Bukakan Pintumu…!
Oleh Syarif Niskala (also blogged at syarifniskala.com)
Banyak pemilik rumah yang menjadikan pintu tidak hanya sebagai satu-satunya akses resmi keluar-masuk. Saya teringat, salah seorang pemilik perusahaan gas bius terkemuka di Indonesia membuat sebuah pintu salah satu rumahnya seharga tempat tinggal saya. Memang nyaman memandang sebuah pintu yang indah. Memang membanggakan memiliki sebuah pintu yang unik. Tapi pintu adalah pintu. Dia hanya berguna jika bisa dibuka. Jika tidak, sebaiknya diganti tembok saja.
Selasa sore yang dingin di kota kembang. Hujan agak deras menemani perjalanan pulang kerja dari gerbang kantor hingga depan pintu rumah. Seperti biasa, sang permaisuri mengondisikan pintu rumah setengah terbuka sebagai tanda dia siap menerima kedatangan saya. Juga untuk memudahkan dua putra yang senantiasa berhamburan sambil berteriak saat mendengar deru motor memasuki halaman. Rutinitas yang memesona senantiasa terjadi di depan pintu. Celoteh anak usia 4 tahun menyapa dan melapor, mata berbinar anak usia 7 tahun yang seringkali bertingkah lucu untuk menarik perhatian, serta senyum termanis tuan putri. Seperti inikah suasana pintu surga nanti…?
Sejumput waktu setelah mandi, sang istri bertanya, “Bi … bapak yang tadi minta makan mana? Kok tidak ada…. Mama sudah siapkan nasi, lauk, dan air minum untuk dibawa”. “Wah, dari tadi Abi tidak lihat, Ma. Mungkin kelamaan nunggunya atau dia tidak mendengar suara Mama sewaktu memintanya menunggu”. “Sudah terdengar iqamah, Abi ke masjid dulu ya” saya menyudahi perbincangan singkat. “Ma, simpan saja di kursi teras, siapa tahu bapak yang tadi lewat lagi dan melihatnya.”
Memasuki masjid, mata saya tertumbuk seorang laki-laki berpakaian basah, gesture sangat lelah, berdiri di shaf terakhir tetapi menyendiri dekat dinding, tidak merapat dengan jemaah yang lain. Selepas salam, pojok kanan mata saya menyelidik body language pria seusia saya itu. Dzikir saya terputus-putus karena memperhatikan dia sedang khusyu sekali berdoa. Ketika dia bangkit hendak keluar masjid, saya tahu dia sangat lapar. Tengadah tangannya saat berdoa tadi agak menggeletar, persis seperti saya berpuasa di awal ramadhan. Langkahnya agak berat dan dia memegangi perutnya sesekali.
Cepat saya bangkit dan berjalan agar dapat berdampingan hingga ke teras masjid. “Bapak, tadi mendatangi rumah berpagar kuning ya?” tanya saya. “Ya. Saya lapar sekali, dan karena hanya pintu rumah itu yang terbuka, maka saya meminta makanan. Tapi tidak diberi” jawabnya lemah sambil menunduk. “Kalau begitu, saya antar ya ke rumah itu. Ibu yang punya rumah telah menyiapkan makanan untuk Bapak” saya mengajak sambil meminta pengertian murid-murid ngaji yang sudah berbaris rapi. Di jalan saya mengumpulkan beberapa informasi terkait pria malang ini. Setelah makan, minum teh hangat manis; saya membungkuskan sebuah kaos bersih dan jaket karena saya lihat pakaiannya basah dan udara sangat dingin. Sambil titip salam untuk keluarganya di kampung Pamijahan – Tasikmalaya, saya memberinya 100% uang ongkos pulang dan uang cadangan 50%. Nasihat saya padanya hanya satu, bersabarlah dalam mencari rizki.
---
Sahabat-sahabat yang budiman.
Dari 53 pintu rumah yang menghadap ke jalan Jembar III itu, mungkin hanya satu pintu yang sedang terbuka saat lelaki malang itu memberanikan diri meminta makanan. Itulah keberuntungan bagi dirinya. Itulah pula keberuntungan bagi penghuni rumah. Dengan membuka pintu rumah saat kondisi keamanan baik, maka Tuhan mengantarkan seseorang agar kita dapat berbuat baik padanya. Jika pengertian rezeki adalah kebaikan yang manfaatnya telah kita dan orang lain nikmati, maka itu juga berarti membuka pintu rumah mendatangkan rezeki.
Sahabat, jika menghilangkan haus dan lapar seekor anjing adalah kebaikan yang berita mulianya telah melintasi benua-benua dan melipat waktu beratus tahun; apakah nilainya lebih tinggi dibandingkan menghilangkan haus, dahaga, dan kepanikan seorang hamba?
Mari kita buka pintu rumah kita…
Agar kebaikan mudah menghampiri…
From the note of Syarif Niskala