Langit masih biru bersih. Jalan-jalan sepanjang Gombong-Puring masih padat dilalui kendaraan bermotor pertanda aktivitas kehidupan masih berjalan. Kantor Kecamatan Puring adalah perbatasan antara jalan mulus dan jalan penuh lubang. Dan aku sudah melewatinya.
“Pak, mriki sanes?” tanyaku pada lelaki bertubuh sedang yang duduk di depanku.
Hari ini adalah hari ketiga aku liburan di rumah. Aku sengaja meninggalkan semua aktivitas perkuliahanku untuk menenangkan pikiran sejenak, menepi sejenak. Bapak sengaja menutup kios kayunya sejak sebelum dzuhur tadi. Pesan singkat yang Bulik Sur kirim kemarin siang membuatku tak punya alasan untuk tidak sowan Mbah Puring Putri hari ini, mbah sudah sangat kangen katanya.
Sudah sekitar lima kali badanku terpental dari jok motor. Alhamdulillah peganganku pada besi belakang cukup kuat, jadi badanku tak harus terjerembab di selokan-selokan atau sawah penduduk Desa Tuking Gedong.
Aku memang selalu kebingungan kalau mau ke rumah Mbah Puring Putri. Suatu saat aku pernah tersesat saat ke sana sendirian. Saat itu, hal yang bisa aku lakukan hanya menelepon Lik Sudi dan memintanya untuk menjemputku saat kakiku menginjak pasir-pasir putih, jalan menuju Pantai Petanahan. Aku selalu tersesat.
Pastinya aku tak menyangsikan ingatan bapak tentang jalan menuju rumah orang tuanya, tapi aku pun masih sangat hafal instruksi dari Nunu setahun yang lalu saat aku memintanya untuk menjelaskan jalan ke rumah Mbah Puring. Dia bilang bahwa jalan menuju rumah Mbah Puring itu adalah belokan pertama setelah ada kuburan. Tapi, kata bapak bukan itu. Ah, aku menurut sopirku saja.
Suatu ketika aku pernah berpikir jika kelak aku menjadi Bupati Kebumen, aku akan membuat program perbaikan jalan di desa Mbah Puring. MasyaAllah rusaknya bukan main.
Bayangkan saja, sejak aku dilahirkan hingga usiaku hampir menuju kepala dua, aku masih harus melewati jalan berbatu dan sempit setiap kali mau sowan Mbah Puring. Tidak ada kemajuan yang signifikan, pikirku.
Ternyata, kali ini bapak mengambil jalan pintas yang lebih dekat. Jalan ini memang lebih gelap dan sempit, tapi lumayan dapat mempersingkat waktu. Tiba-tiba aku ingat, ini jalan gua yang sering kulewati bersama bapak atau Lik Sudi tiap kali aku merengek minta pulang karena sudah tidak betah di rumah Mbah Puring. Di jalan gua itu, bapak dan Lik Sudi suka menakut-nakutiku dengan cara meninggalkanku seorang diri. Alhasil, aku ikut bersama mereka lagi ke rumah Mbah Puring. Aku masih ingat.
Pohon melinjo di samping rumah Mbah Puring terlihat semakin jelas dengan buah-buahnya yang mulai memerah. Masih ada gubuk kecil tempat Mbah Puring Putri biasa berjualan kebutuhan dapur atau sekadar sebagai tempat istirahat siang. Batu besar yang pernah membuat kepalaku bocor saat aku bermain-main bersama Pur pun masih berada di tempat yang sama, di pojok kiri dekat tugu selamat datang.
Motor bapak berhenti di dekat gulungan padi yang sepertinya baru selesai dijemur. Oh, aku baru sadar bahwa sekarang sedang musim panen. Pantas saja sawah-sawah sepanjang perjalanan dari Desa Kaleng sampai Desa Tuking Gedong dipenuhi dengan tanaman kacang tanah. Begitulah Desa Tuking Gedong, tak pernah terlihat sawah-sawah kosong tanpa tanaman. Selalu saja menerapkan tanam-bergilir.
Wanita tua berdiri dari duduknya. Ia memandangku tanpa ekspresi. Helm yang kuikatkan terlalu kencang membuat kepalaku agak pusing. Akhirnya, aku duduk sebentar di atas jok motor sebelum salim pada wanita berjarit itu.
Bapak berjalan ke arah wanita tua masih dengan helm di kepalanya.
“Sehat, Yung?” tanya bapak sambil mengambil tangan wanita tua.
“Ya kaya kiye.” ucapnya masih tanpa ekspresi.
Aku berjalan mendekat sambil membawa kantong plastik hitam berisi oleh-oleh untuk sepupu-sepupuku.
