingga mulai terkikislah catatan penting sebuah mimpi yang membawanya sampai di ibu kota. Baginya dunia yang sedang ia jalani adalah sebuah hal baru yang menarik tanpa pengawasan orang tua. Maka benar sekali pernyataan “Baik buruknya seseorang akan tergantung pada dimana ia tinggal dan bagaimana lingkungan pergaulannya, kecuali hanya orang – orang yang sudah mempunyai prinsip, pendirian dan ketaatan pada yang Maha Kuasa.” Tapi agaknya Laila bukan golongan manusia yang termasuk dalam pengecualian tersebut. Prinsipnya sekarang tak sekuat prinsip saat ia membawa mimpinya kemari. Sebagai seorang remaja yang akan menuju ke dewasa dengan semua kerentanan yang ada terhadap pengaruh dunia, mungkin kini ia tlah terlena, sesuai dengan perkataan Abahnya waktu lalu, sekalinya kau terlena maka akan jatuh kedalam tumpukan dosa.
Malam ini sebuah ruang keluarga nampak berpenghuni dengan suasana berbalutkan kehangatan, Budhe, Kak Fadil dan Laila. Sangat jarang Budhe bisa meluangkan waktu untuk menambah kedekatan antara keluarga ini. Biasanya waktu beliau dipadatkan untuk urusan usahanya.
“Laila, tadi Umi kamu nelpon kesini beliau tanya apakah kamu berada disini, hanya sekedar ingin mengabarkan kalau Abah kamu sakit.” Jelas Budhe memotong perbincangan kecilnya tadi dengan Laila.
Seperti ada sebuah batu besar mengganjal di hati Laila dan menghalanginya untuk bernafas dengan bebas. Sesak semakin menjerat, menahan dentuman kekecewaan dan penyesalan. Kecewa karena tanpa disadari sudah setahun keluarganya baru menanyakan keberadaannya, tapi segera ia menyadari, mungkin Abahnya memang tak main – main dengan ketegasannya untuk membiarkan Laila berjuang sendiri menjemput mimpinya. Walau detik kini dalam benaknya tak terisi penuh dengan obsesi mimpi itu, karena pendiriannya yang tak kuat dalam melawan zaman. Hanya penyesalan yang kini ada. Asyik bergaul dengan teman – teman yang kurang baik latar belakangnya, hingga lingkaran pergaulan lawan jenis yang berlebihan, kesemua itu tlah membuatnya terlena, membuatnya lupa akan sebuah mimpi dan cita - cita.
“Apa sikap keras kepalamu itu juga kau lakukan pada orang tuamu, hingga mereka sendiri nggak tahu keberadaanmu sekarang?” Kini Kak Fadil yang berbicara. Sikapnya sangat dingin terhadap perempuan, namun ia mampu menyatakan secara tegas akan ketidaksukaannya terhadap Laila, perempuan yang susah diatur dan keras kepala. Apalagi pergaulan Laila yang kurang baik di lingkungan kampus. Dan sampai detik ini ia baru bisa menyimpulkan bahwa kepergian Laila meninggalkan kampungnya karena sikap keras kepala itu.
“Husst...kamu jangan berbicara seperti itu Fadil. satu tujuan Laila kemari hanya demi menjemput mimpinya kemudian membawa piala yang dapat ia raih dari mimpi itu kehadapan orang tuanya.”
“Aku yakin bukan kebanggaan yang akan mereka terima melainkan kekecewaan, kalau ia tak mau merubah sikap dan menajamkan kembali apa tujuan mulianya ke kampus itu.” Tak segan – segan posisinya berdiri dan meninggalkan Budhe dan Laila karena merasa tak merasa banyak yang harus ia lakukan.
Setitik garis air mata nampak menghiasi kelopak bawah Laila, merenungi akan semua kesia – siaan yang ia lakukan selama setahun, menjadi pribadi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya, sama sekali tak mencerminkan gambarannya sebagai anak seorang Kyai. Ia mendapatkan satu benih introspeksi dari pernyataan Kak Fadil meski dianggap menyakitkan juga. Namun ia bisa menyadari ketidakrespekkan Kak Fadil kepadanya selama ini karena ulahnya sendiri.
