Wajar saja jika Fatimah terkejut bukan main. Selama ini tidak ada laki-laki yang benar-benar berta’aruf kepadanya. Bukan karena Fatimah tidak cantik atau tinggi hati, tapi itu semata-mata karena banyak pemuda yang segan dengan ayahnya. Ayah Fatimah merupakan salah satu kyai ternama di Kudus. Beliau adalah K.H. Imam Bashori atau yang akrab dipanggil Gus Bas, pemilik pondok pesantren ’Miftahul Jannah’. Ponpes untuk para calon hafidz dan hafidzah.
Dan malam ini, sang abah memanggilnya untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting.
”Bah, kulo mboten ngertos tiyange. Apa tidak sebaiknya ditunda dulu? Lagipula saya belum ujian skripsi. Masih tiga bulan lagi. Bukankah janji abah akan menikahkan saya setelah saya lulus S1?” ujar Fatimah masih dengan perasaan bingung. Khitbah bukanlah hal yang sepele. Ini menyangkut masa depannya nanti. Pernikahan.
”Lha iya, Nduk. Khitbahnya dilakukan minggu depan, tapi pernikahan dilaksanakan setelah kamu lulus kuliah. Maka dari itu, abahmu menyetujui rencana khitbah dari seorang pemuda saleh yang insya Allah terjamin akhlaknya.” timpal Bu Nyai, ibunda Fatimah. Para santri dan santriwati biasa memanggil beliau Bu Nyai atau Bu Ummi, karena nama asli beliau Ummi Kultsum.
Fatimah menundukkan kepala dan diam sesaat. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia yang belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya tiba-tiba harus dihadapkan dengan takdir seperti ini. Dalam hatinya yang paling dalam, Fatimah belum siap menikah sama sekali. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak mau mengecewakan kedua orang tua yang sangat dicintainya itu.
”Siapa namanya, Bah?” tanya Fatimah kemudian sambil memandang abahnya lurus-lurus dengan tatapan serius seorang hafidzah.
Pak Kyai tersenyum ketika melihat tatapan putri satu-satunya itu. Beliau paham betul bahwa Fatimah tidak ingin abahnya sembarangan memilihkan pendamping hidupnya. Khitbah tidak boleh dijadikan ajang coba-coba. Bagi Fatimah, sekali seorang pemuda mengkhitbah dirinya, dia harus benar-benar cocok di hatinya. Setelah itu akan berlanjut ke jenjang berikutnya. Tentu saja dengan landasan cinta dan ibadah sebagai dasar dari pernikahan yang suci.
”Namanya Ahmad Ali. Dia lulusan S1 dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. Jurusannya sama denganmu, Nduk. Tafsir. Dia anak teman abah dari Solo. Insya Allah dia seorang pemuda yang baik.” kata abah dengan mantap.
”Piye? Setuju apa tidak?” ganti umminya bertanya.
Fatimah menghela nafas. Terasa sangat berat untuk memberikan keputusan. Ruang tamu itu seakan menghimpitnya untuk memberikan anggukan kepala pertanda setuju kepada abah dan ummi.
Fatimah beristighfar dalam hati. Sulit baginya memutuskan sendiri. Dia butuh Allah sekarang juga.
”Saya harus shalat istikharah dulu, Bah. Besok saya putuskan.” ucapnya kemudian.
Abah dan ummi berusaha mengerti perasaan Fatimah. Walau mereka sebenarnya sangat menginginkan pernikahan itu, tapi keputusan ada di tangan Fatimah. Mereka hanya bisa bertawakkal kepada Allah swt. Sang Penguasa Hati.
***
Sepertiga malam ini Fatimah benar-benar berserah diri kepada Allah sepenuhnya. Setelah dua raka’at shalat istikharah, lalu dilanjutkan dengan shalat tahajud dan witir, perasaan Fatimah kembali tenang. Ditambah lagi dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menambah sejuk hatinya.
Tanpa disadari, Fatimah tertidur di atas sajadah. Masih dengan memakai mukena. Sejenak kemudian dia bermimpi. Mimpi tentang pemuda dan bintang. Dalam mimpinya itu ada seorang pemuda yang membawa tujuh pendar bintang ke hadapannya. Sayup-sayup dia mendengar suara dari kejauhan.
Tujuh pendar bintang itulah syarat khitbah kepadamu.
Mimpi tersebut berulang sebanyak tiga kali. Fatimah terbangun. Keningnya penuh dengan keringat sebesar biji jagung. Nafasnya memburu. Pikirannya masih terpaut dengan mimpi yang baru saja dialaminya.