“Breeettt…” gadis kecil mengambil plastik itu dari belakang.
Kubiarkan.
“Assalamu’alaikum. Mbah, sehat?” tanyaku sambil mencium tangan keriputnya.
Bau kapur sirih sangat bisa kucium dari tangannya yang berwarna merah darah. Kebiasaannya mengunyah kapur sirih masih ia teruskan hingga usianya mencapai kepala delapan.
“Ya kaya kiye.” jawaban yang sama.
Wanita yang matanya mirip dengan mataku keluar dari dalam rumah. Kerudung cokelatnya senada dengan warna kulitnya. Bulik Sur namanya. Aku menyalaminya. Dua anak kecil bersembunyi malu-malu di belakangnya. Nasrul dan Dinar.
Aku menjulurkan tangan lengkap dengan bonus senyum termanisku.
Nasrul membalas juluran tanganku. Ah, sayang, dia mungkin lupa tak mencium tanganku. Padahal, kata ibuku, mencium tangan orang yang lebih dewasa itu perbuatan yang baik.
Tapi, aku tak menyalahkan Nasrul, itu karena dia tinggal di desa ini.
Anak kecil yang badannya lebih tinggi dari Nasrul masih bersembunyi di balik tubuh mamaknya. Rambutnya kemerah-merahan dan sangat tipis lagi jarang. Aku tak melihat ada tatapan di matanya, seperti tak berisi alias kosong. Kedua tangannya ia satukan dengan posisi memeluk mamaknya. Kuku-kukunya terlihat sangat kotor dan panjang. Celana kainnya penuh dengan debu yang teramat tebal, atau bahkan tanah.
Sekali lagi kujulurkan tanganku padanya, kali ini kuberharap dia mau membalasku. Tapi, ternyata dia berlari meninggalkanku setelah seorang gadis kecil menunjukkan bungkusan biskuit padanya.
Rumah Mbah Puring banyak berubah. Terakhir aku ke sini, buffet jati diletakkan di antara ruang tamu dan ruang TV. Tapi, sekarang entah di mana buffet itu. Sepertinya keramik di ruang tamu belum lama dipasang. Rumah Mbah Puring semakin rapi.
“Saiki sekolah nang endi?” sepertinya Mbah Puring Putri sudah menanyakan padaku tentang ini lebih dari tiga kali.
“Wonten Semarang, Mbah.”
“Kelas pira?”
Aku bingung mau menjawab apa.
“Kelas loro.” jawab bapak.
Iya, kelas dua alias semester empat.
Mbah Putri benar-benar memandangku tanpa ekspresi. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Tapi, aku yakin bahwa beliau masih sangat hafal siapa yang sekarang sedang ada di hadapannya; Dina Adis Ekaningrum, cucu pertama dari anak pertama Mbah Moh. Badri.
Tak lebih dari lima menit, Bulik Sur keluar dari dapur dengan membawa dua gelas sedang berisi teh untuk bapak dan aku, satu gelas sedang berisi air temulawak untuk Mbah Puring Putri, dan satu gelas besar berisi teh untuk sepupu-sepupuku.
Aku tak terbiasa berbicara dengan bahasa Puring. Akhirnya, aku lebih banyak menjawab daripada bertanya. Bulik Sur masih terlihat sangat manis meskipun wajahnya seperti menunjukkan bahwa usianya lebih tua dibanding usia ibuku. Bagiku, Bulik Sur adalah putri Mbah Puring yang paling manis dengan anak-anak yang cantik dan ganteng, mereka adalah Dinar, Listy, dan Nasrul.
Aku suka memandangi Listy. Debu dan tanah yang menyelimuti wajah dan badannya tak mampu menutupi kecantikannya. Meskipun sekarang dia sedang pongah (ompong tengah) karena insiden terserempet motor saat baru pulang dari rumah Lik Sudi, tapi senyumnya tetap manis. Gadis kecil itu yang tadi mengambil kantong plastik yang kubawa saat baru turun dari motor. Listy, anak kedua dari Bulik Sur.
Nasrul terlahir sebagai anak yang hyperactive. Aku harus hati-hati jika berdekatan dengannya. Pensil yang selalu ia bawa ke manapun bisa-bisa tertancap di tanganku. Dia gemar menulis.
