Lelaki berbaju putih kembali memanggil nama seseorang. Sementara yang di luar ruangan berharap-harap namanyalah yang dipanggil. Termasuk lelaki yang duduk di sampingku. Dito.
Sudah sekitar 90 menit aku dan Dito duduk di posisi yang sama. Menghadap ruangan bertuliskan ‘Bedah Toraks dan Vaskuler’.
“Bapak Ngadiman.” panggil lelaki tadi.
Aku menepuk-nepuk bahu Dito, mencoba memberikan penguatan sebisaku, “Sabar. Sebentar lagi.”
Dito kembali melanjutkan aktivitasnya; berdo’a komat-kamit.
Bau obat dan hiruk-pikuk perawat membuatku sangat tidak nyaman. Raungan pasien-pasien yang sangat jelas kudengar semakin membuat aku ingin pergi dari ruang tunggu ini. Kalau aku tidak mengingat siapa yang sedang duduk di sampingku, pastilah aku sudah jauh-jauh dari tempat ini sejak tadi. Udara di sini sangat pengap, entah mengapa. Padahal aku tahu bahwa di setiap sudut ruang pasti AC tak henti-hentinya menyala. Kilatan sinar matahari di luar mampu menembus lewat jendela kaca besar yang berada pada arah pukul 2 dari tempatku duduk. Memantulkan sinar mengkilat membentuk garis-garis yang semakin siang akan semakin tegas.
Semarang, selalu panas.
Jemariku tak henti-hentinya mengetuk-etuk kursi yang sudah terasa semakin panas. Berharap waktu lima menit bisa dipersingkat menjadi lima detik. Aku ingin segera menyelesaikan tugas Geometri Analitikku di kos.
Aku menggeser posisi duduk seolah-olah menghadap ruang Bedah Onkologi, padahal mataku menuju wajah Dito. Berharap Dito mengatakan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Kau sakit apa, Bro? Teman sekamarku itu tak mengetahui isyaratku.
“Minggir-minggir…” anak kecil usia tujuh tahunan berteriak sambil berlarian di antara deretan kursi di ruang tunggu. Di tangan kanannya ada susu kotak dan di tangan kirinya ada tissue toilet yang gulungannya sudah tidak karuan.
“Braak…” badannya menabrak lututku yang posisinya memang sedang mengadu lutut Dito.
“Astaghfirullah!!!” ucapku spontan dengan nada cukup tinggi.
Pasien dan keluarga pasien yang dari tadi sedang ‘menikmati’ suasana lengang seketika pula menatap ke arah kami. Tissue yang gulunganny semakin tidak karuan akhirnya ditinggal begitu saja di lantai dekat tempatku duduk. Anak kecil itu berlari lagi.
Aku mengambil tissue yang ujung gulungannya sudah sampai di depan pintu ruang Bedah Saraf. Aku menyobek sekitar 30 sentimeter dan mengelapkannya ke celana hitamku yang terkena cipratan susu kotak. Aku tahu bahwa sekarang orang-orang sedang menatapku tak henti-henti. Biarkan.
Aku menunjuk ruangan di ujung koridor, memberi tanda pada Dito bahwa aku mau ke toilet. Dia mengangguk.
Kubiarkan orang-orang menatapku hingga aku menghilang di ujung koridor.
Syukurlah toilet di RSPD Kariadi cukup bersih sehingga emosiku tak bertambah kacau.
Cermin besar di depanku terlihat sangat bening seperti baru dibersihkan oleh mbak-mbak dan mas-mas berseragam biru yang kemana-mana selalu membawa lap di bahu mereka.
“Cekrek” seseorang masuk ruangan yang sepi ini.
Anak kecil itu lagi.
Cermin besar di depanku memantulkan bayangannya yang sangat bisa kulihat dengan jelas. Di tangannya masih ada susu kotak yang tadi.
“Croooot….”
Astaghfirullah…
Cairan putih kental keluar dari sedotan susu kotak. Cairan itu mengalir di setiap sudut ruangan. Bahkan cermin bening di depanku pun menjadi korban kejahilan anak kecil itu.
“Adek!” emosiku mulai meninggi.
Ruangan ini menjadi terlihat teramat kotor. Sebentar lagi pasti semut-semut berpesta ria di ruangan ini.
Dia berlari keluar sambil menutup pintu dengan kasar.
Aku mengejarnya.
“Dek!”
Larinya semakin kencang.
