Alat bantu pernafasan menutupi hidungnya yang tak terlalu bangir, namun sungguh indah bagiku. Keringat bak embun pagi yang terlihat dihidungnya tiap kali ia membuat bakpao membuat nadiku berdenyut lebih cepat. Membuat jantungku berdenyar hingga detaknya selalu membuatku melantunkan doa pada-Nya. Meminta pada Sang Pencipta supaya hati ini terus menghujaninya dengan cinta. Memohan Pada Sang Pemberi Cinta supaya tanganku ini selalu membelai mesra wajahnya penuh kasih sayang.
Kupegang jemarinya yang selalu menyeka peluh di keningku, namun dia tak bereaksi. Dia masih menutup matanya. Mengatupkan bibirnya. Dan tak menjawabku walau berkali-kali aku memanggilnya penuh kerinduan, penuh kasih, dan penuh cinta yang tercurah hanya untuknya. Kukecup keningnya. Dia tak juga membuka matanya. Tak juga membuka mulutnya. Tak juga menjawabku. Hatiku sungguh meradang. Sakit sekali rasanya. Dia mengacuhkanku. Dia tak mau membuka matanya untuk melihatku. Dia tak mau memberikan senyumnya padaku. Dia tak mau memanggil namaku penuh cinta.
Mata ini tak hentinya mencucurkan air mata. Hati ini selalu meradang tiap kali harus menyadari bahwa kini aku tak lagi mendengarnya melantunkan ayat suci-Nya. Nafas ini terasa berat tiap kali jiwa ini meyadari bahwa kini tanganku tak lagi di kecupnya ketika kami selesai salat berjamah. Berkali-kali aku lantuntan Surat Yasin untuknya. Tak henti-hentinya aku bisikan doa di telinganya. Tak habis-habisnya kubelai lebut rambutnya penuh doa supaya perjuangannya tak terasa berat. Aku tahu dia sedang berjuang. Aku menyakini itu. Dia tidak mungkin meninggalkanku. Dia tak mungkin rela meninggalkan bulan Ramdhan yang selalu dirindukannya. Dia harus melaluinya. Ini adalah impiannya.
“Ya Allah izinkan istriku merengkuh sucinya Ramdhan. Aku mohon padamu. Jangan ambil dia sekarang. Aku ingin melewati Ramadhan kali ini dengannya. Menuntunya untuk mengabdikan hidupnya pada jalan-Mu. Hanya pada-Mu aku memohon. Dengarkanlah doa hambamu yang lemah ini.”
Aku masih ingat kali pertama melihatnya. Di toko bakpao yang selalu menyembulkan aroma vanilla yang menggugah selera. Di sana, di sudut toko yang hanya sepetak, di kursi kayu yang plisturnya memudar, duduk gadis kecil enam tahun dengan kuncir kuda. Senyum menyungging di wajah putihnya yang gempal, gigi-giginya rata dengan bibir tipis dan sangat indah. Mata sipit dengan iris kecoklatan berbinar indah saat aku menatapnya.
“Ibuku sedang pergi, tunggulah beberapa saat lagi,” ujarnya seraya membuka qiroati yang biasa kubaca di madrasah. Aku heran melihatnya dan tak mengerti mengapa anak Tionghoa itu mempunyai sebuah qiroati. Sepintas kuperhatikan mulut mungilnya menggumam. Entah apa yang ia gumamkan. Telingaku tak cukup hebat mendengarnya.
“Kau bisa membacanya? Ini milik sepupuku,” kali ini dia yang tidak mengenal namaku menyodorkan qirotai itu.
“Tentu,” balasku singkat.
“Bacakan untukku,” pintanya tanpa ragu. Barangkali dia bisa melihat dari fisikku kalau aku ini orang Jawa yang kebanyakan beragama Islam. Sejujurnya aku begitu tersentak mendengar permintaan yang begitu gamblang terlontar dari mulutnya. Aku diam untuk beberapa detik. Menelusuri wajahnya, sorot matanya sungguh nyalang menatapku. Entah mengapa aku begitu tertarik untuk melakukan permintaannya.