Yang terakhir adalah Dinar. Anak pertama Bulik Sur ini terlahir sempurna dengan anggota badan yang lengkap. Badannya pun tinggi besar pertanda ia tergolong anak sehat jasmani. Tapi, ketika kau melihat tatapan matanya, kau akan menyadari bahwa ada yang istimewa pada anak ini. Hingga usianya yang ke-sembilan tahun, Dinar belum mampu bercakap dengan baik. Dia seperti orang gagap yang hanya bisa berucap huruf vokal. Aku sangat jarang mendapatinya tersenyum. Tapi, aku tahu bahwa di lubuk hatinya yang terdalam pasti ia tersenyum sepanjang hari karena ada mamak yang teramat baik merawatnya. Ketika bayi, Dinar terlihat seperti bayi-bayi lain yang tumbuh normal. Tidak ada hal aneh yang terlihat mata. Kebutuhan bayi pun sepertinya terpenuhi karena Bulik Sur dan Lik Agus termasuk orang yang cukup sukses saat itu. Jarak Bandung dan Puring mungkin menjadi hambatan bagi keluarga besar untuk mengetahui perkembangan Dinar kecil pada bulan-bulan awal. Baru setelah usianya menginjak satu tahun, Bulik Sur membawanya pulang ke Puring, tinggal bersama biyungnya. Biyung adalah sapaan bagi Mbah Puring Putri. Baik anak maupun cucu, semuanya memanggil ‘biyung’ padanya, kecuali aku, adik, dan ibuku.
Semenjak aku mengenal Dinar, ia belum pernah menjawab pertanyaanku, membalas salamku, dan semua hal yang kulakukan padanya. Tapi, suatu saat dia pernah memanggil namaku,”Ai…” saat lebaran tahun lalu. Aku membalas dengan senyuman.
Ada beberapa orang yang takut berinteraksi dengannya, termasuk adikku. Memang aku tak menyalahkan adikku sepenuhnya. Dinar terlihat seperti anak keterbelakangan mental, ada yang menyebutnya idiot. Awalnya aku pun takut dekat-dekat dengannya. Air liur yang sewaktu-waktu keluar dari mulutnya membuat aku merasa kurang nyaman. Tapi, syukurlah sekarang Dinar sudah dapat mengelapnya sendiri.
Dinar terlahir dari pasangan yang cantik dan ganteng. Seperti yang kuceritakan tadi, Bulik Sur teramat manis untuk ukuran wanita Desa Tuking Gedong yang kesehariannya menantang terik matahari di sawah milik keluarga. Sementara Lik Agus, pengalamannya bekerja di Jepang membuatnya senantiasa terbiasa hidup bersih dan rapi. Dulu saat Bulik Sur dan Lik Agus menikah, aku pernah bercita-cita menjadi Bulik Sur karena Lik Agus saat itu terlihat sangat ganteng. Haha, itu pikiran konyolku saat baru lulus SD.
Begitulah Dinar, gen cakep memang sudah melekat di tubuhnya.
“o’…o’…” suara itu memotong obrolan bapak, Mbah Puring Putri, dan Bulik Sur.
“Kok (Shuttlecock)?” Bulik Sur paham yang diminta anaknya.
Bulik Sur mengambilkan kok dan tutup toples. Dia membiarkan anak pertamanya bermain badminton sendirian di ruang tamu. Begitulah Dinar, selalu bermain seorang diri.
Adzan ‘ashar terdengar dari arah Tenggara. Bapak cepat-cepat ke sumur untuk mengambil air wudhu.
“Sujudanne, Sur.” kata Mbah Puring Putri masih tanpa ekspresi.
Bulik Sur mengikuti kakak pertamanya dan menyiapkan sajadah untuknya.
Aku pamit ke luar sebentar pada Mbah Puring Putri. Ternyata, beliau mengikutiku.
Risban ini masih sama bentuk dan rupanya sejak aku masih kecil. Dahulu, Mbah Puring Kakung biasa menghabiskan waktu di sore hari untuk mengupas kacang tanah di risban ini. Ah, tiba-tiba aku teringat sosok tinggi besar yang bentuk matanya menurun padaku. Aku kangen Mbah Puring Kakung. Semoga Allah menyayangi engkau selalu, amiin.
Angin sore menyapu dedaunan jambu biji, melinjo, dan teh-tehan di pekarangan depan. Anak-anak kecil berguling-guling di dekat gubuk yang sekarang sudah tidak digunakan oleh Mbah Puring Putri untuk warung.
Dari kejauhan terlihat lelaki mirip bapak mengendarai motor sambil menjaga anak kecil di depannya. Lik Sudi.
Wajahnya benar-benar mirip bapakku, hanya saja sengatan matahari membuat warna pigmen cokelat makin lama makin berubah menjadi kehitaman. Rambutnya yang sama-sama ikal seperti milik bapakku terlihat seperti sudah lama tak terkena shampoo. Kumisnya yang lebat menambah kesan seolah pemiliknya tak pernah memperhatikan penampilan. Begitulah Lik Sudi dan bapak, kembar tapi beda.
Dinar berlari menuju biyung lantas memberikan tutup toples dan kok padanya. Aku tersenyum dan mengacak-acak rambut super tipisnya. Namun, dia hanya berlalu.
