Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani
Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya” [1]
Beliau rahimahullah juga menegaskan, hukum kafir dan fasiq termasuk hukum syar’i, bukan termasuk hukum yang dapat ditetapkan oleh akal secara bebas. Orangkafir ialah orang yang telah ditetapkan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan orang fasiq ialah orang yang telah ditetapkan fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya. [2]
Bagitu pula Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, takfir merupakan hukum syar’i. Orang kafir ialah orang yng telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [3]
Lebih lanjut Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, takfir (vonis kafir) terhadap orang-orang murtad, bukanlah syari’at yang dibuat kaum Khawarij, juga tidak oleh golongan lainnya. Juga bukan dari hasil pemikiran. Namun takfir merupakan hukum syar’i yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas orang-orang yang berhak mendapatkannya, karena melakukan salah satu dari pembatal-pembatal ke-islaman, baik pembatal qauliyah, I’tiqadiyah maupun fi’liyah, sebagaimana telah dijelaskan para ulama dalam masalah hukum-hukum bagi orang murtad. Hukum-hukum tersebut diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4]
Demikian pula telah disebutkan dalam Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah, takfir merupakan hukum syar’i, tempat kembalinmya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]
Oleh karena itu, siapapun tidak boleh menjatuhkan vonis kafir dengan dasar hawa nafsu atau akal pemikirannya. Jika ia melakukannya, berarti ia telah berhukum dengan selain hukum Allah dalam masalah ini. Oleh sebab itu, ulama Ahlus Sunnah wal tidak sembarangan dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap orang tertentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu ahli ilmu dan Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka –walaupun orang-orang yang menyelisihinya tersebut mengkafirkan mereka- karenaa takfir merupakan hukum syar’Ii, dan seseorang tidak boleh membalas dengan semisalnya. Sebagaimana orang yang berdusta terhadapmu, orang yang berzina dengan keluargamu, tentu kamu tidak boleh berdusta terhadapnya atau berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina hukumnya haram –berdasarkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala- demikian pula dengan takfir, ia merupakan hak Allah. Sehingga, tidak boleh menjatuhkan vonis kafir,kecuali terhadap orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya” [6]
KAIDAH SYARI’AT : BARANGSIAPA TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR, MAKA IA KAFIR!
Maksud kaidah ini harus diperjelas. Karena merupakan kewajiban, siapa saja yang berbicara tentang masalah ilmiah, ia harus memperjelas makna istilah yang digunakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, perkara yang diperselisihkan oleh kaum mutakahirin tentang penetapan dan penafiannya, maka bagi seseorang –termasuk dirinya sendiri- tidak wajib untuk menyepakati seseorang atas penetapan ungkapan tertentu atau penafiannya, hingga ia mengetahui maksudnya. Jika maksudnya hak maka diterima. Jika maksudnya batil, maka tidak bisa diterima secara mutlak, begitu pula tidakditolak secara keseluruhan. Ungkapan tersebut harus diperjelas dan ditafsirkan maknanya. [7]
Beliau rahimahullah juga mengatakan, ungkapan tentang hakikat-hakikat iman dengan menggunakan Al-Qur’an lebih Iebih utama daripada menggunakan ungkapan selainnya. Ungkapan Al-Qur’an wajib diimani, karen ia merupakan wahyu yang diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [8]
Demikian juga ungkapan, “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”, maka kaidah ini harus diperjelas maksudnya. Jika maksudnya tidak meyakini kekafiran orang-orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Fir’aun, Abu Lahab dan sejenisnya, maka ia kafir. Atau juga mengatakan Yahudi, Nasrani, Majusi atau sejenisnya bukan kafir, bahkan meyakini mereka termasuk sebagai kaum muslimin, maka kaidah tersebut dianggap benar. Karena konsekwensinya, orang itu tidak berlepas diri dari orang-orang kafir tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” [Al-Maidah : 51]
Dengan demikian ia telah menentang hukum Allah yang telah menjatuhkan vonis kafir terhadap orang-orang tersebut. Seperti halnya orang-orang yang meyakini kesatuan agama. Yaitu mereka bekeyakinan semua agama adalah sama. Beranggapan bahwa orang Nasrani dan Yahudi juga merupakan orang-orang muslim mukmin, ; maka orang yang berkeyakinan seperti itu bisa jatus vonis kafir,apabila telah terpenuhi syarat-syarat takfir dan tida ada lagi penghalangnya.
Syaikh Bakar Abu Zaid mejelaskan masalah ini sebagai berikut.