”Ya Allah, inikah petunjukmu atau bisikan dari syaithon?”
Fatimah tidak beranjak dari tempatnya semula. Lidahnya sibuk menyebut asma Allah. Menurutnya, bisa jadi mimpi itu harus ditafsirkan kembali. Tapi Fatimah belum sanggup menafsirkannya. Selama ini Fatimah baru mempelajari tafsir Al-Qur’an dan Hadits. Belum sampai pada tingkatan yang lebih tinggi.
”Ah, bisa jadi pemuda itu yang bisa memenuhi syarat khitbahku.” gumam Fatimah dalam hati.
Sejujurnya, Fatimah masih ingin melanjutkan studi S2 nya. Bahkan saat ini dia telah mengantongi beasiswa S2 ke Syiria. Tapi perintah abahnya untuk menikah tidak bisa dihindari lagi. Dia sudah berjanji di hadapan kedua orang tuanya dan tentu saja dengan Allah sebagai saksi bahwa dia bersedia menikah setelah lulus S1. Itu dengan syarat ada pemuda yang berani melamar dirinya pada kedua orang tuanya.
Adzan subuh mengalun indah. Membuat setiap orang yang mendengarnya merasakan damai yang luar biasa di dalam kalbunya. Fatimah berencana untuk membicarakan ikhwal mimpinya ini kepada abah dan ummi seusai shalat subuh berjama’ah nanti.
”Kowe yakin iku petunjuk saka Gusti Allah, Nduk?” tanya abah masih dengan kening berkerut. Syarat khitbah macam apa itu dengan membawa tujuh pendar bintang.
”Inggih, Bah. Mimpinya berulang tiga kali. Insya Allah itu petunjuk-Nya. Saya tidak mau berburuk sangka kepada Allah. Bukankah Allah mengikuti prasangka dari hamba-Nya? Begitu kan, Bah?” jawab Fatimah kalem.
Jika pemuda itu tidak bisa memenuhi syarat khitbahnya, maka khitbah itu secara otomatis gagal dan tidak akan ada pernikahan. Dan selama tidak ada yang bisa memenuhi syarat itu, Fatimah masih mempunyai kesempatan untuk melanjutkan studi S2 nya ke Syria. Pikiran tersebut berkelebat dalam benak Fatimah.
Fatimah Az-Zahra adalah seorang hafidzah dan tiga bulan lagi hampir bisa dipastikan dia akan lulus dengan predikat cumlaude jurusan Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Timur.
Tapi entah kenapa saat ini hatinya tidak merasa senang dengan syarat khitbah yang muncul dalam mimpinya. Dalam hati kecilnya, ada desir halus yang susah diartikan maknanya. Apakah benar dirinya merindukan sosok seperti Ali bin Abi Thalib?
***
Siang ini terjadi pertemuan dua keluarga secara mendadak. Keluarga Kyai Imam Bashori dengan keluarga Haji Hanafi dari Solo. Tadi pagi Pak Kyai langsung menelepon ke Solo untuk mengundang keluarga Haji Hanafi ke Kudus dalam rangka silaturrahmi, sekaligus membicarakan hal penting mengenai syarat khitbah yang harus dipenuhi oleh Ali, pemuda yang ingin meminang Fatimah.
Ali sendiri belum pernah melihat wajah Fatimah. Dan inilah kesempatan yang dinantikannya. Baginya, pilihan yang ditawarkan oleh kedua orang tuanya bukanlah perempuan sembarangan. Tentulah dia perempuan terhormat dan berakhlak layaknya putri Rasulullah, Fatimah Az-Zahra.
Kecantikan bukan jadi pertimbangan utama untuk menjadi isterinya. Hati yang suci dan kecintaan pada Allah dan Rasulullah lah yang jadi bahan renungannya. Dan tentu saja perempuan itu harus mengerti agama Islam secara kaffah agar nantinya bisa membina rumah tangga yang sakinah.
Begitu tiba di rumah Kyai Bashori, rombongan dari Solo itu disambut dengan hangat. Fatimah belum menampakkan diri di hadapan mereka. Rasa malu yang luar biasa menyelimuti hatinya. Padahal hari ini bukanlah hari khitbah untuknya.
Setelah menanyakan kabar keluarga Haji Hanafi dan sekadar ramah-tamah beberapa menit, Pak Kyai menjelaskan mimpi dari putrinya sebagai syarat khitbah yang harus dipenuhi oleh Ali.