Dinar mengambil sabit dari sela dinding kandang sapi di samping rumah. Dinding kandang itu terbuat dari kayu dan bambu.
Secepat kilat Dinar mengambil posisi memotong daun-daun kelapa yang sudah tua untuk dijadikan bahan bakar pawon atau sapu lidi. Aku hanya melihatnya dari risban, sekitar 10 meter.
Dinar adalah satu di antara sekian banyak anak di Desa Tuking Gedong yang tak memiliki gantungan cita-cita. Yang Dinar tahu adalah hidup dengan cara seperti yang orang-orang dewasa lakukan di sekitarnya. Dinar tak mempunyai pilihan akan cita-citanya. Bahkan pilihan untuk hidup normal seperti anak-anak lain pun ia tak punya. Aku juga tak punya pilihan untuk meminta pada Allah supaya Dia menciptakanku dengan kondisi seperti apa. Tapi, setidaknya aku punya pilihan untuk hidup di lingkungan seperti apa. Bapakku adalah orang pantai, orang desa. Sedangkan ibuku adalah keturunan orang Solo yang paham tata krama dan sangat fasih berbahasa krama inggil. Itulah sebabnya aku bisa berbahasa sangat ngapak dan berbahasa krama inggil. Aku memilih tingga bersama ibu dengan aturan yang menurutku lebih nyaman. Ibu mengenalkanku membaca dan menulis, melihat dunia luar, serta memilih impian. Akhirnya, bapak mengalah dan tinggal bersama ibu, aku, dan adikku di kota kecil ujung Utara Kabupaten Kebumen. Aku bisa memilih.
Aku teringat saat perjalanan pulang dari rumah Mbah Puring dua tahun lalu bersama Nunu, Omku. Saat itu, motorku terjebak tanah sehingga mau tidak mau Nunu ikut menuntun motornya untuk menemaniku. Bukan bermaksud tidak sopan, aku memanggil Nunu tanpa awalan ‘Om’ memang dia yang meminta. Bagaimana tidak? Kami mengetahui bahwa kami adalah saudara yaitu ketika silaturahim keluarga besar Moh. Badri empat tahun yang lalu. Padahal, kami adalah teman sekelas di SMP dan SMA. Jika diurutkan, kata Mbah Puring Putri, Nunu adalah Omku dari keturunan bapak, entah bagaimana urutannya, aku tak paham.
Saat itu, aku bertanya pada Nunu tentang pilihan hidup di desa atau di kota.
“Tergantung hidupnya sama siapa.” begitu jawabnya.
Ah, jawaban diplomatis. Menurutku, semua orang pun akan menjawab demikian. Tapi, aku ingin jawaban yang pasti. Di desa atau di kota?
Lambat laun aku tahu apa pilihan Nunu, dia memilih tinggal di kota. Itu terbukti dari universitas yang ia pilih saat SNMPTN, universitas yang berada di pusat kota; Universitas Indonesia. Nunu dan aku sama-sama dilahirkan dari pasangan orang-orang desa. Kami keturunan orang desa. Dan kami beruntung karena kami memiliki pilihan untuk melanjutkan hidup di lingkungan seperti apa. Menikmati nikmat Allah dengan cara kami masing-masing. Dinar mungkin tak seberuntung Nunu dan aku yang bisa tumbuh di luar lingkungan Desa Tuking Gedong. Tapi, Dinar jauh lebih beruntung karena dia paham cara bersyukur atas kelimpahan nikmat Allah melalui kerja keras yang menumbuhkan kepuasan hati dan ketenangan jiwa. Dinar hanya tahu cara mematuhi perintah Tuhan dan mamaknya, dia tak berpikir tentang tuntutan nafsu yang menggebu-gebu. Dinar, sederhana.
Jika Dinar mau, tak menutup kemungkinan Dinar akan tumbuh menjadi orang pintar layaknya Dian Saksessia, sahabat karibku saat SMP dan SMA. Teman satu mejaku itu lahir dan tumbuh di lingkungan Desa Sidobunder yang letaknya tak jauh dari Desa Tuking Gedong. Wajahnya mirip Dian Sastro Wardoyo, putih, bersih, dan berkilau. Kemampuan intelegensinya jauh di atas rata-rata, bahkan dia mampu mengungguli nilai anak dokter yang tiap hari diberi makanan penuh gizi. Kini, prestasinya sangat gemilang di antara mahasiswa STAN jurusan perpajakan. Dian bisa, insyaAllah Dinar pun bisa.
Di manakah Dinar selayaknya hidup? Di desa atau di kota?
Catatan:
Pawon : dapur
Risban : tempat duduk lebar yang