“Setiap muslim yang mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul-Nya, (ia) wajib mentaati Allah dengan membenci orang-orang kafir, Yahudi, Nasrani dan kaum kafir lainnya. Wajib memusuhi mereka karena Allah, tidak mencintai dan mengasihi mereka, tidak loyal dan tidak menyerahkan urusan kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, memeluk Islam sebagai agama mereka, dan beriman kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul mereka. Allah berfirman.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu) ; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim” [Al-Maidah : 51]
Di antara bukti terputusnya wala (loyalitas) antara kita dengan mereka, ialah tidak adanya waris-mewarisi antara muslim dan kafir selama-lamanya. Setiap muslim wajib meyakini kekufuran setiap orang yang menolak memeluk Dienul Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun selainnya. Wajib menamainya kafir. Wajib meyakini mereka sebagai musuh, dan meyakini mereka sebagai penduduk neraka. Allah berfirman.
“Artinya : Katakanlah : “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” [Al-A’raf : 158]
Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Demi Allah yang jiwa Muhammad berad di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa,melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.
Oleh karena itu pula, barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka dia kafir. Ini sebagai konsekuensi dari kaidah syari’at, “barangsiapa tidak megkafirkan orang kafir, maka ia kafir”.
Kita mengatakan kepada ahli Kitab, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan di dalam Kitab-Nya.
“Artinya : berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu” [An-Nisa : 171]
Sehingga, siapapun pada hari ini, tidak dibenarkan tetap bertahan memegang dua syariat tersebut, yaitu agama Yahudi dan Nasrani. Apalagi memeluk salah satu dari keduanya. Tidak dibenarkan memeluk agama, selain agama Islam. Dan tidak dibenarkan berpredikat selain sebagai muslim, atau sebagai pengikut millah ibarahim. [9]
Adapun orang-orang yang masih diperselisihkan status kekafirannya oleh para ulama, misalnya orang yang meninggalkan shalat, atau orang yang jelas melakukan amalan kekufuran namun syarat jatuhnya vonis kafir terhadap mereka belum terpenuhi, dan belum hilang penghalang-penghalang jatuhnya vonis kafir ; maka penerapan kaidah tersebut terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir merupakan perkara besar yang akan membuka pintu-pintu kejelekan, pertumpahan darah dan fitnah.
Di antara ushul Islam, yaitu wajib meyakini kekafiran orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan selain mereka, menyebutnya kafir, bagi yang telah tegak atasnya hujjah, meyakini bahwa ia musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang beriman, dan meyakini bahwa ia ahli neraka,sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka sendiri yang nyata” [Al-Bayyinah : 1]
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam ; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [Al-Bayyinah : 6]
“Artinya : Dan Al-Qur’an ini diwahukan kepadaku, supaya dengannya, aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya)” [Al-An’am : 19]
“Artinya : (Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia dan supaya mereka mengetahui” [Ibrahim : 52]
Demikian ayat-ayat yang menyebutkan tentang kekafiran ahli kitab, dan masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan itu.
Telah pula diriwayatkan dalam shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani, lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.
Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka ia kafir. Yakni mengikuti kaidah sayari’at, “barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir sesusah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir” [10]
Dalam fatwa yang ditanda tangani oleh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Abdur-Razzaq Afifi, Abdullah bin Ghudayyan dan Abdullah bin Qu’ud, diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut.
Pertanyaan : Kami ingin mengetahui hukum orang yang tidak mengakfirkan orang kafir.
Jawab : Barangsiapa yang telah ditetapkan kekafirannya, maka wajib diyakini kekafirannya, menghukuminya dengan hukum kafir. Dan waliyul amri (pemerintah) berhak menjalankan hukuman riddah (murtad) atasnya, jika ia tidak bertuabt. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah ditetapkan kekafirannya, maka ia kafir ; kecuali jika ia masih memiliki syubhat (keragu-raguan) dalam masalah tersebut. Maka ia harus menghilangkan syubhat itu darinya.
Wabillahit-taufiq, shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas keluarga dan para sahabat beliau. [11]
Demikianlah perincian yang dijelaskan oleh para ulama berkenan dengan kaidah tersebut.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Foote Note
[1]. Majmu Fatawa (V/545)
[2]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah (V/95)
[3]. Mukhtashar As-Shawaiqul Mursalah, hal. 421
[4]. Majalah Ad-Da’wah, edisi 4, Rabiul Akhir 1421H
[5]. Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah di Ushulil Aqidah As-Salafiyah, yang ditulis secara bersama oleh lima orang ulama, yaitu : Husain bin Audah Al-Awaisyah, Muhammad Musa Ali Nashr, Salim bin Id Al-Hilali, Ali bin Hasan Al-Halabi dan Msyhur Hasan Salman, hal. 17
[6]. Ar-Radd Alal Bakri (II/493)
[7]. Ar-Risalah Ad-Tamuriyah, hal. 28
[8]. An-Nubuwwat, (II/876)
[9]. Lihat buku Al-Ibhtal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
[10]. Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy
[11]. Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy, pertanyaan kedua dari fatwa no. 6201
di Terbitkan dari http://abuihsan.com/2010/03/