Dalam kondisi seperti ini aku tak bisa mengontrol emosiku. Ingin sekali aku bertemu orang tuanya dan mengatakan tentang kenakalan anaknya.
Akhirnya kubiarkan anak itu berlari sejauh mungkin.
Lantai-lantai putih nan bersih dan sapaan hangat dari petugas RSPD ini sepertinya tak bisa membuat hatiku merasa nyaman.
Cepat-cepat kupanjatkan do’a dalam hati untuk menurunkan emosiku, semoga bisa.
Allohumma rohmataka arjuu falaa takilnii ilaa nafsii thorfata ’ainiwwa ashlihlii sya’nii kullahuu laa illaaha illaa anta
“Yaa Allah, hanya rahmat-Mu-lah yang aku harapkan, maka janganlah Engkau serahkan diriku kepada hawa nafsuku barang sekejappun, dan perbaikilah seluruh keadaanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”
Dreeeet…dreeeet…
1 pesan diterima
“kalo mw makan, makan aja duluan. Km mesti laper, kn? Td q uda sarapan.”
Sms dari Dito.
v(^o^)v
Garis-garis sinar matahari semakin tegas terlihat, berkilat-kilat di setiap jendela kaca. Pikiranku hari ini semakin tidak karuan. Tugas asisten dosen dan tugas kuliahku akhir-akhir ini sedang tidak beres. Entah apa yang sedang ada di pikiranku. Pilihan menggapai impian di negeri orang atau pulang ke kampung halaman membuat pikiranku tak jelas. Rasanya sangat tidak fokus. Bahkan ketika semalam Dito memintaku menemaninya periksa pagi ini di RSPD Kariadi pun aku seperti tidak menganggapinya dengan baik. Aku hanya berkata,”InsyaAllah, iya.” tanpa embel-embel menanyakan sakit apa. Aku sedang memikirkan apa?
Bau obat mengingatkanku pada beberapa belas tahun silam saat aku harus antre dengan keluarga-keluarga pasien di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong. Duduk memangku adik kecilku, Alfi, sambil menunggu nama Nyonya Siti Halimah dipanggil lantas menerima bungkusan plastik putih berisi butir-butir pahit.
Juga saat bau obat bius membuatku pusing beberapa saat setelah operasi ibu selesai. Aku masih sangat ingat pertanyaan pertama ibu saat ‘setengah’ sadar pascaoperasi.
“Adek Alfi sudah sholat?”
Adek Alfi yang baru berusia 3 tahun mengangguk.
Saat itu, anak laki-laki Ibu menangis. Betapa ibu sangat memperhatikan kami, bahkan di saat kesadarannya tidak penuh. Sungguh.
Saat SMP, aku sering diminta ibu untuk membeli pembalut wanita. Awalnya aku sangat malu. Tapi, lambat laun tetanggaku, pemilik warung, sudah paham tentang kebutuhan pembalut wanita bagi ibuku yang memang rahimnya bermasalah sejak aku berada di kandungannya.
Itu sebabnya aku sangat benci dengan rumah sakit dan bau obat. Mengingatkanku tentang ketidakberadaan lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas ibu, aku, dan Dek Alfi. Mungkin itu yang membuat emosiku tak karuan, entahlah.
^(v_:)^
Duduk di depan ruang bayi terasa begitu tenang. Bau bedak bayi sangat bisa kucium. Aku melirik ke dalam ruangan yang bersebelahan dengan ruang bersalin. Ada sekitar 10 box bayi di sana. Wajah mereka mirip-mirip semua. Bahkan menurutku sama.
Rasa lapar yang sebenarnya sudah kurasakan sejak bangun tidur tadi tiba-tiba menghilang saat melihat wajah polos bayi-bayi di sana. Mata, bibir, hidung, telinga, dan semua yang mereka miliki terlihat sangat mungil. Bayi yang memakai selimut biru di pojok kanan ruangan menggerak-gerakkan tangannya dan matanya ‘ketap-ketip’, begitu bahasa ibuku.
Tiba-tiba aku ingat ibu. Teringat cerita perjuangan ibu mengandungku dengan berkali-kali pendarahan dan kelahiranku yang diakhiri dengan 13 jahitan. Sungguh.
“Mas!” suara itu mengagetkanku.
Anak nakal itu lagi. Dia menarik kemeja kotak-kotakku.
Kali ini kubiarkan saja apa yang akan dia lakukan.
“Mas!” sekali lagi dia memanggilku.
Aku mengarahkan pandangan ke wajahnya, sebentar, hanya sebentar. Lalu kembali melihat bayi-bayi di dalam ruangan bayi.