”Apakah hal itu masuk akal, Kang?” ujar Haji Hanafi pada Pak Kyai yang dulu sering dipanggilnya Kang Imam.
”Begitulah adanya, Han. Mimpi itu adalah ikhtiar dari putriku. Sekarang tergantung putramu. Kalau mau diusahakan ya monggo, kalau langsung ditolak pun kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya bisa bertawakkal kepada Allah.” ucap Pak Kyai dengan pelan. Ada nada kecemasan dalam suaranya. Mungkinkah Ali mau mengusahakan hal yang kelihatannya mustahil itu.
Bu Nyai kemudian menyuruh Fatimah mengeluarkan minuman kepada para tamu. Fatimah pun melaksanakannya dengan hati berdebar-debar. Dia juga ingin mengetahui bagaimana rupa calon orang yang akan meminangnya itu.
Fatimah muncul dari balik tirai yang menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Jilbab biru muda yang dipadu dengan gamis panjang yang berwarna senada dengan jilbabnya membuat para tamu takjub seketika. Seakan ada bidadari yang benar-benar turun dari langit, tapi kali ini bidadarinya membawa nampan yang berisi beberapa gelas minuman untuk mereka.
Tak terkecuali dengan Ali. Hatinya langsung mendendangkan tasbih. Doa langsung terpanjat dari kalbunya. Memohon kepada Allah untuk memudahkan jalannya mendapatkan perempuan seindah Fatimah Az-Zahra. Semburat merah tampak di wajahnya. Dia pun menundukkan kepala. Malu.
Hal tersebut ditangkap oleh Pak Kyai dan Haji Hanafi. Mereka tersenyum. Begitu pula dengan Bu Nyai dan Ibunda Ali. Mereka merasakan gelagat yang sama dari Fatimah. Tangan Fatimah bergetar ketika menyuguhkan minuman di hadapan Ali. Agaknya mereka saling menyimpan hati satu sama lain. Demikianlah kesimpulan para orang tua itu.
Fatimah tidak diizinkan pergi ke belakang lagi. Sebagai gantinya, dia duduk bersama Bu Nyai dan Ibunda Ali.
”Piye, Nang? Syarat khitbah itu apa kamu sanggup?” pertanyaan ayahnya menyadarkan Ali dari lamunannya. Ali menghela nafas. Guratan wajah seorang pemikir tampak di raut mukanya, menambah desir halus di hati Fatimah. Kegelisahan langsung melanda perasaannya. Syarat itu pasti menyusahkannya, pikir Fatimah dalam hati.
”Insya Allah akan saya usahakan. Tujuh hari ke depan tepat pada saat saya mengkhitbah Fatimah, tujuh pendar bintang itu akan ada di hadapannya, sebagai syarat khitbah yang harus saya penuhi. Tapi ada satu hal yang saya pinta,” Ali berkata setenang mungkin, berusaha menutupi kegugupan yang melanda hatinya. Pandangannya seakan tidak mau lepas dari wajah Fatimah yang benar-benar menyejukkan hati. Alangkah bahagianya kalau bisa menjadi suami Fatimah.
Hati Ali kini penuh dengan kemilau cinta. Tapi buru-buru ditepisnya perasaan itu. Fatimah belum halal baginya. Dan akan berdosa seandainya dirinya sudah membayangkan yang tidak-tidak bersama Fatimah. Perempuan dengan lesung pipi yang begitu indah.
”Apa hal itu?” tanya abah Fatimah cepat. Ada secercah harapan untuk masih bisa mendapatkan menantu rupawan yang saleh seperti Ali.
”Izinkanlah khitbah itu dilaksanakan pada malam hari. Itu saja.”
Semua yang ada di ruang tamu bernafas lega. Hal itu bisa diatur dengan mudah. Pagi, siang ataupun malam tidak jadi masalah bagi mereka. Tapi, bagaimanakah dengan tujuh pendar bintang itu?
***
Fatimah nampak mondar-mandir di ruang tamu. Sudah enam hari dia tidak mendapatkan kabar sedikitpun dari keluarga Haji Hanafi. Fatimah begitu gelisah. Bisa jadi Ali sudah menyerah untuk mengikhtiarkan syarat khitbahnya itu. Pikirnya.
Bu Nyai mengintip dari balik tirai, tersenyum melihat tingkah anak gadisnya. Beliau kemudian menghampiri Fatimah.
”Nampaknya pemuda itu telah memikat hatimu,” ucap Bu Nyai kemudian, membuat Fatimah tersentak karena tidak menyadari kehadiran umminya.