“Sebaiknya kamu pulang untuk beberapa hari Laila, masalah kuliah kamu bisa ijin.” Saran Budhenya yang mencoba menengahi permasalahan dalam keluarga adiknya itu.
“Tidak bisa Budhe Laila harus tetap pada janji Laila, meski akhir – akhir ini Laila tlah lengah pada janji tersebut, karena Laila tlah kalah bertahan, hikkss...” Ia tak sanggup meneruskan kata – katanya, hanya sesenggukan emosi penyesalan yang ia luapkan melalui air mata. Budhe nampak menguatkannya, mendekapnya dalam kasih sayang meski tak sedamai dekapan ibu kandungnya sendiri.
“Sampaikan saja kalau Laila disini baik – baik saja, sampaikan doa Laila untuk kesembuhan Abah. Abah orang yang baik maka rasa sakit yang beliau derita kini tak ubah adalah sebuah nikmat untuk menguji keimanannya. Dan yang terakhir Laila pasti akan kembali suatu saat nanti dengan sebuah senyum kemenangan untuk keadilan.
* * *
Training motivasi oleh seorang trainer muda di kampusnya itu tlah membuat ia bisa menata kembali akan niatnya melepaskan diri dari orang tuanya. Tahun ini ia akan menutup semua kesia – siaan tahun lalu, sebuah catatan mimpi yang esok hari hanya kan menjadi sebuah catatan saja karena satu per satu sudah menjadi kenyataan. Seratus mimpi tlah ia torehkan pada sebuah lembaran kosong yang kelak menjadi saksi perjalanannya dalam meraih mimpi itu. Organisasi kampus tlah ia coret karena posisinya kini sudah menjelajahi lebih dari lima organisasi di kampusnya. Menjadi seorang motivator, sebuah impian baru namun karena keseriusan ia pun bisa merengkuhnya, sering di undang untuk memberikan motivasi baik dalam kegiatan intern maupun ekstern kampus. Kemudian sampai menjadi mahasiswa terbaik pun kini dapat ia raih, suatu yang sebenarnya di luar dugaan dan jauh dari harapan, hanya sebuah keisengan menyertakan mimpi tersebut dalam sebuah catatan impiannya. Namun ternyata ia mampu. Tiga setengah tahun berlalu satu persatu impiannya berubah menjadi sebuah coretan belaka dalam sebuah kertas, ia sudah mampu menghadirkannya dalam dekapan dunia nyata. Ia yakin semua ini tak lepas dari lantunan doa yang tiap malam dikumandangkan oleh oramg tuanya. Walau garis kekecewaan sempat terlukis dalam raut wajahnya. Kebahagiaan wisuda karena menjadi mahasiswa terbaik harus terpaksa menjadi kelam dalam hati karena Abah dan uminya tak menapakkan kaki di satu panggung bersamanya. Menyasikkan anaknya mendapat satu penghargaan itu. Tapi ia segera sadar Abah seseorang yang teguh dengan prinsipnya, beliau disana menantinya kembali bukan untuk menjemputnya pulang. Impian terbesarnya untuk sebuah keadilan negara ini memang belum mampu ia raih, namun ia sudah mempunyai seribu alasan untuk berani menapakkan kaki di kampung halamannya kembali, banyak catatan mimpi yang ingin ia tunjukkan pada Abah yang kini sudah menjadi coretan belaka. Apalagi sebuah keinginan terbesar Abahnya sudah mampu ia penuhi, menjadi muslimah sejati dengan balutan gamis yang menjadi pakaian sehari – hari dan akhlak yang menteladani sang Nabi. Lalu diputuskannya untuk merambati jalan menuju kampung halaman,
“Desanya sudah tak seasri dulu ya La?”