“Mas kenal sama Dokter Iwan?”
“Nggak.” Aduh, ketusnya aku. Menjawab tanpa memandangnya.
“Bagas mau ketemu Dokter Iwan.”
Kali ini aku menyerah.
Kutinggalkan bayi-bayi mungil lantas mengambil posisi duduk di depan ruangannya.
Anak kecil itu ikut duduk di sampingku.
“Kamu tadi bilang apa?”
“Bagas mau ketemu Dokter Iwan. Bagas mau minta tolong Dokter Iwan ngajari Mama bicara.”
Aku menatap matanya sangat dalam. Sepertinya aku mulai luluh. Namun hanya sejenak, lalu emosiku kembali meninggi.
Kaki kecilnya ia gerakkan maju-mundur melayang di atas kursi. Kuku-kukunya sangat panjang dan hitam. Tak ada sandal ataupun sepatu yang menjaga pijakan kakinya. Rambut ikalnya seperti sudah lama tak terkena shampoo dan sisir.
“Mamamu kenapa?” tanyaku seperti tidak niat bertanya.
Jari-jari tanganku menyisir rambutku ke belakang hingga tepat di kepala bagian atas, lantas berhenti dan menggenggamnya erat.
“Oh, maaf kalau Mas sedang pusing.”
Anak kecil itu meloncat dari atas kursi yang baginya terlalu tinggi lantas berlari menuju ruangan di lantai dua. Aku melihatnya.
Pikiranku sedang sangat tidak karuan. Kubiarkan saja dia pergi.
Tawaran beasiswa pertukaran pelajar masih membayangi pikiranku hingga sekarang. Aku ingin ke Australia, negeri kanguru. Tapi, Dek Alfi mau lulus SMA. Lalu dengan siapa ibu akan tinggal? Tapi, aku ingin ke Australia, bagaimana pun caranya.
v(^o:)v
Cuaca di luar terasa panas hingga ke dalam. Hausku kali ini tak bisa ditoleransi lagi. Tadi aku melihat ada kantin di lantai dua saat aku dan Dito mencari-cari ruang Bedah Toraks yang ternyata ada di lantai tiga. Aku cuma ingin air mineral. Satu-satunya air kemasan yang boleh kukonsumsi, itu titah ibuku.
“Mama, ini Bagas.”
Aku menghentikan langkah sejenak. Air mineral tinggal beberapa langkah lagi kudapatkan. Aku seperti mengenali suara itu. Mataku mengintip lewat jendela kaca. Ada dia. Anak nakal tadi duduk di samping wanita berkerudung kecil yang di tubuhnya penuh dengan selang.
“Mama, Bagas lapar.” katanya dengan nada yang cukup tinggi.
Mataku mencari orang lain di ruangan yang serba putih itu yang kuharap bisa membuat anak nakal itu menurunkan volume bicaranya. Tapi ternyata nihil.
“Mas!”
Dia melihatku.
Tak ada alasan untuk kabur lagi.
Pelan-pelan kubuka pintu ruangan berukuran 4x4 meter ini berharap pasiennya tidak terbangun.
“Tidak perlu pelan-pelan, Mas. Mama tidak dengar kok.”
Glek!
“Mas bisa mengajari Mama mendengar dan bicara?” menurutku lagi-lagi nada bicaranya terlalu tinggi.
“Syuuuut…pelan-pelan. Nanti mamanya bangun.”
“Justru Bagas pengin Mama bangun. Ayo kita teriak-teriak, Mas. Ayo, Mas.”
Kali ini mataku menatapnya dengan niat. Sepertinya ada yang tidak biasa.
“Mamamu sakit apa?”
“Tidak bisa mendengar dan bicara.”
Ruangan ini terasa begitu pengap dan semakin terasa tidak nyaman saat aku melihat ada tetesan bening yang turun dari mata anak kecil itu. Tangan mungilnya mengusap tetesan yang makin lama makin deras.
Aku memandang wanita berkerudung kecil itu seolah tanpa mempedulikan isak tangis anak nakal yang makin lama makin kudengar.
“Ini tulisan kamu?” tanyaku padanya untuk mengalihkan perhatian.
“Iya, untuk Mama.”
“Boleh Mas baca?”
“Si…silakan…”ucapnya patah-patah di tengah tangisnya.
Aku mengambil beberapa lembar dari tumpukan kertas di atas meja.
Pulang sekolah, 5 Agustus 2010
Untuk Mama Indah yang cantik.
