Gawat! Apa sebaiknya aku tidak masuk sekolah saja ya hari ini? Lalu, apa yang harus ku katakan pada mereka nanti? Argh... Pusing!!!
Setelah memantapkan hatinya, akhirnya Dini memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah. Entah bagaimana respon teman-temannya nanti, Wallahu ‘alam, Dini tidak tahu. Ini merupakan keputusannya sendiri. Keputusan yang telah dirundingkan dengan sang ayah. Keputusan yang sebenarnya masih diragukan oleh sang Bunda. Dan, sebuah keputusan yang mungkin akan merubah jalan hidup gadis yang baru berusia 17 tahun tersebut.
***
Tidak ada gelak tawa atau canda ria di kelas hari ini. Semuanya seakan membisu. Kelu, tak bisa berkomentar apa-apa. Suasana surprise pesta ulang tahun untuk Dini yang memang bertepatan dengan Valentine’s Day itu berubah senyap, laksana pekuburan di samping sekolah. Puluhan terompet yang semula sudah dipersiapkan, tidak jadi ditiup. Gandum dan telur yang akan digunakan sebagai ‘bom luluran’ untuk Dini, urung dilakukan. Gadis yang dikenal satu sekolah sebagai Miss Valentine dan pernah dinobatkan sebagai Putri Sekolah itu, kini berjilbab!
‘Ah, kamu bercanda kan, Val?’ ucap salah satu sahabat Dini, Fina. Valen merupakan sapaan akrab bagi Dini.
Dini menggelengkan kepalanya. Ia hanya tersenyum kecil. Berusaha menenangkan hatinya yang juga kalut tak karuan.
‘Tapi, hanya untuk sementara kan, Val? Cuma buat hari ini doang, kan?’ Dika, yang sebenarnya mau nembak Dini saat itu juga, nampak sedih. ‘Aku suka gaya kamu yang kemarin-kemarin.’
‘Iya, Val. Mending jangan pakai jilbab dulu.’
‘Betul, Val. Sayang kan rambut indah kamu nggak bisa dilihat orang nanti.’
Suasana mendadak riuh. Hampir semua teman sekelas Dini tidak setuju dengan penampilan barunya, termasuk sahabat karibnya. Bagi mereka, Dini adalah ‘aset’ kelas yang sangat berharga. Beberapa bulan yang lalu, kelas mereka dianugerahi gelar sebagai kelas terbaik karena prestasi Dini yang berhasil menyabet Juara 1 Putri Sekolah dan Duta Wisata Tingkat Regional. Di samping itu, sudah banyak majalah dan tabloid remaja yang berusaha mendapatkan kontrak dengan Dini. Lagipula, beberapa bulan lagi Dini akan berlaga pada ajang Duta Wisata Tingkat Nasional. Kalau pakai jilbab gitu, apa Dini bisa menang? Mustahil! Pikir teman-teman Dini.
‘Diam dulu, teman-teman. Kita dengar apa kata Valen,’ seru Dika kemudian. Dia tak rela kalau calon pacarnya itu berjilbab. Nggak keren!
Dini menghela nafas sejenak. Nampak berat rasanya untuk memulai kata pertamanya. Namun, ini pilihannya sendiri. Tak ada yang memaksanya, sama sekali.
‘Insya Allah tepat mulai hari ini Dini akan memakai jilbab. Tolong teman-teman mau menghargai prinsip Dini yang sekarang. Dini hanya ingin berubah menjadi orang yang lebih baik lagi,’ ucapnya dengan agak terbata-bata. Benar-benar perjuangan yang berat untuk mengucapkan kata-kata seperti itu di depan teman-temannya. Sudah tiga tahun mereka jadi teman sekelas. Dan untuk hari ini, mungkin Dini telah mengecewakan mereka semua.
Maaf, teman-teman... batin Dini.