Ucap Budhe ketika telah sampai pada jalan yang sudah tak mampu dilalui oleh sebuah kendaraan itu.
“Iya Budhe...empat tahun tak pulang sudah banyak perubahan.”
Ternyata masa empat tahun menjadi sangat cepat apabila bisa menggunakan waktu tersebut untuk sebuah kebaikan. Hatinya yang sedari tadi diliputi oleh bunga kebahagiaan kini nampak terselipkan oleh sebuah duri kekhawatiran kala sorotan matanya memandang gang rumahnya dihiasi oleh sebuah janur. Itu artinya kampung sedang berduka cita, ia selalu tak kuasa jikalau menyaksikan berita duka seperti ini.
“Ada yang meninggal Budhe.”
Suasana berubah menjadi hening hanya suara langkah yang kian berjalan memasuki lorong gang. Rumah Laila hanya berjarak tiga rumah dari gang tersebut. Seketika air matanya membuncah dari pertahanan bola mata, melihat rumahnya yang kini ramai oleh orang – orang yang berbalutkan kain hitam. Seraya tubuhnya ia jatuhkan pada pundak Budhe.
“Sabar Laila, apa yang terjadi belum tentu sesuai dengan apa yang kamu pikirkan sekarang.” Kini Fadil yang mencoba untuk menenagkan.
“Tapi itu rumah Laila, Abah dan Umi nggak datang ke Wisuda Laila padahal sudah ada pemberitahuan. Apa itu artinya?” Dengan seret ia mencoba berjalan menuju singgasana yang sudah empat tahun tak dijamahnya. Suasana masih ramai, sebagian dari mereka nampak memusatkan pandangan pada Laila.
“Laila...anakku.”Sebuah suara yang seraya mendamaikan jiwanya, sebuah suara yang selalu melafadzkan nasihat – nasihat kepadanya.
“Abah...” Seraya Laila menundukkan kening dan mengecup hormat telapak tangan Abahnya, bersamaan dengan itu Umi menyentuh dari belakang, sontak Laila menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan wanita yang tlah melahirkannya itu.
“Laila telah kembali, Abah..Umi.” Ternyata yang tlah pulang ke Illahi adalah Pak Alif, tetangga sebelah.
“Kali ini Abah memang benar – benar bangga sama kamu Laila.” Meski beliau belum tahu apa yang tlah diraih oleh anaknya, namun beliau mempunyai satu alasan untuk menyatakan kebanggaan dan kesyukuran itu, dari busana yang membalut tubuh Laila beliau sudah lega bahwa dunia luar lebih mampu menjadikan ia seorang yang berbenah lebih baik lagi.
Langkah awal setelah lulus ia ingin membangun desanya dahulu, memanfaatkan waktu untuk memberi kemanfaatan bagi orang lain. Ia tlah mencanangkan program untuk memanfaatkan dedaunan sebagai pupuk kompos, meski ia lulusan hukum bukan berarti ia awam dengan materi yang dikuasai oleh mahasiswa biologi. Selebihnya ia mampu menarik tangan para ibu rumah tangga untuk berpartisipasi dan menambah pendapatan mereka. Disamping itu manfaatnya juga menciptakan sebuah desa yang bersih. Lalu menarik tenaga – tenaga relawan yang memberikan pendidikan lebih kepada anak – anak sebagai generasi mendatang. Inilah jalan awal untuk meraih sebuah keadilan itu, yang di mulai dari perbaikan sumber daya manusianya sendiri melalui pendidikan karakter. Seperti inilah rentetan pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya. Meski sempat menentang keinginan orang tuanya ia juga bisa menjadi seorang yang bermanfaat bagi orang lain dan memperbaiki diri menjadi seorang hamba yang lebih baik.
* * *
Pengirim
Nama : Lilis Septiarini
Prodi : Pendidikan Ekonomi
Alamat Kos : Gg. Pisang “Shafia Abdil Mutholib”
No HP : 085742254522