23 Mei 2005 di Sekolah.
Entah apa yang terjadi dengan hatiku. Aku merasa nyaman tiap kali mendengar adzan yang ia lantunkan di musala sekolahku. Lalu aku diam-diam mengamatinya dari luar musala. Menatapnya lekat. Mengikuti tiap gerakannya ketika ia salat duhur berjamaah. Raut muka itu selalu membuatku merindunya. Entah apa yang terjadi dengan pembuluh darahku. Aku merasa ada yang tak beres tiap kali kulihat wajah bersihnya dibasuh air wudu. Merinding tiap kali tiap kali mendengarnya mengaji. Entah mengapa aku tiba-tiba rindu. Entah rindu pada siapa. Yang kutahu hatiku selalu rindu pada keberadaan Tuhan.
Tak bosan rasanya mata ini membaca buku diarynya. Menelusuri kalimat-kalimat yang ia tulis. Hanya dengan membacanya aku merasa senang. Tiap katanya mampu membuat pikiranku menjelajah waktu. Kembali pada masa kecilku yang kuhabiskan dengannya. Tiap kali membaca tulisannya, pikiranku seakan tersirih. Hingga rasanya baru kemarin peristiwa itu terjadi. Kini aku kembali teringat pada masa yang telah lama berlalu, ketika perayaan Cap Go Meh ditujuh tahun usia kami.
“Coba lihat!” Mei Lan menunjukkan bakpao yang sudah tiga hari di letakkan ibunya di makan sang leluhur.
“Masih utuhkan?” ujarnya lagi. Kali ini sorot matanya nyalang menatapku.
“Ya,” aku menangguk mantap.
“Ibuku tak pernah menjawab soal bakpao ini,” Mei Lan membolak balik bakpao yang sudah tengik dan berjamur.
Aku cuma mampu mengernyitkan dahi. Aku juga tak punya jawaban untukknya. Mei Lan kelihatan tak senang karena aku hanya diam. Ada banyak guratan pertanyaan di wajahnya yang merona akibat terik yang masih memanggang punggungku.
“Apa leluhur marah pada keluargaku hingga dia tak mau makan bapao buatan ibu?”
Seperti minggi lalu. Kali ini Mei Lan tak juga mendapat jawaban atas rasa penasarannya. Seperti minggu lalu juga aku tak punya jawaban untuknya atau setidaknya gagasan untuk menjawab rasa penasarannya. Seperti minggu lalu juga pembicaraan kami terhenti pada satu pertanyaan dari bibir munggil Mei Lan yang belum menemukan jawabnya.
28 Mei 2006 ketika matahari begitu terik.
Aku senang tiap kali Pak Jafar, guru agama Islam di sekolahku megizinkanku tinggal di kelas. Aku senang mengikuti pelajarannya. Senang dengan cerita nabi yang dikisahkan Pak Jafar. Rasanya telingaku tak bosan-bosannya mendengarkan suara beratnya menerangkan tentang akidah, tauhid, kebesaran Allah, dan hikmah bulan suci Ramadhan. Sekali lagi hatiku, jiwaku, dan pikiranku sangat merindukan keberadaan Tuhan. Gejolak yang membelengguku rasanya hampir meledak.
29 Mei 2008 ketika bulan setengah lingkaran di kubah langit.
Ramadhan Putra Hanafi. Teman masa kecilku. Sahabat masa remajaku dan pemuda yang aku harapkan membinggku di jalan-Nya. Pemuda yang membuat jantungku senantiasa berdenyar tiap kali dia mengajariku surat Al-Fatihah. Membantuku menghafal bacaan salat. Tapi tangannya tak sekali pun menyentuh kulitku, tak sekali pun ada kata cinta layaknya remaja yang tengah kasmaran untukkku. Andai ia tahu betapa aku menginginkan itu.
Suara adzan Isa yang berkumandangkan membuatku bangkit dari dudukku. Kuletakkan buku diarynya di meja kecil samping tempat tidur. Kukecup keningnya penuh kasih. Lalu kuusap sisa-sisa air mataku yang mengalir ketika membaca buku kecil bergambar pelangi yang melengkung indah di langit jingga. Sebuah tulisan dari spidol biru tertulis di atas pelangi itu: My Memory.
“Salatlah berjamaah di masjid. Biar mama saja yang menemani Mei Lan,” tutur Nyonya Lie ibunda Mei Lan penuh perhatian.
“Terima kasih, Ma.”
“Terima kasih..,” suara parau ibu mertuaku membuat langkahku berat. “Terima kasih karena mencintai anakku begitu tulus. Sejujurnya ibu begitu senang dia memeluk Islam dan menikah denganmu,” ibu mertuaku meyeka air mata dengan saputangan biru berbordir mawar.