‘Tapi nggak harus pakai jilbab kan, Val?’ sergah Karin, sahabatnya yang lain.
Dini tersenyum. ‘Jilbab ini akan membantu Dini menjadi lebih baik.’
‘Ah, nggak asyik kamu, Val. Terserah deh kalau gitu. Itu berarti kamu nggak nganggep kita-kita ini teman kamu.’
‘Iya nih. Kamu tuh masih muda, Val. Nggak perlu lah kolot kayak gitu.’
Dini menundukkan kepala. Rasa bersalah kepada teman-temannya semakin membuncah. Terbersit keinginan untuk kembali melepas jilbab keesokan harinya. Tapi, tidak! Dini sudah berjanji kepada dirinya sendiri. Lagipula, ayah dan bunda pun sudah merestui. Teringat pesan ayah sebelum ia berangkat ke sekolah tadi pagi.
‘Kalau itu memang keputusanmu, kamu harus konsisten. Jangan pernah main-main dengan janji yang kamu buat sendiri. Ingat, kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban kamu di akhirat.’
Bel berbunyi. Teman-teman kembali ke bangkunya masing-masing. Hiasan yang dipersiapkan untuk pesta ulang tahun Dini dibiarkan menjuntai di ruang kelas. Raut wajah kecewa dari teman-teman Dini, kini berganti menghiasi tempat itu.
‘Ada satu hal lagi yang ingin Dini sampaikan,’ Dini beranjak ke tengah kelas, meminta atensi dari semua mata yang sekarang memang sedang tertuju padanya.
‘Apa, Val? Kamu mau bilang kalau kamu cuma bercanda, kan?’ harap Karin diikuti anggukan dari teman sekelasnya.
‘Bukan, bukan itu. Dini hanya ingin bilang, jangan panggil Dini dengan sebutan Valen atau Valentine lagi. Dini tidak suka.’
Huhuhu... Sorak sorai membahana di kelas. Tampak teman-teman Dini mulai mencibirnya, mengatakannya sok alim lah, sok suci lah, kolot lah.
Ya Rabb... Dini berserah pada-Mu... Tangis Dini dalam hati.
***
Sudah tiga hari ini Dini didiamkan oleh teman-temannya. Hampir tidak ada yang mau berbicara dengannya, kecuali kalau terpaksa atau saat kegiatan kelompok di kelas. Dini benar-benar tidak tahan dengan itu semua. Tapi nasehat ayah, bunda, dan guru ngajinya kembali menguatkan hatinya untuk tetap tabah.
Insya Allah pasti ada jalannya. Bukankah setelah kesulitan itu pasti akan ada kemudahan? Perkataan guru ngajinya itu terngiang di telinganya.
Iya. Tapi, kapan teman-teman bisa kembali seperti sedia kala? Setelah lulus nanti? Tidak. Dini tidak ingin lulus dengan suasana kayak gini, Tuhan. Batin Dini sedih.
Rasa tidak suka mereka kepada Dini kini kian bertambah. Bahkan, mungkin naik ke level ‘benci’ setelah akhirnya Dini mengundurkan diri dari ajang Duta Wisata Tingkat Nasional.
‘Kamu tuh kenapa sih, Din? Okelah kalau kamu pakai jilbab. Tapi, apa juga harus mengundurkan diri dari pemilihan Duta Wisata Nasional? Ini bukan cuma buat kamu, Din. Buat sekolah kita, buat teman-teman juga. Atau jangan-jangan kamu memang benar-benar sudah nggak anggap kita-kita ini sebagai teman kamu, gitu?’ bentak Ajeng, teman sekelas Dini, yang tak bisa menahan amarahnya.
‘Bukan begitu, Ajeng’.
Dini mencoba menjelaskan alasan pengunduran dirinya dari ajang tersebut.