”Astaghfirullah. Ummi mengagetkan saja.” Fatimah tersipu malu. Wajahnya merona merah.
”Bukankah pemuda bernama Ali itu sangat rupawan, Nduk? Dia juga saleh. Mengapa tidak kamu terima saja dia tanpa harus meminta syarat khitbah?” tanya Bu Nyai sambil mengamati Fatimah. Beliau kemudian mengajak Fatimah duduk di sofa.
Fatimah memandang umminya dengan serius. ”Rasulullah sangat tidak menyukai orang yang menjilat perkataannya sendiri. Dan saya tidak ingin dibenci oleh Rasulullah. Wajah yang rupawan dan harta yang melimpah bukanlah jaminan kesalehan dari seorang pemuda. Tetapi saya melihat ada yang membedakan Ali dari pemuda lainnya.”
”Opo iku, Nduk?” tanya Bu Nyai.
”Hati. Saya melihat cara dia bertutur kata, bertingkah laku di hadapan abah dan ummi, itu semua menjadikan Ali sebagai sosok imam yang tepat untuk saya. Dan seandainya Ali memang jodoh saya, Allah akan mempertemukan kami dalam jalinan yang lebih suci. Allah itu lebih mengetahui hati kita dari siapapun karena Allah ada di hati setiap orang yang beriman.” Fatimah menyelesaikan kalimatnya dengan mantap.
Bu Nyai tersenyum dan membelai jilbab Fatimah. ”Subhanallah, Nduk. Tidak sia-sia kami membesarkanmu selama ini. Dan tidak sia-sia pula ilmu yang telah kamu peroleh di perguruan tinggi. Amalkanlah itu sampai kepada anak cucumu nanti. Sebenarnya ummi hanya mengujimu.”
Fatimah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia sama sekali tidak menyadari jika ummi hanya sekadar mengujinya. Mereka berdua tersenyum sambil merasakan hangatnya mentari sore yang sebentar lagi akan tenggelam di ufuk barat. Besok merupakan hari penentuan apakah khitbah itu jadi dilaksanakan atau tidak. Akankah Ali sanggup memenuhinya?
***
Malam ini merupakan waktu yang dijanjikan Ali untuk melaksanakan khitbah. Tepat tujuh hari dari yang telah diutarakan pada waktu itu. Tapi tanda-tanda kedatangan rombongan Haji Hanafi belum juga muncul. Pak Kyai, Bu Nyai, Fatimah, dan beberapa sanak saudara yang diundang terlihat gelisah dan bingung menanti rombongan sang pelamar.
Jam dinding telah menunjukkan pukul delapan malam. Kedua mata Fatimah berkaca-kaca, hampir berputus asa karena merasa Ali bukanlah jodoh terbaik dari-Nya. Bu Nyai berusaha untuk menguatkan hati Fatimah.
Telepon dari ruang tengah berdering. Pak Kyai segera mengangkatnya. Beliau terlihat sangat serius menyimak penjelasan dari penelepon di seberang sana.
”Baiklah kalau begitu. Wa’alaikumsalam, Han.” ucap Pak Kyai sembari menjawab salam dari penelepon yang ternyata adalah Haji Hanafi. Beliau lalu menuju ruang tamu untuk menyampaikan apa yang telah didengarnya beberapa menit yang lalu.
”Kita semua disuruh untuk menuju halaman pesantren. Tadi melalui Haji Hanafi, Ali berpesan agar kita memadamkan listrik di pesantren selama tiga menit. Ada sesuatu yang mau diperlihatkannya kepada kita. Aku akan menginformasikan pemadaman listrik kepada kepala pondok putra dan putri. Kalian bergegaslah pergi ke halaman pesantren.” perintah Pak Kyai.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bu Nyai, Fatimah dan beberapa sanak saudara lainnya bergegas menuju halaman pesantren. Lima menit kemudian Pak Kyai menyusul di belakangnya.
Begitu listrik dipadamkan, rombongan Haji Hanafi datang dengan berkendara mobil. Dan mereka sekarang menuju halaman pesantren untuk menemui keluarga Kyai Imam Bashori.
Dalam keremangan malam yang hanya disinari bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di langit, Ali melangkah sedikit lebih maju ke hadapan Pak Kyai. Sebuah kotak berukuran sedang ada dalam genggamannya saat ini.
”Bismillahirrohmanirrohim. Inilah syarat khitbah saya kepada Fatimah.”