“Terima kasih karena mendidik anak yang begitu hebat,” balasku seraya menyimpulkan senyum lalu meninggalkan ibu -anak itu menuju masjid Al-Hikmah.
Hari kedua belas Ramadhan. Dia tak juga membuka matanya. Dia tak juga membuka mulutnya. Tak juga tersenyum untukku dan memanggil namaku. Aku tahu dia tengah berjuang. Berjuang untuk merasakan indahnya bulan suci. Dia bahkan belum sempat merasakn salat tarawih, tadarus Quran, tahajud di sepertiga malam denganku. Dia bahkan belum menyiapkan hidangan berbuka untukku, membuat jajanan khas puasa, dan menyiapkan makan sahur. Aku bahkan sempat berencana mengajarinya membuat ketupat janur seperti yang dulu pernah mamahku ajarkan padaku. Memasak opor ayam bersama dan menikmatinya di hari kemenangan bersama keluarga. Telah kusisihkan tabunganku yang hampir terkuras habis untuk membeli busana muslim untuknya.
“Pulanglah, Ma. Mama sudah terlihat letih,” tuturku pada ibu mertuaku yang menyandarkan tubuh kuyunya pada kursi panjang di depan kamar ICU tempat Mei Lan di rawat.
“Baiklah. Jaga kesehatanmu. Minumlah teh gingseng yang mama bawa,” balas Nyonya Lie seraya bangkit dari duduknya.
“Terima kasih. Hati-hati, Ma.”
“Semoga Tuhan memberkati mu, Nak,” ujarnya seraya mengembangkan senyum. Garis-garis halus dipipinya semakin jelas terlihat. Di mataku dia seorang ibu yang tegar. Tak sekalipun kulihat dia menangis bahkan ketika suaminya meninggal karena serangan jantung.
Nyonya Lie adalah wanita yang begitu lapang dada. Aku sering mendengarnya mengingatkan Mei Lan untuk salat berjamaah di masjid. Tiap hari bau dupa selalu menghambur dari ventilasi rumahnya. Dia tak pernah lupa meletakkan sesaji untuk leluhurnya. Dia termasuk pemeluk Khong Hu Chu yang taat. Ketika Mei Lan memutuskan untuk mengikarkan dua kalimat syahadat, Nyonya Lie menyambutnya dengan senyum ikhlas. Bahkan ketika Mei Lan memutuskan untuk berjilbab, kudengar jawaban dari mulutnya yang membuatku tersentak.
“Jika ajaran agamamu menyerukan hal itu. Lakukanlah!”
“Terima kasih, Ma,” balas Mei Lan seraya memeluk ibunya penuh kasih.
“Nak Rama nanti tolong bantu Mei Lan memilih jilbab ya?” pinta Nyonya Lie padaku yang tengah asyik menikmati keharuan penuh cinta di depanku.
“Baik, Ma.”
26 Desember 2009 di tengah malam ketika aku terjaga dari tidurku.
Mimpu itu datang lagi. Dalam mimpiku aku berjilbab dan begitu lancar membca Al-Quran. Aneh sekali. Bagaimana mungkin itu terjadi. Aku tak pernah belajar membaca Al-Quran sebelumnya…
1 Januari 2010 saat langit tak begitu pekat oleh bintang yang berpendar.
Detik pertamaku setelah mengucap dua kalimat syahadat. Detik pertama sebagai hamba Allah. Berkali-kali aku menyebut asma-Nya. Bersyukur atas hidayah-Nya untukku. Menit pertamaku bersimpuh pada-Nya. Memohon ampun karena baru sekarang aku bersujud. Baru sekarang aku menjalankan perintah-Nya. Kurasakan seperti ada gelombang yang begitu halus dalam kalbuku. Menghangatkan seluruh pembuluh darahku dan perlahan mencairkan es yang membekukan hatiku ketika aku membasuh tubuhku dengan air wudu. Subhanallah…
14 Februari 2010 saat cahaya purnama temaram di langit yang menghitam.
Rindu yang selama ini setia di sudut hatiku, kini sudah mendapat pelabuhannya. Suci dalam jiwaku yang senantiasa mendetakkan sayang untuknya, kini menemukan muaranya. Cinta yang semerbak pada tiap benang-benang fibrin di sel-sel darahku, kini menemukan penawarnya. Ijab Kabul yang ia ikrarkan di hari pernikahanku telah menasbihkan cintaku. malam ini kurasakan cinta yang begitu tulus ketika dia mengecup ubun-ubunku penuh doa. Ada janji yang terpatri dalam hatiku mengiringi kecupan itu. Menjaganya, mencintainya, dan menyanginya kerena Allah. Aku sungguh mencintaimu karena Allah, Ramadhan Putra Hanafi. Teman masa kecilku, sahabat masa remajaku, dan kasih sepanjang hidupku.