‘Salah satu sesi dalam pemilihan Duta Wisata itu adalah sesi walking. Dini harus gandengan sama pasangan Dini. Dan Dini tidak bisa melakukan hal itu,’ ucap Dini lembut, berusaha mencairkan suasana kelas yang mulai jadi pusat perhatian siswa-siswa yang lain. Bahkan, kelas sebelah pun ikut-ikutan mengompori teman-teman Dini yang lain.
‘Alah, muna kamu jadi cewek!’
PLAAKKK... Sebuah tamparan hebat melayang di pipi kiri Dini. Gadis itu sampai terjerembab ke lantai kelas.
‘Sudah, sudah. Apa-apaan kamu, Jeng! Jangan seenaknya ngegampar orang kayak gitu. Apa kamu mau digampar juga, hah?’ bentak Dika yang tidak rela Dini diperlakukan kasar.
Dika kemudian menyuruh beberapa teman perempuannya untuk membantu Dini ke ruang UKS. Sepertinya tamparan itu menyisakan bercak darah di sekitar bibir Dini.
Ajeng berlalu, tak peduli dengan keadaan itu. Kerumunan pun kini sudah tak nampak lagi, menyisakan satu episode pahit bagi Dini, lagi.
Ah, betapa tidak mudahnya menjadi seorang jilbaber.
***
Akhir pekan ini OSIS sekolah Dini berencana mengadakan ajang Miss Valentine sebagai bentuk perayaan Valentine’s Day. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ajang ini selalu disambut antusias oleh warga sekolah layaknya ajang Miss Universe. Tentu saja hal ini membuat dada Dini menjadi sesak. Walaupun ia adalah pemenang tahun lalu, budaya seperti itu tidak seharusnya dilakukan lagi. Buat apa coba ikut-ikutan kultur Barat yang tidak penting dilakukan itu. Bukankah tidak perlu hari khusus untuk menyimbolkan rasa kasih sayang?
Ajang ini tidak boleh diadakan lagi! Batin Dini.
Tapi, sayang, Dini tidak punya teman pendukung. Andaikata ada Rohis di sekolahnya, pasti ajang tersebut sudah didemo habis-habisan.
Aha! Dini punya ide. Ia membuat kuesioner singkat dan segera melakukan pendekatan personal kepada teman-teman yang lain. Banyak yang mencibirnya, tapi ternyata tak sedikit yang mendukungnya. Akhirnya, setelah mendapat cukup bala bantuan dan bukti fisik atas hasil angketnya, ia memberanikan diri untuk mewakili kelasnya dalam Rapat Perwakilan Kelas bersama Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di aula sekolah. Walau sempat bersitegang dengan sang ketua kelas, akhirnya ia diizinkan juga mengikuti rapat tersebut.
Bismillahirrahmanirrahim... bisik Dini pelan.
Rapat dimulai. Ketua OSIS SMA Persada tanpa basi-basi langsung memulai agenda rapat membahas program kerja perayaan Valentine’s Day; Ajang Miss Valentine.
‘Adapun tujuan dari ajang ini adalah menumbuhkan semangat kompetisi secara sehat antar siswi SMA Persada sebagai wujud emansipasi wanita sekaligus sebagai simbol hari kasih sayang tingkat dunia. Ini bukti bahwa sekolah menghargai keberagaman dan berwawasan terbuka terhadap semua kultur yang ada,’ ujar Andre, Ketua OSIS, dengan percaya diri.
Dini kontan membelalakkan mata tak percaya.
Apa? Emansipasi wanita? Simbol kasih sayang tingkat dunia? Menghargai keberagaman? Berwawasan terbuka? Apa-apaan itu? Astaghfirullah...
Dini hanya bisa mengelus dada tak percaya dengan statemen Ketua OSIS yang baru saja dilontarkan itu.
Seabreg alasan dikemukakan oleh Tim Khusus Program Kerja Miss Valentine, sampai pada akhirnya peserta perwakilan kelas diperbolehkan untuk menyanggah ataupun menanggapi.
