“Perpustakaan digital tak lain adalah internet itu sendiri.”
Fuad Gani, MA. Ketua Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi UI
Pada salah satu sesi seminar KISPI Fisip UI tahun 2008, penulis berkesempatan hadir sebagai peserta, pembicaranya pada sesi itu adalah mas Ganda Upaya, salah satu Sosialog UI. Pada sesi itu mas Ganda memaparkan tentang masyarakat madani, termasuk juga tentang tradisi keilmuan para ulama dan ilmuan muslim terdahulu.
Pada sesi tanya jawab penulis berkesempatan bertanya. Pertanyaan yang diajukan penulis adalah andai saja kitab-kitab ulama dan ilmuan muslim terdahulu tidak dihancurkan, yang menurut riwayat sungai di kota Baghdad menjadi hitam saking banyaknya kitab-kitab tersebut yang dibuang ke sungai. Kemudian kitab-kitab itu terwariskan pada kita, apakah umat ini akan lebih maju dari sekarang?
Belum tentu! Jawab mas Ganda. Yang perlu dibangun adalah tradisi keilmuan kita. Pada masa dahulu seorang ulama rela bermusafir berbulan-bulan hanya untuk meriwayatkan sebuah hadist. Bahkan Ibnu Khaldun pun untuk menulis kitab ia naik ke atap rumahnya dengan penerang sinar bulan. Atau Imam Syafii muda yang menulis catatatannya di pelepah pohon. Sampai seperti itu tradisi keilmuan umat terdahulu.
Kondisi Kita
Ada yang harus kita renungkan, yaitu tentang tradisi keilmuan kita di sini, di negeri dengan meyoritas umat Muslim, bahkan tercatat sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dan saat ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu pesat.
Kawan, Organisasi International Educatinal Achievment (IEA) pada tahun 2000 menempatkan Indonesia pada urutan ke 38 dari 39 negara, sekaligus terendah diantara negara ASEAN, yang diteliti soal kemampuan membaca anak usia SD-nya.
Hasil penelitian lainnya dari Education For All (EFA) Global Monitoring Report tahun 2005 menyebutkan Indonesia adalah negara ke 8 dengan populasi butu huruf (pada usia 10 tahun ke atas) terbesar, yaitu sekitar 18,5 juta penduduk. Angka yang tidak sedikit.
Dan sedihnya, kualitas sebuah bangsa salah satunya terukur dari angka melek huruf dan kemampuan membaca mayarakatnya. UNDP (United Nations Developmant Programme) menjadikan ukuran ini sebagai penentu tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia atau HDI (Human Development Index). Dan tinggi rendahnya HDI akan menentukan kualitas suatu bangsa.
Menguatkan hasil penelitian–penelitian sebelumnya, survei UNDP pada tahun 2005, menempatkan HDI Indonesia di nomor 117 dari 175 negara. Memprihatinkan!
Ada yang bisa membaca tapi kemampuan berbahasanya sangat rendah. Tahun 2004 ketika indeks kelulusan anak SMA dinaikkan, banyak siswa SMA yang tidak lulus. UNESCO membuat riset, ternyata keterbacaan anak Indonesia hanya 0,9%. Artinya kalau mereka membaca 100 kata, hanya 9 kata yang mereka kuasai. Jauh sebelumnya pada tahun 1990, temuan Indra Ardiana menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah belum dapat berbahasa tulis dengan baik.
Tak jauh berbeda dengan orang awan pada umumnya, ternyata kondisi kaum cendikia pun tak kalah tragis. Tradisi keilmuan kaum cendikia kita masih lemah. Bangsa ini lebih kuat tradisi lisannya ketimbang tradisi tulis. Dosen dan guru kita lebih pede mengajar dengan berceramah, sedikit sekali dosen dan guru kita yang memberikan bahan ajarnya berupa tulisan mereka sendiri.
Internet dan Pewarisan Pengetahuan.
Memang tradisi keilmuan kita lemah dan memang tradisi tulis kita buruk, tetapi orang yang tidak memiliki minat baca dapat diubah menjadi peminat baca jika kita mampu mengkondisikan orang tersebut menyukai bacaan, dimotivasi dengan bertahap dengan menyenangi bacaan – bacaan ringan menuju bacaan yang lebih berat. Orang yang takut menulis karena takut dibilang jelek, dapat kita rangsang dan motivasi untuk terus menulis dan melahirkan karya.
Dahulu untuk menerbitkan sebuah tulisan harus menggunakan media cetak, tapi sekarang semua orang bisa menerbitkan tulisannya sendiri dengan berbagai emdia yang ada. Tak perlu takut untuk menulis, karena ada tak perlu risau ditolak penerbit atau redekatur media massa. Anda bisa menulis lewat blog, facebook, twitter, dan media lain yang dapat anda gunakan.
Kelebihan internet juga dapat menghubungkan orang dari berbagai pelosok dunia. sehingga penyebaran sebuah infromasi dapat dengan mudah tersebar ke berbagai orang di belahan dunia ini. Kelebihan ini menutupi kelemahan ketika kita mengirim buku via pos yang memakan waktu lebih lama serta lebih mahal, karena disamakan dengan mengirim dokumen berharga.
Selain itu, konten digital juga mudah untuk diduplikasikan dan membutuhkan waktu yang relatif cepat. Berbeda dengan dunia cetak yang membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan duplikasi.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh internet di atas, seharusnya dapat kita maksimalkan untuk pewarisan ilmu pengetahuan kepada sesama manusia
Alangkah indahnya jika ulama dan kaum cendikia menuliskan pemikiran dan mewariskan ilmu pengetahuan yang dimilikinya di internet, kemudian pembaca yang berasal dari berbagai pelosok bumi mengambil ilmu tersebut untuk kemudian ia sebarkan ke orang lain di sekitarnya. Semoga ke depan, di pelosok negeri ini lahir cendikiawan-cendikiawan muslim yang ilmunya bermanfaat bagi ummat manusia, tak hanya berasal dari Jawa. Semoga! (Ahmad-Yunus)
sumber: insanmadanilearning.wordpress.com