Aku semakin terisak menyadari tak menemukan satu kata pun pada lembar berikutnya. Jemari yang begitu lincah menuliskan kalimat-kalimat indah kini tak bergerak meskipun berkali-kali kumenciumnya. Haruskah sampai di sini, Tuhan? Aku masih ingin membaca tulisan-tulisannya. Dia harus tetap mengabadikan kebahagian yang akan kulimpahkan dalam diarynya. Dia harus menuliskan impian-impiannya. Buku ini pastilah akan sangat sempurna nantinya karena dia akan memenuhinya dengan cerita penuh cinta yang akan kuberikan ditiap detik nafasku.
“Lihatlah. Ini aku belikan untukmu. Warnanya merah marun, warna kesukaanmu. Bagun dan pakailah. Hari kemenangan hampir tiba. Buka matamu!” seruku dengan mata berembun seraya meletakkan satu stel busana muslim yang siag tadi kubeli di butik Bu Salim.
“Tabahlah anakku,” tutur mamahku seraya meremas punggunggu yang nyaris konyak jika tak ada keluarga yang begitu menyayangiku. Juga sahabat dan atasan yang begitu pengertian mengizinkanku hanya berkerja setengah hari supaya aku bisa merawat istriku.
“Perempuan yang kucintai sudah koma tiga puluh tujuh hari, Mah. Perempuan ini yang telah aku sayangi sejak masih kanak-kanak kini tak mau menatapku. Ia sungguh ingin melewati Ramadhan tahun ini bersamaku, Mah. Itu yang dia ucapkan sebelum hari kecelakaan itu,” air mata tak mampu lagi aku bendung. Tanpa bisa kukendalikan, ia tumpah begitu saja membasahi bulu-bulu halus di wajahku yang belum sempat kucukur.
“Sabar Rama. Sabar,” papahku menggegam erat tanganku.
“Jika Tuhan berkata lain…,” aku tercekat oleh ucapan Nyoya Lie yang sedari tadi banyak diam.
Aku langsung memotong ucapan ibu mertuaku. “Tidak, Ma, tidak. Istriku akan segera sadar sebelum Ramadhan berakhir. Dia tidak akan rela melewati Ramadhan pertamanya begitu saja. Itu tidak mungkin!” jawabku menaikkan nada suara satu oktaf.
Hari kedua puluh sembilan Ramadhan dia masih tak sadarkan diri. Pendarahan diotaknya akibat tertabrak mobil merenggut senyum manisnya. Merampas dengan ganas kesadarannya. Membuatnya hanya seperti mayat hidup. Kini aku di sini hanya bisa memohon pada Sang Pemberi Hidup supaya perempuan yang kucintai membuka matanya. Menggerakkan tangannya dan menyimpulkan senyum padaku. Lalu kembali memanggil namaku penuh rasa sayang.
Esok hari kemenangan, Idul Fitri. Suara takbir telah dikumandangkan. Mengusik nuraniku untuk ikut mengumandangkannya. Kugenggam erat tangannya, menempatkan tangan yang selalu membelai mesra rambutku di keningku. Khsusuk aku menundukkan kepala seraya mengumandangkan takbir senada dengan suara takbir dari masjid. Berkali-kali, berulang-ulang, tanpa henti, dan tanpa lelah aku terus bertakbir hingga aku mendengar suara lain yang ikut bertakbir. Suara itu sungguh lemah, tapi mampu membuat jantungku menggila. Detakknya semakin cepat tanpa bisa kukontrol. Kutengadahkan kepalaku dan kulihat mata itu berbinar lemah menatapku. Mulut itu tak lagi terkatup…
“Allahu Akbar…”
Kartika Hidayati
2101406519
BSI-FBS
(Cerpen urutan ke-7 dalam Lomba cerpen Islami Sigma 1431H)