Dini langsung mengangkat tangan. Dilihatnya tak ada yang berani menyanggah alasan kuat Ketua OSIS untuk tetap mengadakan agenda tersebut. Maka dirinyalah yang harus membuat perubahan itu.
Sekarang atau tidak sama sekali!
Dini pun dipersilakan untuk maju ke mimbar. Nampak ia berusaha mengatur irama nafasnya agar tidak terdengar emosional yang malah akan menjatuhkan dirinya dan nama baik kelasnya sendiri.
‘Agaknya ajang Miss Valentine ini perlu dipertimbangkan lagi, hadirin sekalian.’
Huhuhu... Aula bergemuruh, pertanda tak sepakat dengan perkataan Dini. Sementara, Dini hanya tersenyum, penuh keberanian yang ia sendiri tak tahu darimana asalnya.
‘Begini, mengadakan ajang Miss Valentine bukanlah mengenai emansipasi wanita, simbol kasih sayang tingkat dunia, menghargai keberagaman, ataupun berwawasan terbuka terhadap aneka kultur yang ada. Namun, di luar itu semua, kita patut mempertimbangkan urgensi atau pentingnya melaksanakan ajang ini. Kalau hadirin sekalian tahu berapa alokasi dana yang tercantum di proposal program kerja OSIS, pasti hadirin sekalian akan sangat terkejut. Bayangkan, uang sebanyak lima belas juta akan dihamburkan untuk melaksanakan sebuah kompetisi yang tidak jelas seperti ini!’
Wakasek Bidang Kesiswaan sontak menengok ke arah sang Ketua OSIS. Tampak Andre gelagapan tak karuan. Rencananya untuk membelokkan dana ternyata diketahui Dini. Sial! Rutuknya dalam hati.
Salah seorang pengurus OSIS langsung berdiri dan angkat bicara.
‘Bukankah kamu sendiri merupakan pemenang Miss Valentine tahun lalu? Lantas mengapa sekarang kamu tidak setuju? Apakah karena sekarang kamu berjilbab? Tolong jangan bawa-bawa nama agama. Kita itu multikultural. Tidak hanya Islam yang ada di sekolah ini. Apa kamu tahu itu?’
Nada pengurus OSIS yang bernama Delfi itu semakin meninggi. Agaknya emosinya benar-benar memuncak. Ia memang setali tiga uang dengan Andre. Sama saja!
Dini tak kehilangan akal. Lantunan bismillah terucap dari mulutnya sebelum akhirnya ia menjawab sanggahan itu.
‘Karena saya pernah menjadi Miss Valentine itulah saya akhirnya bisa berkata seperti ini. Tidak ada yang saya lakukan setelah menjuarai ajang itu. Kompetisi itu hanya sekadar sampai di situ saja. Lagipula, bukan karena jilbab panjang ini saya menentang salah satu program OSIS tersebut. Namun, karena saya menilai tidak ada manfaatnya sama sekali mengadakan acara seperti ini selain untuk hura-hura belaka. Angket yang telah saya sebarkan menunjukkan bahwa 77% siswa di sekolah kita tercinta ini menolak dengan tegas acara tersebut! Dan perlu diingat pula, masih ada siswa cerdas peraih rangking kelas yang tidak bisa bayar SPP sampai sekarang. Bukankah uang itu seharusnya bisa dialokasikan untuk mereka? Di samping itu, ada banyak agenda lain yang bisa dilakukan oleh OSIS untuk meningkatkan skill para siswa. Misal, Lomba Speech Contest, Khitobah Bahasa Arab, Kompetisi Mading antar kelas, Lomba Cerdas Cermat, Debat Ilmiah, dan sebagainya. Bukankah itu terdengar lebih bermanfaat dari sekadar ajang Miss Valentine?!’ tegas Dini lantang.
