Islam adalah agama sempurna. Inilah yang dipahami oleh para Shahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam. Sehingga mereka mencukupkan dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam saja tanpa menambah dengan amalan-amalan yang lainnya.
Sebagaimana pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
“Ikutilah (apa yang diajarkan oleh Rasulullah), jangan mengamalkan amalan-amalan baru (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam), sungguh (petunjuk/sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam) telah cukup bagi kalian. (HR. Abu Khaitsamah dalam kitabnya Al Ilmu no. 45)
Serta inilah yang dipahami oleh para ulama kita. Al Imam Asy Syafi’i berkata:
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara yang tidak dicontohkan Rasulullah), maka sungguh ia telah membuat syariat (baru).”
Ucapan semacam ini telah masyhur dinukil oleh para ulama Syafi’iyyah (bermadzhab Syafi’i), seperti dalam kitab Al Mankhul hal. 347 dan Jam’ul jawami’ 2/395, dan juga bisa dirujuk dari karya Al Imam Asy Syafi’i sendiri dalam kitabnya Ar Risalah hal. 507 dan Al Um 7/297-304.
Sebuah amalan yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tidak akan diterima disisi-Nya, bahkan bisa menjadi sebuah kerugian yang amat besar bagi pelakunya. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan akan hal ini dalam firman-Nya subhanahu wa ta’ala (artinya):
“Katakanlah: “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?”
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunianya, sedangkan mereka menyangka telah beramal dengan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)
Sepatutnya kita selalu khawatir dan takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena semua amal perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan-Nya subhanahu wa ta’ala. Jangan sampai amalan yang selama ini kita lakukan tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Peringatan ini juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang beramal tanpa ada dasarnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara yang baru dalam urusan (syari’at) kami, padahal itu tidak termasuk bagian dari syari’at (kami), maka perkara/amalan (yang baru) itu tertolak.” (HR. Al Bukhari)
karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama kita ini, sebagai mana yang dinyatakan dengan tegas dalam firman-Nya:
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah Aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu.” (Al-Ma'idah ayat 3)
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dengan berkata: “Disempurnakannya agama islam merupakan kenikmatan Allah Ta’ala yang paling besar atas umat ini, karena Ia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan lagi kepada agama lainnya, dan tidak pula kepada seorang nabi selain Nabi mereka sendiri shollallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu Allah Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian tidak ada suatu yang halal, melainkan yang beliau halalkan, dan tidak ada yang haram, melainkan yang beliau haramkan, dan tidak ada agama, melainkan agama yang beliau syari’atkan, setiap yang beliau kabarkan pasti benar lagi jujur, tidak ada mengandung kedustaan sedikitpun, dan tidak akan menyelisihi realita.” (Tafsirul Qur’anil Adlim 2/12)
Al Imam Malik, guru dari Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Barangsiapa mengada-adakan amalan yang baru dalam agama Islam yang ia sangka itu adalah baik, berarti ia telah menuduh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah/wahyu. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama bagi kalian.” (Al Ma’idah: 3)
Jika pada hari itu tidak termasuk dari agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk dari agama.” (Al I’tisham 1/49)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita semua agar selalu tetap di atas petunjuk-Nya, dan berpegang teguh dengan sunnah Rasul-Nya. Aamiin Ya Rabbal ‘alaamiin.
Sebagaimana pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
“Ikutilah (apa yang diajarkan oleh Rasulullah), jangan mengamalkan amalan-amalan baru (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam), sungguh (petunjuk/sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam) telah cukup bagi kalian. (HR. Abu Khaitsamah dalam kitabnya Al Ilmu no. 45)
Serta inilah yang dipahami oleh para ulama kita. Al Imam Asy Syafi’i berkata:
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara yang tidak dicontohkan Rasulullah), maka sungguh ia telah membuat syariat (baru).”
Ucapan semacam ini telah masyhur dinukil oleh para ulama Syafi’iyyah (bermadzhab Syafi’i), seperti dalam kitab Al Mankhul hal. 347 dan Jam’ul jawami’ 2/395, dan juga bisa dirujuk dari karya Al Imam Asy Syafi’i sendiri dalam kitabnya Ar Risalah hal. 507 dan Al Um 7/297-304.
Sebuah amalan yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tidak akan diterima disisi-Nya, bahkan bisa menjadi sebuah kerugian yang amat besar bagi pelakunya. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan akan hal ini dalam firman-Nya subhanahu wa ta’ala (artinya):
“Katakanlah: “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?”
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunianya, sedangkan mereka menyangka telah beramal dengan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)
Sepatutnya kita selalu khawatir dan takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena semua amal perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan-Nya subhanahu wa ta’ala. Jangan sampai amalan yang selama ini kita lakukan tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Peringatan ini juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang beramal tanpa ada dasarnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara yang baru dalam urusan (syari’at) kami, padahal itu tidak termasuk bagian dari syari’at (kami), maka perkara/amalan (yang baru) itu tertolak.” (HR. Al Bukhari)
karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama kita ini, sebagai mana yang dinyatakan dengan tegas dalam firman-Nya:
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah Aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu.” (Al-Ma'idah ayat 3)
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dengan berkata: “Disempurnakannya agama islam merupakan kenikmatan Allah Ta’ala yang paling besar atas umat ini, karena Ia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan lagi kepada agama lainnya, dan tidak pula kepada seorang nabi selain Nabi mereka sendiri shollallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu Allah Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian tidak ada suatu yang halal, melainkan yang beliau halalkan, dan tidak ada yang haram, melainkan yang beliau haramkan, dan tidak ada agama, melainkan agama yang beliau syari’atkan, setiap yang beliau kabarkan pasti benar lagi jujur, tidak ada mengandung kedustaan sedikitpun, dan tidak akan menyelisihi realita.” (Tafsirul Qur’anil Adlim 2/12)
Al Imam Malik, guru dari Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Barangsiapa mengada-adakan amalan yang baru dalam agama Islam yang ia sangka itu adalah baik, berarti ia telah menuduh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah/wahyu. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama bagi kalian.” (Al Ma’idah: 3)
Jika pada hari itu tidak termasuk dari agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk dari agama.” (Al I’tisham 1/49)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita semua agar selalu tetap di atas petunjuk-Nya, dan berpegang teguh dengan sunnah Rasul-Nya. Aamiin Ya Rabbal ‘alaamiin.