Mama, ini Bagas baru pulang sekolah.
Tadi Bu Guru Tiwi menyuruh Bagas dan teman-teman menggambar bebas.
Dodi menggambar perahu. Sinta menggambar pemandangan. Kalau Bagas menggambar ini untuk Mama. Bagas menggambar Mama Indah yang cantik.
Selamat ulang tahun, Mama.
Pulang sekolah, 17 Agustus 2010
Mama, tadi pagi sebelum Bagas sekolah, Tante Rahma mengantar Bagas ke rumah putih. Tapi ternyata Mama masih tidur. Hari ini ada karanpal. Tante Rahma mendandani Bagas pake baju tentara, tapi Bagas nggak mau. Bagas mau pake baju seperti Dokter Iwan, baju putih, biar bisa mengajari Mama bicara dan mendengar. Mama, cepat bangun. Kata Tante Rahma dan Bu Guru Tiwi, Bagas ganteng lho.
Hari minggu, 2 September 2010, habis maem malam sama Tante Rahma.
Mama, maafin Bagas ya, karena sudah lama Bagas tidak bercerita sama Mama karena Bagas lagi belajar membuat puisi buat lomba besok pagi di sekolah.
Besok pagi Bagas mau membacakan ini di depan Ibu Guru:
Kata Bu Guru, malaikat baik ada di langit
Aku ingin ke langit
Aku ingin bertemu malaikat baik
Sehabis sholat ‘ashar, 31 Desember 2010
Mama, apa mama tidak capek tidur terus?
Apa mama sangat ngantuk?
Bagas mau minta tolong Mama menggunting kuku Bagas, Ma.
Tante Rahma sejak Senin ke Jakarta karena Eyang Putri sakit.
Mama, tadi pagi tangan Bagas dipukul sama penggaris sama teman-teman karena kukunya kotor. Sakiiiiit sekali rasanya, Ma.
Mama cepat bangun, ya. Bagas cuma mau minta tolong mama menggunting kuku Bagas.
Oh ya, Mama jangan kuatir, Bagas sudah pinter berangkat sekolah sendiri kok.
Dan untuk sementara, Bagas bobo di rumah putih menemani mama.
Kata Tante Rahma, tiap malam Mama bangun untuk membaca tulisan Bagas, tapi tadi malam Bagas tunggu sampai pagi kok Mama tidak bangun?
Mama masih ngantuk?
Aku tak kuasa melanjutkan bacaanku pada lembar-lembar berikutnya.
Mama Bagas koma, itu yang aku tahu.
Aku membisikkan do’a.
Allohumma robbannaasi adzhibilba’sa isyfi antasysyaa fii laa syifaa a illaa syifaa uka syifaa allaayughoodhirusaqomaa.
“Yaa Allah, Tuhan Penguasa manusia, lenyapkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia hanya Engkaulah yang dapat menyembuhkan, tiada kesembuhan kecuali hanya kesembuhan dari-Mu, yaitu kesembuhan yang tidak menyisakan rasa sakit apapun.”
Bagas mengamini.
“Papa kemana?” tanyaku.
“Itu.” tangan mungilnya menunjuk foto di atas lemari kecil.
Laki-laki bertubuh tegap berseragam tentara berdiri di samping wanita cantik berjilbab merah.
“Dulu kata Mama, Papa sedang perang. Tapi langsung pulang ke rumah Allah. Mas tahu di mana rumah Allah dan rumah malaikat baik?”
Aku hanya diam. Tertunduk malu pada ketegaran dan kesetiaan anak nakal menunggu mamanya membuka mata. Menunggu mamanya bisa bicara. Sementara aku, perintah ibuku pun seperti tak kuhiraukan. Impian dan iming-iming kesuksesan di negeri orang seolah menutup telingaku dari mendengar perkataan ibu.
Padahal…selagi ibu masih bisa bicara. Mengapa aku tak mendengarkan?
Aku berdo’a dalam hati, bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan padaku. Bersyukur terhindar dari musibah yang Bagas alami.
Alhamdulillaahilladzii ‘aafaanii mimmabtalaa ka bihii wafadhdholanii ‘alaa katsiirimmimman kholaqo tafdhiilaa.
“Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menghindarkan diriku dari musibah yang menimpa dirimu dan memberiku keutamaan yang sebenar-benarnya di atas kebanyakan dari makhluk ciptaan-Nya.”
Km d mana? Pulang yuk.
Sms dari Dito.