Semua hadirin menganggukkan kepala, termasuk Pak Rudi, Wakasek Bidang Kesiswaan. Sementara Andre dan sekongkolannya hanya bisa gigit jari setelah Pak Rudi benar-benar mencoret ajang Miss Valentine sebagai program kerja dan melarang ajang itu untuk diadakan di sekolah lagi.
HOORRREEE...
Sorak sorai pendukung Dini tampak jelas dari dalam ruang aula sekolah. Dilihatnya Fina, Karin, Dika dan teman-teman kelasnya membawa coret-coretan tangan untuk mendukung usahanya. Ternyata teman-teman Dini sudah tidak membencinya lagi.
Alhamdulillah, Ya Rabb. Terimakasih atas bantuan-Mu hari ini...
Dini langsung menghambur ke luar aula. Dipeluknya Fina dan Karin erat-erat.
‘Terima kasih sudah mau mendukung Dini,’ ucapnya terharu. Bulir-bulir airmata sudah mulai turun dari kedua pelupuk matanya.
‘Sama-sama, Valen eh Dini. Maafkan kita-kita ya. Kamu memang benar. Kita harus saling menghargai. Dan sepertinya kita tidak butuh Valentine’s Day untuk mengungkapkan kasih sayang kita kepada sesama. Betul nggak, teman-teman?’ seru Karin meminta persetujuan dari yang lain.
‘BETUL... BETUL... BETUL...’ Koor teman-teman Dini, menirukan logat Upin Ipin yang sangat tidak sukses ditirukan. Semuanya pun tertawa riang. Ajeng juga segera meminta maaf secara langsung kepada Dini. Ia menangis sesenggukan di hadapan Dini dan teman-teman yang lain. Dini dengan senang hati memaafkannya.
‘Eh, kamu harus berterima kasih sama seseorang lho,’ kerling Fina pada Dini.
‘Siapa maksud kamu?’
‘Tuh, Dika. Kalau bukan karena dia yang berusaha meyakinkan kita, mana mungkin kita bisa ada di sini.’
CIIIIIIEEEEEEEEE....
Yang disindir pun hanya bisa tersenyum malu-malu plus garuk-garuk kepala yang tidak gatal sama sekali.
‘Eh, nggak boleh dekat-dekat lho. Dini sekarang kan anti cowok. Hahaha...’ tambah Ajeng, menambah hangat suasana persahabatan siang hari itu.
Senyum itu, tawa itu, canda itu, persahabatan itu, kini hadir kembali di hidup Dini. Tak perlu ia khawatir lagi dengan penampilan barunya. Alhamdulillah, ternyata teman-temannya sudah bisa menerima ia apa adanya.
‘Mm, kalau seandainya Dika nembak kamu sekarang gimana, Din?’ bisik Fina di telinga Dini. Saking pelannya, teman-teman Dini yang lain bisa mendengarkan dengan jelas bisikan Fina. Ya iyalah, lha wong bisik-bisiknya saja pakai speaker musholla!
Dika pun tambah malu. Kalau diibaratkan nih, mukanya itu sudah kayak kepiting rebus ketiban cat merah... Bisa bayangin nggak?
‘Hm, gimana ya? Ah, kalau jodoh kan nggak kemana. Iya, kan?’
‘Huwaaa... Valen genit!!!’ Seru Fina dan Karin bersamaan.
‘Heh, berani ya kamu manggil aku kayak gitu lagi.’
‘Ayo kejar kalau bisa, Valentine!’ Mereka langsung kabur ke arah lapangan sekolah.
‘Awas ya kalian,’ Dini pun mengambil ancang-ancang untuk berlari.
‘Valen!!! Valentine!!!’ Mereka sudah semakin menjauh, berlari sekencang mungkin agar tak terkejar Dini.
‘Jangan panggil aku Valentine lagi!!!’
***
O iya, ada pesan terakhir dari Dini nih,
‘Say No to Valentine ya!’
(^_^)