Ali membuka tutup kotak yang sedang digenggamnya. Dan nampaklah tujuh pendar cahaya (seperti) bintang. Semua yang hadir terkesima dan seketika memuji asma Allah dengan tasbih. Tujuh pendar cahaya itu adalah tujuh ekor kunang-kunang yang memancarkan pendar cahaya nan indah. Laksana bintang.
Tiga menit kemudian, listrik kembali dinyalakan. Ali terlihat begitu gagah dengan baju koko biru muda, celana panjang dan peci berwarna hitam. Tak lain halnya dengan Fatimah yang juga mengenakan jilbab serta gamis yang senada dengan Ali. Mereka berdua sama-sama menyukai warna biru muda.
Ratusan penghuni pondok keluar dari kamar. Halaman pondok pesantren berlantai tiga itu kini penuh dengan ratusan pasang mata yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
”Apakah penafsiran yang dapat kamu simpulkan dari syarat khitbah putriku, wahai anakku?” tanya Pak Kyai kemudian, seakan tidak menghiraukan khalayak ramai yang sudah terbentuk dan suasana khitbah yang tidak lazim.
Ali menghirup nafas sejenak. Panjang dan dalam. Dia sedang menyusun kata-kata terbaiknya agar bisa diterima sebagai calon pendamping hidup seorang bidadari dunia, Fatimah Az Zahra. Sekaligus ingin secepatnya menyempurnakan separuh agama dengan menikah, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
”Menurut Asy-Syaikh Al Imam Abu Nashr Muhammad bin Abdirrahman Al Hamdani dalam kitabnya Assab'iyyatu fi Mawa'idhil Barriyah menyatakan, Dzat Pencipta yang sangat besar kekuasaan-Nya dan sangat tinggi kedudukan-Nya yaitu Allah SWT telah menghiasi 7 perkara dengan 7 perkara. Dan menghiasinya pula bagi tiap-tiap 7 perkara itu dengan 7 perkara lainnya. Hal tersebut sengaja Allah ciptakan untuk memberitahu kepada orang-orang yang berilmu bahwasanya di dalam angka 7 itu mempunyai keunikan dan rahasia yang besar.
Allah menciptakan 7 hari dalam seminggu. Langit sebagai atap kita terdiri dari 7 tingkat atau lapisan. Tanah yang kita pijak ada 7 lapis. Tubuh kita terbagi menjadi 7 bagian. Surah Al Fatihah ada 7 ayat dan berbagai jumlah 7 yang lain.
Salah satu contohnya yaitu Allah menghiasi udara ini dengan tujuh lapis langit sebagaimana firman Allah dalam surah An Naba' ayat 12, ”Dan Kami (Allah) jadikan di atas kamu 7 (langit) yang kukuh.” Allah menciptakan langit dunia pertama dari air, langit kedua dari embun, langit ketiga dari besi, langit keempat dari perak, langit kelima dari emas, langit keenam dari mutiara dan langit ketujuh dari mira delima. Setelah itu dibelahnya yang antara tiap-tiap bagian berjarak lima ratus tahun.
Masih banyak lagi rahasia angka tujuh lainnya yang merupakan sebagian kecil rahasia Allah. Tujuh pendar bintang itu saya ibaratkan dengan tujuh ekor kunang-kunang yang bercahaya bak bintang pada malam hari. ” jelas Ali panjang lebar kepada Pak Kyai.
Gema tasbih, tahmid dan takbir tak terelakkan lagi membahana di halaman pondok pesantren Miftahul Jannah. Fatimah menangis terharu karena bahagia. Begitu pula dengan Pak Kyai dan Bu Nyai yang semakin yakin bahwa Ali adalah jodoh yang telah ditentukan-Nya untuk anak semata wayang mereka.
Haji Hanafi lalu memimpin prosesi khitbah dan segera mengutarakan keinginan Ali untuk melamar Fatimah sebagai istri setelah memenuhi syarat khitbah yang diajukan. Pak Kyai pun menerima pinangan pemuda saleh itu. Ali sujud syukur seketika karena Allah telah memberikan salah satu anugerah terindah yang pernah dia dapatkan seumur hidupnya.
”Alhamdulillahirobbil ’alamin...” ucap Ali di sela-sela sujudnya.
Parade nuansa malam mulai menebarkan cahaya Ilahi untuk Ali dan Fatimah. Rembulan mengintip malu-malu dari balik awan hitam. Sepasang insan telah dijodohkan atas izin Allah ketika bintang berpendar cinta untuk mereka...
Muzaki Bashori
2201408113
Pend. Bahasa Inggris-FBS
(Cerpen peringkat ke-5 dalam lomba cerpen Islami Sigma 1431 H)